Makassar (ANTARA Sulsel) - Setelah melewati tahun politik, dimana konsolidasi dibangun di semua lini untuk membangun pencitraan dan meningkatkan elektabilitas atau popularitas partai, tiba saatnya meningkatkan popularitas dari para figur-figurnya di tahun Pemilu 2014.
Janji-janji yang dilemparkan oleh partai politik serta calon legislatif di tahun Pemilu 2014 ini, menjadi antiklimaks dari sebuah persaingan panjang untuk meraih simpati masyarakat demi satu tujuan yakni memenuhi target yang telah ditetapkannya.
Pengamat politik Universitas Veteran Republik Indonesia Dr Saifuddin AL Mughniy, S.Sos, M.Hum mengatakan janji-janji yang dilemparkan parpol serta caleg merupakan bagian dari strategi serta trik politik untuk memberikan pengaruh pada konstituen.
"Tebar janji politik itu bagian dari strategi untuk meningkatkan elektabilitas dan itu dibenarkan dalam politik. Justru semua yang memberikan janji itu harus memikirkan matang-matang konsekwensi dari janji politik itu," katanya.
Dia menjelaskan semakin banyak partai politik yang bertarung dalam pemilihan, maka tingkat partisipasi masyarakat atau konstituen akan semakin rendah. Begitupula sebaliknya, jika partai politi yang bertarung sedikit, maka tingkat partisipasi pemilih akan semakin besar.
Namun, di tengah dengan derasnya gempuran pencitraan partai politik serta figurnya, tetap hanya ada satu atau dua partai yang tetap menjadi pemenang khususnya di Sulsel.
Ia mencontohkan partai penguasa sejak zaman Orde Baru yakni Partai Golkar mampu bertahan dan menjadi partai dominan dalam setiap pemilu yang diselenggarakan, bahkan hingga zaman Reformasi ini.
Di Sulawesi Selatan yang masyarakatnya masih kental dengan adat istiadatnya cenderung menggunakan pola budaya politik "Parokial" atau politik panutan atau tradisional dan sederhana.
Bahkan menurut Direktur Lembaga Kajian Isu-isu Strategis (LKIS) Sulsel itu menyatakan jika di Sulawesi Selatan Partai Golkar akan tetap menjadi lumbung suara seperti pada pemilu sebelumnya.
"Sulsel ini akan tetap menjadi lumbung suara bagi Partai Golkar kenapa bisa demikian karena sistem perpolitikan di Sulsel itu sedikit unik atau masih tertinggal karena masih menganut sistem politik budaya `Parokial`," ujarnya.
Ia menjelaskan sistem politik dengan menganut budaya `Parokial` atau tradisional dan sederhana itu sudah sejak lama berlaku di Sulsel dan ini tidak akan berubah dengan cepat seiring dengan perkembangan zaman yang membuat semuanya menjadi dinamis.
Disebutkannya budaya politik parokial biasanya terdapat dalam sistem politik tradisional dan sederhana. Ciri khas budaya politik parokial yaitu, spesialisasi masih sangat kecil sehingga pelaku-pelaku politik memiliki kekhususan tugas. Serta satu peranan dilakukan bersama dengan peranan yang lain seperti aktivitas dan peranan pelaku.
"Budaya politik parokial atau disebut juga budaya politik panutan, masih sangat kental di Sulsel. Masyarakat kita masih cenderung memilih Partai Golkar karena adanya historikal serta ketokohan yang ada di Partai Golkar seperti Sulsel," katanya.
Menurutnya, Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo yang menjadi Gubernur dua periode menjadi salah satu magnet bagi masyarakat Sulsel untuk tetap memilih dan menetapkan pilihannya dengan partai yang dipegangnya.
Dia menuturkan, di tahun 2014 yang menjadi tahun politik serta tahun pemilu ini, akan kembali menjadi pembuktian bagi Ketua DPD I Partai Golkar dalam mendapatkan suara masyarakat serta memenangkan pemilu.
Banyaknya partai politik serta calon legislatif ini tidak akan mempengaruhi secara signifikan suara partai berlambang pohon beringin itu karena umumnya masyarakat yang berusia di atas 50 tahun cenderung memilih Golkar.
Selain itu, Golkar dinilai punya okupasi (kepercayaan) yang tinggi terhadap masyarakat, terbukti ada sekitar 18 kepala daerah (bupati dan wali kota) berasal dari bendera yang sama yakni Partai Golkar.
"Mindset orang Sulsel itu masih agak unik. Kepercayaan menjadi dasar utama masyarakat untuk tetap memilih partai yang diinginkannya. Meskipun di Kota Makassar mindset sudah jauh lebih maju, tetapi itu tidak cukup untuk meruntuhkan kepercayaan masyarakat lainnya," ucapnya.
Meningkatkan Elektabilitas
Sementara itu, pengamat Komunikasi Politik Univeristas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar Dr Firdaus Muhammad, MD menilai jika janji-janji para calon legislatif maupun partai politik hanya semata-mata untuk meningkatkan elektabilitas.
"Sulit menemukan caleg dan parpol yang tidak memberikan janji di tahun politik, apalagi ini merupakan tahun pemilu yang tinggal beberapa hari lagi satu tahapan pemilu akan dilaksanakan," ujar dia.
Dikatakannya secara umum, elektabilitas menunjukkan tingkat keterpilihan yang disesuaikan dengan kriteria pilihan yang bisa diterapkan kepada masyarakat ataupun partai.
Elektabilitas parpol berarti tingkat keterpilihan parpol itu di mata publik. Untuk meningkatkan elektabilitas maka objek (parpol dan politisi) harus memenuhi kriteria keterpilihan dan juga populer.
Populer hanya salah satu unsur elektabilitas karena popularitas adalah tingkat keterkenalan di mata publik yang meskipun populer belum tentu layak dipilih. Sebaliknya meskipun punya elektabilitas tinggi tetapi tidak diketahui publik alias miskin popularitas, maka publik belum tentu memilihnya.
"Ada banyak cara yang bisa dilakukan para caleg dan parpol untuk meningkatkan elektabilitasnya. Untuk itulah iklan politik kini memenuhi ruang dengar dan ruang penglihatan kita dibeberapa sudut kota," katanya.
Firdaus menuturkan, tingginya persaingan untuk memperebutkan tempat di hati masyarakat menjadi alasan untuk saling bersaing dalam hal ini menjual janji-janji politik baik yang dilakukan oleh para politisinya maupun partainya.
Semua cara yang dilakukan oleh para politisi dan partai semata-mata hanya untuk menaikkan tingkat popularitas sehingga menjadi modal awal untuk dikenal hingga diminati oleh masyarakat.
"Mengenai adanya janji-janji politik yang banyak ditawarkan oleh para caleg dan partai itu merupakan suatu keharusan karena banyak yang menganggap jika cara itulah merupakan cara yang ampuh agar dikenal masyarakat. Ini adalah persaingan, sehingga masyarakat dituntut untuk cerdas dalam melakukan telaah," tuturnya.
Menurutnya, sistem perpolitikan di Indonesia menganut sistem "politik pencitraan" yang membuat para caleg dan partai ramai-ramai melakukan pencitraan untuk merebut simpati masyarakat.
Berbagai peristiwa dan dinamika di tengah masyarakat dimanfaatkan, bahkan bencana dan musibah "disetting" sedemikian rupa menjadi ajang mencari benefit polularitas untuk menunjukkan betapa "the best-nya" dan merakyatnya mereka, sedangkan yang lainnya pecundang. Zita Meirina
Berita Terkait
Mencermati janji polisi menuntaskan kasus Firli Bahuri
Minggu, 28 April 2024 13:18 Wib
Pj Gubernur Sulsel : Presiden Jokowi janji bangun stadion sepak bola di Makassar
Kamis, 22 Februari 2024 19:13 Wib
Calon Wapres Mahfud janji tata ulang proses seleksi ASN cegah jual beli jabatan
Kamis, 8 Februari 2024 10:05 Wib
Capres Prabowo Subianto janji menambah dokter dan beri makanan bergizi gratis
Minggu, 4 Februari 2024 21:04 Wib
Debat kelima Pilpres 2024, Anies janji pembangunan manusia hadirkan kesetaraan dan keadilan
Minggu, 4 Februari 2024 20:29 Wib
Kampanye Pilpres hari ke-66: Para capres beradu janji
Jumat, 2 Februari 2024 12:30 Wib
Kampanye pilpres hari ke-64: Pasangan calon gencar tebar janji ke daerah
Rabu, 31 Januari 2024 11:44 Wib
Hari ke-50 kampanye Pilpres 2024, Paslon masih tebar janji
Rabu, 17 Januari 2024 8:43 Wib