Mamuju (Antaranews Sulsel) - Pengukuhan Forum Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di Sulawesi Barat oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise pada Jumat (13/4) menjadi harapan untuk mencegah penikahan anak di provinsi termuda di Indonesia itu.
Kecemasan akan "punahnya" masa depan anak-anak di Sulbar cukup beralasan sebab angka penikahan anak di daerah itu tergolong cukup tinggi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 117.741 perempuan di Sulbar, menikah di bawah usia 21 tahun.
Data yang juga sangat mencengangkan, BPS Sulbar pada 2015 mencatat 11,58 persen anak menikah di bawah usia 16 tahun.
Kondisi itu menempatkan Provinsi Sulbar yang hanya berpenduduk sekitar satu juta jiwa menempati urutan pertama dalam kasus pernikahan anak, dibanding Provinsi Jawa Barat dengan jumlah penduduk mencapai 46 juta jiwa dan Jawa Timur dengan dengan sekitar 36 juta jiwa.
"Saya juga kaget mengapa Sulbar dengan jumlah penduduk yang hanya berkisar satu juta jiwa sementara Provinsi Jawa Barat dengan jumlah penduduk diperkirakan mencapai 46 juta jiwa dan Jawa Timur dengan sekitar 36 juta jiwa, bisa tertinggi dalam kasus pernikahan anak," kata Yohana Yembise.
Bahkan Menteri PPPA mengaku sangat prihatin atas kondisi tersebut, mengingat anak-anak merupakan tumpuan masa depan bangsa.
Pada usia anak-anak yang harusnya disisi dengan bermain, berkreasi, tumbuh kembang dan meniti masa depan namun mereka "dipaksa" melakoni kehidupan di luar dunianya yang penuh warna-warni.
"Harus dikaji kembali dan melihat indikator-indikatornya sebab Provinsi Sulbar dengan jumlah penduduk hanya sekitar satu juta namun angka pernikahan anaknya tinggi. Ini juga menjadi cacatan untuk masyarakat di Sulbar agar mengubah pola pikir dengan memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk berkembang dengan mengikuti pendidikan," jelas Yohana Yembise.
Berdasarkan konvensi tentang hak-hak anak yang sudah diratifikasi oleh presiden RI berdasarkan surat keputusan melalui konvensi hak anak, anak-anak mempunyai hak untuk bersekolah hingga usia 18 tahun.
"Jadi, kalau kita menikahkan di bawah usia tersebut berarti kita tidak menghargai hak anak dan tumbuh kembang anak. Kita harus menghargai dan mendukung konvensi PBB dan itu telah dilakukan di semua negara di seluruh dunia termasuk di Indonesia," kata Yohana Yembise.
Kementerian PPA lanjut Yohana Yembise, saat ini tengah berjuang merevisi Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, terutama pasal yang mengatur batas usia perkawinan, yakni batas minimal usia perkawinan bagi perempuan adalah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun.
Untuk kepentingan tersebut Menteri PPAA telah bertemu dengan Menteri Agama guna mendapat dukungan dalam upaya menyelamatkan anak-anak dari perkawinan dini, yakni melalui revisi Undang-undang Perkawinan atau Perpu.
"Apalagi, setelah adanya kongres ulama-ulama perempuan yang diikuti 500 peserta, juga disepakati untuk menghentikan perkawinan anak. Langkah ini kami lakukan untuk menyelamatkan anak-anak sebab masa depan bangsa dan negara ada di tangan anak-anak," terangnya.
"Jadi, pemerintah dan masyarakat harus membangun komitmen bahwa ini investasi. Urusan perempuan dan anak adalah urusan wajib daerah yang harus dilakukan oleh semua pimpinan di daerah mulai gubernur sampai bupati/wali kota serta semua OPD termasuk tokoh adat dan tokah agama," jelas Yohana Yembise.
Pengukuhan Satgas FPPA Sulbar dikakukan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Nomor:188.4/677/SULBAR/IX/2017.
Satgas FPPPA merupakan perpanjangan tangan dari Menteri PP-PA untuk mensosialisasikan tiga program unggulan, yakni akhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak, akhiri perdagangan manusia dan akhiri kesenjangan ekonomi ketidak adilan bagi kaum perempuan.
"Saya berharap bisa bekerja sama untuk menyelenggarakan 3 Program unggulan tersebut," kata Yohana Yembise.
Kepengurusan Forum Partisipasi Publik Untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak serta Satgas FPPPA dengan Pembina Gubernur dan Wakil Gubernur serta Sekretaris Provinsi Sulbar itu berasal dari berbagai elemen masyarakat yang ada di daerah itu, termasuk dari unsur pers.
Salah seorang anggota Satgas FPPPA Sulbar Busman Rasyid mengatakan, sebagai perpanjangan tangan dari kementerian PPPA, satgas bertugas secara cepat untuk melakukan pendampingan langsung terkait kasus kekerasan pada perempuan dan anak sampai tuntas.
"Sagtas FPPPA juga melakukan pencegahan melalui sosialisasi kepada masyarakat tentang kategori kekerasan pada perempuan dan anak di bawah naungan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak," ujar Busman Rasyid.
Sekolah Ramah Anak
Serangkaian kegatan pada kunjungan pertama kalinya Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise di Kabupaten Mamuju, ibu kota Provinsi Sulawesi Barat selama tiga hari, yakni 12-14 April 2017 memberikan secercah harapan dalam memberikan dukungan kepada masyarakat di provinsi termuda itu dalam upaya mencegah terjadinya pernikahan anak.
Komitmen Kementerian PPPA yang dinahkodai Yohana Yembise atau yang akrab disapa "Mama Yo" itu terlihat saat meluncurkan Sekolah Ramah Anak (SRA) di MTs Negeri Binanga Kabupaten Mamuju.
Sekolah yang berada di bawah naungan Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Barat ini dikukuhkan sebagai salah satu "Pilot Project" atau percontohan sekolah yang represhentatif bagi anak.
Selain menandatangani peresmian Sekolah Ramah Anak, pada kesempatan itu Menteri PPPA juga menyerahkan bantuan Sekolah Ramah Anak secara simbolis pada empat sekolah yang telah dikukuhkan sebagai sekolah ramah anak yaitu MTsN Binanga Mamuju, SMP Negeri 2 Mamuju, MIS Al-Chaeriyah Mamuju dan SD Inpres Rimuku masing-masing Rp25.000.000, juga menandatangani Deklarasi Sekolah Ramah Anak, dan melakukan penanaman pohon di halaman MTsN Binanga Mamuju.
Di hadapan ratusan anak-anak yang berasal dari berbagai sekolah di Kabupaten Mamuju itu, Menteri PPPA yang dalam sambutannya sesekali melontarkan kelakar, menyampaikan pesan agar anak-anak itu dapat menjadi duta, baik bagi pelajar dari sekolah lain maupun di lingkungan keluarga.
"Kita telah bersama-sama menyaksikan penandatangan Deklarasi Sekolah Ramah Anak yang berpusat di MTs Binanga Mamuju. Ini berarti sekolah ini telah dikukuhkan sebagai sekolah model yang akan membantu sekolah-sekolah lain menjadi contoh teladan di Provinsi Sulawesi Barat supaya ramah anak," ujarnya.
"Sekolah ramah anak artinya sekolah yang mempunyai kesadaran untuk memenuhi hak dan melindungi anak-anak selama berada disekolah. Dan tugas guru memberikan ilmu dan memperbaiki moral murid sehingga tidak bisa ada lagi kekerasan di sekolah, antara siswa dengan siswa maupun siswa dengan guru," Jelas Yohana.
Anak adalah masa depan dari bangsa kita, perlindungan anak harus menjadi tanggung jawab kita bersama, kita berkomitmen melindungi seluruh anak-anak Indonesia.
Sesuai dengan konvensi PBB mengenai konvensi anak, Hak untuk bersekolah, hak untuk bermain, hak untuk berkreatif, hak untuk dilindungi, dan hak untuk bebas beraktifitas.
"Semua itu merupakan hak anak yang harus diperhatikan. Negara menjamin hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi," katanya.
"Investasi untuk anak itu harus besar karena anak inilah yang akan melanjutkan generasi kita kedepannya semoga Sekolah Ramah Anak, bisa menjadi model percontohan untuk sekolah lainnya," terang Yohana Yembise.
Menteri PPPA itu juga berharap kepada pemerintah daerah membangun kebersamaan dan komitmen untuk melihat perempuan dan anak.
Menurutnya, perempuan dan anak dianggap sebagai pilar yang dapat menyelamatkan satu bangsa.
"Perempuanlah yang menyelamatkan Sulbar dan anak-anaklah yang menyelamatkan masa depan Sulbar. Apalagi Indonesia dipilih menjadi satu dari 10 negara besar di dunia oleh PBB. Mengapa Indonesia dipilih, sebab toleransi dianggap tinggi di Indonesia dan perempuan-perempuan dianggap cukup maju," tuturnya.
"Demikian juga untuk anak-anak Indonesia dipilih menjadi satu dari empat negara besar untuk diperhatikan, dan menargetkan tahun 2030 sudah tidak ada lagi kekerasan pada perempuan dan anak," terang Yohana Yembise.
Wakil Bupati Mamuju H. Irwan SP Pababari juga menyampaikan apresiasi atas pelaksanaan program yang dicanangkan Menteri PPPA itu.
Dan kepada sekolah-sekolah yang telah ditunjuk Wabub meminta agar segera mempersiapkan diri baik dari persoalan infrastruktur maupun SDM yang dapat mengaplikasi program tersebut, sehingga sekolah ramah anak tidak hanya sebatas slogan namun benar-benar dapat diwujudkan.
"Kami berharap dengan program yang bertujuan mewujudkan sekolah yang mampu menjamin perlindungan dan hak-hak anak di sekolah ini akan benar-benar menjadi proyek percontohan bagi sekolah lain, tidak hanya berskala lokal Sulawesi Barat namun untuk seluruh Indonesia. Karenanya kehadiran ibu Menteri PPPA akan semakin membawa spirit untuk merencanakan dan melaksanakan program ini sesuai dengan apa yang diharapkan," harap Irwan SP Pababari.
Tentu, "oleh-oleh" yang dibawa Menteri PPPA selama tiga hari di Kabupaten Mamuju itu menjadi angin segar bagi masyarakat di Sulbar, agar masa depan anak-anak yang merupakan aset bangsa dapat tetap terjaga.
Anak-anak yang harus menghiasi hari-harinya untuk mempersiapkan diri sebagai pemimpin, semestinya tetap dijaga, baik oleh pemerintah maupun masyarakat sehingga tidak "ternoda" oleh tradisi, pola pikir dan egoisme orang tua yang tentunya merusak masa depan mereka yang juga berarti merusak masa depan bangsa dan negara.
Kecemasan akan "punahnya" masa depan anak-anak di Sulbar cukup beralasan sebab angka penikahan anak di daerah itu tergolong cukup tinggi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 117.741 perempuan di Sulbar, menikah di bawah usia 21 tahun.
Data yang juga sangat mencengangkan, BPS Sulbar pada 2015 mencatat 11,58 persen anak menikah di bawah usia 16 tahun.
Kondisi itu menempatkan Provinsi Sulbar yang hanya berpenduduk sekitar satu juta jiwa menempati urutan pertama dalam kasus pernikahan anak, dibanding Provinsi Jawa Barat dengan jumlah penduduk mencapai 46 juta jiwa dan Jawa Timur dengan dengan sekitar 36 juta jiwa.
"Saya juga kaget mengapa Sulbar dengan jumlah penduduk yang hanya berkisar satu juta jiwa sementara Provinsi Jawa Barat dengan jumlah penduduk diperkirakan mencapai 46 juta jiwa dan Jawa Timur dengan sekitar 36 juta jiwa, bisa tertinggi dalam kasus pernikahan anak," kata Yohana Yembise.
Bahkan Menteri PPPA mengaku sangat prihatin atas kondisi tersebut, mengingat anak-anak merupakan tumpuan masa depan bangsa.
Pada usia anak-anak yang harusnya disisi dengan bermain, berkreasi, tumbuh kembang dan meniti masa depan namun mereka "dipaksa" melakoni kehidupan di luar dunianya yang penuh warna-warni.
"Harus dikaji kembali dan melihat indikator-indikatornya sebab Provinsi Sulbar dengan jumlah penduduk hanya sekitar satu juta namun angka pernikahan anaknya tinggi. Ini juga menjadi cacatan untuk masyarakat di Sulbar agar mengubah pola pikir dengan memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk berkembang dengan mengikuti pendidikan," jelas Yohana Yembise.
Berdasarkan konvensi tentang hak-hak anak yang sudah diratifikasi oleh presiden RI berdasarkan surat keputusan melalui konvensi hak anak, anak-anak mempunyai hak untuk bersekolah hingga usia 18 tahun.
"Jadi, kalau kita menikahkan di bawah usia tersebut berarti kita tidak menghargai hak anak dan tumbuh kembang anak. Kita harus menghargai dan mendukung konvensi PBB dan itu telah dilakukan di semua negara di seluruh dunia termasuk di Indonesia," kata Yohana Yembise.
Kementerian PPA lanjut Yohana Yembise, saat ini tengah berjuang merevisi Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, terutama pasal yang mengatur batas usia perkawinan, yakni batas minimal usia perkawinan bagi perempuan adalah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun.
Untuk kepentingan tersebut Menteri PPAA telah bertemu dengan Menteri Agama guna mendapat dukungan dalam upaya menyelamatkan anak-anak dari perkawinan dini, yakni melalui revisi Undang-undang Perkawinan atau Perpu.
"Apalagi, setelah adanya kongres ulama-ulama perempuan yang diikuti 500 peserta, juga disepakati untuk menghentikan perkawinan anak. Langkah ini kami lakukan untuk menyelamatkan anak-anak sebab masa depan bangsa dan negara ada di tangan anak-anak," terangnya.
"Jadi, pemerintah dan masyarakat harus membangun komitmen bahwa ini investasi. Urusan perempuan dan anak adalah urusan wajib daerah yang harus dilakukan oleh semua pimpinan di daerah mulai gubernur sampai bupati/wali kota serta semua OPD termasuk tokoh adat dan tokah agama," jelas Yohana Yembise.
Pengukuhan Satgas FPPA Sulbar dikakukan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Nomor:188.4/677/SULBAR/IX/2017.
Satgas FPPPA merupakan perpanjangan tangan dari Menteri PP-PA untuk mensosialisasikan tiga program unggulan, yakni akhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak, akhiri perdagangan manusia dan akhiri kesenjangan ekonomi ketidak adilan bagi kaum perempuan.
"Saya berharap bisa bekerja sama untuk menyelenggarakan 3 Program unggulan tersebut," kata Yohana Yembise.
Kepengurusan Forum Partisipasi Publik Untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak serta Satgas FPPPA dengan Pembina Gubernur dan Wakil Gubernur serta Sekretaris Provinsi Sulbar itu berasal dari berbagai elemen masyarakat yang ada di daerah itu, termasuk dari unsur pers.
Salah seorang anggota Satgas FPPPA Sulbar Busman Rasyid mengatakan, sebagai perpanjangan tangan dari kementerian PPPA, satgas bertugas secara cepat untuk melakukan pendampingan langsung terkait kasus kekerasan pada perempuan dan anak sampai tuntas.
"Sagtas FPPPA juga melakukan pencegahan melalui sosialisasi kepada masyarakat tentang kategori kekerasan pada perempuan dan anak di bawah naungan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak," ujar Busman Rasyid.
Sekolah Ramah Anak
Serangkaian kegatan pada kunjungan pertama kalinya Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise di Kabupaten Mamuju, ibu kota Provinsi Sulawesi Barat selama tiga hari, yakni 12-14 April 2017 memberikan secercah harapan dalam memberikan dukungan kepada masyarakat di provinsi termuda itu dalam upaya mencegah terjadinya pernikahan anak.
Komitmen Kementerian PPPA yang dinahkodai Yohana Yembise atau yang akrab disapa "Mama Yo" itu terlihat saat meluncurkan Sekolah Ramah Anak (SRA) di MTs Negeri Binanga Kabupaten Mamuju.
Sekolah yang berada di bawah naungan Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Barat ini dikukuhkan sebagai salah satu "Pilot Project" atau percontohan sekolah yang represhentatif bagi anak.
Selain menandatangani peresmian Sekolah Ramah Anak, pada kesempatan itu Menteri PPPA juga menyerahkan bantuan Sekolah Ramah Anak secara simbolis pada empat sekolah yang telah dikukuhkan sebagai sekolah ramah anak yaitu MTsN Binanga Mamuju, SMP Negeri 2 Mamuju, MIS Al-Chaeriyah Mamuju dan SD Inpres Rimuku masing-masing Rp25.000.000, juga menandatangani Deklarasi Sekolah Ramah Anak, dan melakukan penanaman pohon di halaman MTsN Binanga Mamuju.
Di hadapan ratusan anak-anak yang berasal dari berbagai sekolah di Kabupaten Mamuju itu, Menteri PPPA yang dalam sambutannya sesekali melontarkan kelakar, menyampaikan pesan agar anak-anak itu dapat menjadi duta, baik bagi pelajar dari sekolah lain maupun di lingkungan keluarga.
"Kita telah bersama-sama menyaksikan penandatangan Deklarasi Sekolah Ramah Anak yang berpusat di MTs Binanga Mamuju. Ini berarti sekolah ini telah dikukuhkan sebagai sekolah model yang akan membantu sekolah-sekolah lain menjadi contoh teladan di Provinsi Sulawesi Barat supaya ramah anak," ujarnya.
"Sekolah ramah anak artinya sekolah yang mempunyai kesadaran untuk memenuhi hak dan melindungi anak-anak selama berada disekolah. Dan tugas guru memberikan ilmu dan memperbaiki moral murid sehingga tidak bisa ada lagi kekerasan di sekolah, antara siswa dengan siswa maupun siswa dengan guru," Jelas Yohana.
Anak adalah masa depan dari bangsa kita, perlindungan anak harus menjadi tanggung jawab kita bersama, kita berkomitmen melindungi seluruh anak-anak Indonesia.
Sesuai dengan konvensi PBB mengenai konvensi anak, Hak untuk bersekolah, hak untuk bermain, hak untuk berkreatif, hak untuk dilindungi, dan hak untuk bebas beraktifitas.
"Semua itu merupakan hak anak yang harus diperhatikan. Negara menjamin hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi," katanya.
"Investasi untuk anak itu harus besar karena anak inilah yang akan melanjutkan generasi kita kedepannya semoga Sekolah Ramah Anak, bisa menjadi model percontohan untuk sekolah lainnya," terang Yohana Yembise.
Menteri PPPA itu juga berharap kepada pemerintah daerah membangun kebersamaan dan komitmen untuk melihat perempuan dan anak.
Menurutnya, perempuan dan anak dianggap sebagai pilar yang dapat menyelamatkan satu bangsa.
"Perempuanlah yang menyelamatkan Sulbar dan anak-anaklah yang menyelamatkan masa depan Sulbar. Apalagi Indonesia dipilih menjadi satu dari 10 negara besar di dunia oleh PBB. Mengapa Indonesia dipilih, sebab toleransi dianggap tinggi di Indonesia dan perempuan-perempuan dianggap cukup maju," tuturnya.
"Demikian juga untuk anak-anak Indonesia dipilih menjadi satu dari empat negara besar untuk diperhatikan, dan menargetkan tahun 2030 sudah tidak ada lagi kekerasan pada perempuan dan anak," terang Yohana Yembise.
Wakil Bupati Mamuju H. Irwan SP Pababari juga menyampaikan apresiasi atas pelaksanaan program yang dicanangkan Menteri PPPA itu.
Dan kepada sekolah-sekolah yang telah ditunjuk Wabub meminta agar segera mempersiapkan diri baik dari persoalan infrastruktur maupun SDM yang dapat mengaplikasi program tersebut, sehingga sekolah ramah anak tidak hanya sebatas slogan namun benar-benar dapat diwujudkan.
"Kami berharap dengan program yang bertujuan mewujudkan sekolah yang mampu menjamin perlindungan dan hak-hak anak di sekolah ini akan benar-benar menjadi proyek percontohan bagi sekolah lain, tidak hanya berskala lokal Sulawesi Barat namun untuk seluruh Indonesia. Karenanya kehadiran ibu Menteri PPPA akan semakin membawa spirit untuk merencanakan dan melaksanakan program ini sesuai dengan apa yang diharapkan," harap Irwan SP Pababari.
Tentu, "oleh-oleh" yang dibawa Menteri PPPA selama tiga hari di Kabupaten Mamuju itu menjadi angin segar bagi masyarakat di Sulbar, agar masa depan anak-anak yang merupakan aset bangsa dapat tetap terjaga.
Anak-anak yang harus menghiasi hari-harinya untuk mempersiapkan diri sebagai pemimpin, semestinya tetap dijaga, baik oleh pemerintah maupun masyarakat sehingga tidak "ternoda" oleh tradisi, pola pikir dan egoisme orang tua yang tentunya merusak masa depan mereka yang juga berarti merusak masa depan bangsa dan negara.