Perempuan Kodingareng bawa replika gurita ke kantor Gubernur Sulsel
Makassar (ANTARA) - Puluhan perempuan nelayan asal Pulau Kodingareng Makassar didampingi aktivis lembaga Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulsel dan Green Peace Indonesia membawa replika gurita raksasa di depan kantor Gubernur Sulawesi Selatan sebagai bentuk protes atas kerusakan laut diduga dampak dari tambang pasir laut.
"Selama tambang pasir laut berlangsung, kami nelayan dan perempuan Pulau Kodingareng terus menderita. Daerah tangkap ikan sudah rusak parah, pendapatan kami pun menurun drastis," ungkap Sita, salah seorang perwakilan perempuan pulau Kodingareng disela aksi, Rabu.
Ia mengungkapkan, sejak aktivitas tambang pasir laut, terjadi perubahan arus dan kedalaman laut serta air laut kian keruh. Terumbu karang rusak hingga mengalami keputihan, diduga akibat sedimentasi tambang pasir laut. Bahkan hasil tangkap terus berkurang tiap hari.
"Banyak ikan pindah tempat karena Copong (pusat berkumpul ikan) sudah rusak. Pulau sering banjir (Rob) dulunya tidak. Anak-anak banyak tidak sekolah, utang menumpuk terpaksa gadai emas. Banyak warga pulau ke kota cari pekerjaan, dari pada menderita tidak ada pemasukan," tutur dia disela aksi.
Warga pulau saat ini berharap, tambah Sita, pemerintah tidak hanya mementingkan kepentingan reklamasi pada beberapa proyek pembangunan nasional, tapi juga serius memperhatikan kondisi nelayan ditengah kesusahan dampak dari tambang pasir laut tersebut.
Kepala Departemen Advokasi dan Kajian Walhi Sulsel, Slamet Riadi disela aksi mengatakan, replika gurita raksasa ini dinamai monster oligarki atau simbol. Sebab, ada banyak kesepakatan politik dan bisnis yang mencengkram menggerogoti seperti alam pesisir laut dan pulau-pulau kecil dampak dari aktivitas tambang pasir untuk reklamasi sejak 2017.
"Rancangan Perda RZWP3K Sulsel sudah terintegrasi aturan RTRW Sulsel tahun 2022-2041. Namun, praktik tambang pasir laut dan reklamasi semakin mengancam hidup masyarakat nelayan dan ekosistem pesisir. Kami menduga, produk hukum itu nantinya malah akan menguntungkan para oligarki," katanya.
Hal senada disampaikan Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, Afdillah, bahwa dampak yang terjadi akibat praktik pembangunan serampangan itu tidak hanya merusak daratan, tapi juga lautan. Paling terdampak tentu saja masyarakat kecil utamanya perempuan.
"Ini tidak hanya terjadi di Kodingareng tapi banyak daerah lain. Sudah banyak contoh nyata bagaimana oligarki menghancurkan kehidupan masyarakat kecil hanya demi kepentingan segelintir golongan saja,” kata Afdillah.
Aksi peringatan Hari Anti Oligarki mengusung tema ‘Perempuan Kodingareng Melawan Oligarki’ merupakan respons keras dari kaum perempuan Pulau Kodingareng yang merasakan dampak langsung dari aktivitas tambang pasir laut di wilayah tangkap nelayan untuk keperluan mega
proyek nasional PT Pelindo yakni Makassar New Port (MNP) .
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Perempuan Kodingareng bawa replika gurita di kantor Gubernur Sulsel
"Selama tambang pasir laut berlangsung, kami nelayan dan perempuan Pulau Kodingareng terus menderita. Daerah tangkap ikan sudah rusak parah, pendapatan kami pun menurun drastis," ungkap Sita, salah seorang perwakilan perempuan pulau Kodingareng disela aksi, Rabu.
Ia mengungkapkan, sejak aktivitas tambang pasir laut, terjadi perubahan arus dan kedalaman laut serta air laut kian keruh. Terumbu karang rusak hingga mengalami keputihan, diduga akibat sedimentasi tambang pasir laut. Bahkan hasil tangkap terus berkurang tiap hari.
"Banyak ikan pindah tempat karena Copong (pusat berkumpul ikan) sudah rusak. Pulau sering banjir (Rob) dulunya tidak. Anak-anak banyak tidak sekolah, utang menumpuk terpaksa gadai emas. Banyak warga pulau ke kota cari pekerjaan, dari pada menderita tidak ada pemasukan," tutur dia disela aksi.
Warga pulau saat ini berharap, tambah Sita, pemerintah tidak hanya mementingkan kepentingan reklamasi pada beberapa proyek pembangunan nasional, tapi juga serius memperhatikan kondisi nelayan ditengah kesusahan dampak dari tambang pasir laut tersebut.
Kepala Departemen Advokasi dan Kajian Walhi Sulsel, Slamet Riadi disela aksi mengatakan, replika gurita raksasa ini dinamai monster oligarki atau simbol. Sebab, ada banyak kesepakatan politik dan bisnis yang mencengkram menggerogoti seperti alam pesisir laut dan pulau-pulau kecil dampak dari aktivitas tambang pasir untuk reklamasi sejak 2017.
"Rancangan Perda RZWP3K Sulsel sudah terintegrasi aturan RTRW Sulsel tahun 2022-2041. Namun, praktik tambang pasir laut dan reklamasi semakin mengancam hidup masyarakat nelayan dan ekosistem pesisir. Kami menduga, produk hukum itu nantinya malah akan menguntungkan para oligarki," katanya.
Hal senada disampaikan Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, Afdillah, bahwa dampak yang terjadi akibat praktik pembangunan serampangan itu tidak hanya merusak daratan, tapi juga lautan. Paling terdampak tentu saja masyarakat kecil utamanya perempuan.
"Ini tidak hanya terjadi di Kodingareng tapi banyak daerah lain. Sudah banyak contoh nyata bagaimana oligarki menghancurkan kehidupan masyarakat kecil hanya demi kepentingan segelintir golongan saja,” kata Afdillah.
Aksi peringatan Hari Anti Oligarki mengusung tema ‘Perempuan Kodingareng Melawan Oligarki’ merupakan respons keras dari kaum perempuan Pulau Kodingareng yang merasakan dampak langsung dari aktivitas tambang pasir laut di wilayah tangkap nelayan untuk keperluan mega
proyek nasional PT Pelindo yakni Makassar New Port (MNP) .
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Perempuan Kodingareng bawa replika gurita di kantor Gubernur Sulsel