Jakarta (ANTARA) - Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyebut belum ada pergerakan pengungsi Rohingya yang memasuki perairan dekat Aceh.
“Hal ini juga dikonfirmasi oleh Direktorat Polisi Air dan Udara Provinsi Aceh, setelah melakukan patroli udara di sepanjang garis pantai utara Pulau Sumatera pekan lalu,” kata Retno dalam konferensi pers secara daring dari Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu.
Sebelumnya dilaporkan bahwa ratusan pengungsi Rohingya dari Myanmar akan memasuki perairan Indonesia dalam perjalanan menuju Malaysia.
Dalam konteks penyebaran pandemi COVID-19 saat ini, Menlu Retno menyebut pergerakan warga Rohingya akan menjadi masalah yang lebih kompleks karena dapat menimbulkan tantangan kemanusiaan yang lebih besar.
Di sisi lain, masalah di Rakhine State telah menjadi perhatian Indonesia dan ASEAN mengingat dimensi kemanusiaannya dan implikasinya terhadap perdamaian, stabilitas, dan keamanan regional.
Untuk mengatasi masalah tersebut, Indonesia akan memanfaatkan semua mekanisme yang ada termasuk melalui Deklarasi Bali Process di mana Indonesia menjadi ketua bersama dengan Australia.
Perlu diketahui, Deklarasi Bali untuk Korban Penyelundupan, Perdagangan dan Kejahatan Transnasional merupakan komitmen yang disepakati di Bali, Indonesia pada Maret 2016 oleh perwakilan dari 43 negara.
Dalam 14 poin deklarasi itu, negara-negara di Asia Pasifik berupaya meningkatkan perlindungan terhadap pengungsi yang berpindah tidak lewat jalur resmi (irregular movement), khususnya setelah ribuan pengungsi Rohingya tewas di laut akibat tidak diperbolehkan menepi pada 2015.
Menlu Retno telah berbicara melalui telepon dengan Menlu Australia Marise Payne mengenai masalah pengungsi Rohingya, termasuk untuk membahas secara komprehensif mulai dari negara asal, negara transit, serta negara tujuan, dengan mempertimbangkan tantangan yang muncul akibat COVID-19.
“Pengungsi dari Rakhine State memang rentan diperdagangkan atau diselundupkan. Jadi komunitas internasional memiliki tanggung jawab untuk melindungi mereka yang merupakan korban penyelundupan manusia dan perdagangan orang,” tutur Retno.
Sebelumnya, Amnesty International, organisasi yang berfokus di bidang penegakan HAM, mendesak negara anggota ASEAN melakukan pendekatan bersama untuk menangani masalah pengungsi Rohingya, yang banyak keluar dari Myanmar lewat jalur laut menuju negara sekitar.
Pada masa wabah COVID-19 saat ini, negara-negara menutup perbatasan menuju wilayah daratannya, sehingga banyak pengungsi Rohingya yang terombang-ambing di tengah laut dan bahkan meninggal dunia dalam pencarian tempat menepi.
Menurut peneliti Amnesty International Indonesia Dominique Virgil, Indonesia dianggap sebagai salah satu negara yang cukup memberikan perhatian terhadap masalah pengungsi, misalnya dengan mengeluarkan pernyataan bersama Malaysia dan Thailand pada 2015 untuk melakukan operasi SAR bagi pengungsi yang terombang-ambing di laut.
Selain itu, Indonesia dinilai menunjukkan peran kepemimpinan terkait upaya penanganan persoalan ini, dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang komitmen pemerintah menyediakan penampungan bagi para pengungsi yang terlantar di tengah laut.
Atas fakta-fakta tersebut, Amnesty International mengharapkan Indonesia dapat menampung sekitar 500 pengungsi Rohingya dalam dua kapal yang dikabarkan saat ini tengah mendekat ke perairan Aceh untuk dapat mendarat di wilayah itu.
"Masyarakat Rohingya adalah bagian dari ASEAN, sehingga mengabaikan mereka berarti mengabaikan masyarakat ASEAN itu sendiri," ujar Dominique.