Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi I DPR RI Sukamta mendorong Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menghapus kebijakan yang membolehkan pelaku pinjaman 'online' atau pinjol untuk mengakses IMEI nasabah, sebagai langkah antisipatif maraknya pinjol ilegal yang merugikan masyarakat.
"Kami juga mendorong kebijakan OJK yang memberi akses IMEI kepada pinjol dihapus saja," kata Sukamta dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu.
Ia menjelaskan teknologi digital seperti sekarang, dimungkinkan transaksi keuangan secara elektronik. Calon nasabah mengajukan pinjaman secara "online" dengan syarat-syarat administrasi, lalu pihak pinjol akan melakukan verifikasi data, di antaranya melalui akses verifikasi data di Dukcapil. Kemudian verifikasi menggunakan CAMILAN (camera, microphone, location).
Dari segi regulasi, kata Wakil Ketua Fraksi PKS ini, OJK membolehkan akses IMEI. OJK mempertimbangkan jika akses data oleh pinjol hanya dilakukan melalui CAMILAN, itu sangat beresiko.
Ada yang ponselnya bisa untuk pengajuan pinjaman beberapa kali dengan pinjol berbeda asalkan 'SIM Card' nya berbeda. Dengan akses IMEI, potensi utang ganda seperti ini bisa dihindari.
Menurut dia, di sinilah fakta penyimpangan di lapangan yang terjadi. Akses IMEI ini bisa melihat semua isi dari ponsel, tidak hanya nama dan nomor kontak, tapi juga file-file video, foto, riwayat chat, dan seterusnya.
Hal inilah yang kemudian jadi alat pinjol untuk mengancam nasabah yang telat atau gagal bayar cicilan. Ada nasabah yang diancam pinjol dengan penyebaran konten-konten pribadinya ke kontak-kontak yang dimiliki.
"Verifikasi data yang terintegrasi dengan data Dukcapil ditambah Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK ) milik OJK (sebelumnya BI checking) harusnya sudah cukup. Apalagi data tersebut terintegrasi dengan NIK dan nomor KK. SLIK juga bisa memberi tahu riwayat dan performa kredit nasabah," ujar Sukamta.
Maraknya pinjol ilegal yang menjerat masyarakat menjadi perhatian serius anggota dewan. Sukamta mengapresiasi langkah yang dilakukan aparat kepolisian serta kementerian/lembaga terkait dalam pemberantasan pinjol ilegal yang merugikan masyarakat.
Upaya penegakan hukum dilakukan jajaran kepolisian, bahkan Kementerian Kominfo telah melakukan pemblokiran terhadap 4.875 konten "peer to peer lending" yang tidak terdaftar di OJK.
Namun, kata Sukamta, dari semua upaya di hilir tersebut, perlu penyelesaian pokok masalah di hulu. Setidaknya ada tiga pokok masalah hulu yang perlu diselesaikan, salah satunya kebijakan menghapus izin akses IMEI tersebut.
Pokok masalah hulu pertama, menurut Sukamta, yakni aspek masyarakat. Adanya kebutuhan masyarakat terhadap pinjaman terlebih di masa pandemi COVID-19 ini banyak masyarakat benar-benar membutuhkan, atau kepepet untuk memenuhi kebutuhannya, ada juga yang karena konsumtif.
"Mereka ditolak pengajuan oleh pinjol legal atau bank resmi yang memiliki persyaratan ketat. Lalu tergiur oleh pinjol ilegal yang menawarkan kemudahan dalam mengajukan pinjaman mampu menarik banyak masyarakat, meskipun bunganya mencekik, lintah darat versi "online," kata Sukamta.
Untuk itu, kata Sukamta, masyarakat harus mengerem diri mengurangi konsumsi yang tidak perlu, jika pada akhirnya terlibat dengan pinjol ilegal. Lebih baik tidak membeli kebutuhan sekunder atau tersiar.
"Lebih baik menghindari riba karena membuat sengsara. Jika memang benar-benar butuh, ya tentunya perlu pengelolaan kebutuhan yang disesuaikan dengan kemampuan mencicil pinjol. Ini literasi keuangan," katanya.
Selain itu yang kedua, lanjut Sukamta, perlu juga masyarakat memahami literasi digital di bidang 'fintech' ini. Teknologi seperti apa yang digunakan pinjol, 'agreement' dan 'permission' apa saja yang dipersyaratkan oleh Pinjol terhadap nasabahnya.
"Masyarakat harus pintar dan berhati-hati dalam memilih alpikasi pinjol. Edukasi kepada masyarakat ini menjadi tugas kita bersama. Selama ini sudah berjalan, di antaranya lewat program Kementerian Kominfo, tapi perlu digalakkan lagi," tegasnya.
Dari tiga aspek di atas, Sukamta menekankan soal regulasi dan kebijakan yang merupakan persoalan hulu. Sejauh ini, kasus kejahatan terkait pinjol ilegal ini bisa dihukum menggunakan UU ITE seperti misalnya untuk kasus ancaman dan menakut-nakuti serta penyebaran konten asusila.
UU ITE, lanjut dia, dilengkapi PP No 71 tahun 2019 tentang PSTE juga memberi kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan pemutusan akses (pemblokiran) terhadap konten-konten yang melanggar peraturan perundang-undangan. Tapi perlu disempurnakan dalam aspek pelindungan data pribadi.
Dalam hal ini Sukamta terus mendorong RUU Pelindungan Data Pribadi, yang sejauh ini "deadlock", agar segera diselesaikan dan disahkan.
"Saya apresiasi kesigapan pemerintah untuk memberantas pinjol ilegal ini. Saya juga mendorong pemerintah agar terus menegakkan hukum. Tapi tindakan pemberantasan di hilir seperti ini belum cukup, kita juga perlu selesaikan pokok masalahnya di hulu," tutup Sukamta.