Ukraina dan perang melawan Rusia menegaskan identitas nasional
Jakarta (ANTARA) - Ternyata bagi Ukraina, perang melawan Rusia kini bukan lagi cuma tentang integritas teritorial dan kedaulatan nasional, karena juga tentang perjuangan menegaskan identitas atau jati diri bangsa.
Ukraina merdeka pada 1991, setelah Uni Soviet bubar. Situasi yang mendahului peristiwa itu mirip dengan peristiwa 1917 ketika Ukraina juga berusaha memerdekakan diri dari Imperium Rusia yang saat itu terancam tercerai berai akibat pergolakan yang dipicu Revolusi Bolshevik pimpinan Vladimir Lenin.
Jauh sebelum itu, selama 600 tahun setelah invasi Mongol di Eropa pada abad ke-13, Ukraina menjadi rebutan kekuatan-kekuatan besar Eropa masa silam, mulai dari Persemakmuran Polandia-Lithuania, Kekaisaran Austro-Hungaria, Turki Usmani, sampai akhirnya masuk kekuasaan Imperium Rusia pada abad ke-17.
Namun, itu tak menghilangkan aspirasi mencari identitas nasional, yang lalu menjelma menjadi gerakan nasionalisme ketika Rusia diguncang Revolusi Bolshevik pada 1917 yang mengakhiri ketsaran Rusia yang berubah menampilkan wajah Marxisme-Komunisme.
Nasionalisme Ukraina saat itu melahirkan Republik Rakyat Ukraina yang mencakup delapan provinsi Imperium Rusia, meliputi Kiev, Volhynia, Kharkov, Kherson, Yekaterinoslav, Poltava, Chernigov, dan Podolia.
Namun, kaum Bolshevik berhasil mengonsolidasikan kekuatan di seluruh Ukraina sampai menyisihkan Republik Rakyat Ukraina dan mendirikan Republik Sosialis Soviet Ukraina yang pada 1922 menjadi salah satu pendiri Uni Soviet.
Perjuangan bangsa Ukraina dalam mencari jati diri tak berhenti, sampai menemukan lagi momentum setelah benar-benar merdeka pada 1991.
Tahun itu, di ujung runtuhnya Uni Soviet, 91 persen warga Ukraina memilih merdeka. Saat itu identitas nasional Ukraina tak terbentuk kuat.
Setelah Rusia melancarkan invasi besar-besaran pada 24 Februari 2022, aspirasi untuk beridentitas satu sebagai bangsa dan negara Ukraina semakin membuncah.
Survei Kyiv International Institute of Sociology (KIIS) pada Juli 2023 menunjukkan 85 persen warga Ukraina mengidentifikasi dirinya sebagai orang Ukraina. Itu kenaikan 20 poin persen dari tahun sebelumnya yang mencapai 64,4 persen.
Dorongan meneguhkan identitas nasional Ukraina semakin kuat setelah Presiden Rusia Vladimir Putin secara eksplisit tak mengakui keberadaan Ukraina.
Dua hari sebelum memerintahkan "operasi militer khusus" di Ukraina, pada 22 Februari 2022, Putin berpidato, bahwa "Ukraina tak pernah memiliki (konsep) kenegaraan yang otentik. Tak ada konsep negara berkelanjutan di Ukraina...sekali lagi saya tekankan bahwa bagi kita (Rusia), Ukraina bukan hanya tetangga, tapi juga bagian integral dari ruang sejarah, budaya, dan spiritual kita."
Derusifikasi
Untuk itu, Ukraina melihat upaya mereka melawan Rusia tak lagi hanya soal kedaulatan dan integritas teritorial, namun juga tentang perjuangan menegakkan eksistensi dan melawan apa yang disebut sejumlah kalangan di Ukraina sebagai rekolonisasi oleh Rusia.
Salah satu sifat kolonialisme adalah kecenderungan menghilangkan identitas masyarakat wilayah yang diduduki sehingga tak memiliki perekat untuk menyatukan perlawanan menentang penguasa kolonial.
Hal itu sepertinya dirasakan Ukraina tengah menimpa mereka saat ini, sampai kemudian perang Ukraina-Rusia sudah dipandang sebagai perang identitas nasional.
"Perang ini sudah menjadi perang jati diri," kata Direktur Museum Nasional Sejarah Ukraina, Yuriy Savchuk, kepada AFP.
Salah satu akibat dari pencarian identitas ini adalah hasrat melepas ikatan budaya dengan negara yang dianggap mengolonisasi mereka. Dalam konteks Ukraina, adalah derusifikasi.
Derusifikasi adalah upaya melawan rusifikasi, sedangkan rusifikasi adalah proses asimilasi budaya di mana warga non-Rusia, entah secara sukarela atau tidak, menyatukan diri dalam budaya dan bahasa yang sejalan dengan yang ada di Rusia.
Derusifikasi kian agresif dilakukan Ukraina, salah satunya dengan memusnahkan monumen dan patung tokoh-tokoh Rusia, termasuk patung sastrawan besar Rusia, Alexander Pushkin, yang dalam puisinya berjudul "Poltava" dianggap menjelek-jelekkan seorang tokoh bangsa Ukraina.
Ukraina juga mengganti nama beberapa jalan yang dinamai dari tokoh-tokoh Rusia, termasuk nama pujangga-pujangga besar, seperti Nikolai Gogol, Anton Chekhov, dan Mikhail Lermontov.
Nama sastrawan Leo Tolstoy juga dicopot dari stasiun kereta api bawah tanah Kiev yang kini dinamai Ploshcha Ukrainskykh Heroiv atau "Lapangan Pahlawan Ukraina".
Serangan militer Rusia terhadap Ukraina didasari penolakan Rusia terhadap identitas Ukraina, sungguh membuat Ukraina menjadi makin bernafsu menguatkan jati diri nasionalnya.
Saking kuatnya keinginan itu, kini banyak orang Ukraina yang mengenakan segala hal yang berkaitan dengan kekhasan Ukraina yang dulu tak begitu mereka pedulikan.
Rusofobia
Sebaliknya, sentimen rusofobia (anti Rusia) menjadi mengencang.
Indeks Persepsi Demokrasi yang dirilis Juni 2022 sendiri menunjukkan Ukraina adalah satu dari dua negara Eropa yang persepsi negatifnya terhadap Rusia sangat besar, mencapai 80 persen. Angka itu hanya di bawah Polandia yang menjadi negara Eropa dengan persepsi negatif terhadap Rusia yang paling tinggi, 87 persen.
Rusia sendiri mengeluhkan keadaan sentimen rusofobia ini.
Rusia menilai sentimen itu yang membuat Ukraina menghapus identitas dan akar warga etnis Rusia di Ukraina, khususnya Donbas di Ukraina timur, salah satunya dengan tidak mengajarkan bahasa Rusia di sekolah-sekolah Ukraina.
Uniknya, menurut riset Jolanta Darczewska dan Piotr Zochowski dari Centre for Eastern Studies pada 2015, rusofobia justru menjadi alat Rusia untuk menegaskan identitas politik imperialisme gaya baru kepada penduduknya, sehingga terus menganggap Rusia merasa dibenci bangsa lain, yang kemudian menjadi justifikasi untuk menyerang bangsa lain seperti sedang dialami Ukraina sekarang.
Sentimen itu makin menjadi-jadi karena munculnya peristiwa-peristiwa, seperti deportasi paksa 6 ribu anak Ukraina, yang oleh PBB sendiri digolongkan sebagai kejahatan perang. PBB, bahkan memerintahkan penyelidikan kejahatan perang yang berujung kepada keluarnya surat perintah penangkapan Vladimir Putin oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
Negara-negara yang meratifikasi ICC tentu terikat oleh keputusan ICC, termasuk Afrika Selatan yang harus merelakan KTT BRICS (Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan) di Johannesburg, akhir Agustus nanti, tidak dihadiri Putin, gara-gara adanya surat perintah penangkapan dari ICC itu.
Bagi Ukraina sendiri, deportasi paksa anak-anak bangsanya adalah bagian dari upaya menghilangkan akar Ukraina sejak dini.
Situasi ini membuat antipati terhadap Rusia semakin besar, yang kemudian diperparah oleh dugaan kejahatan perang di Bucha dan beberapa kota Ukraina, yang membuat masyarakat Ukraina merasa Rusia sudah tak memiliki itikad memanusiakan Ukraina.
"Itu yang membuat orang Ukraina dari segala lapisan kini menolak berunding dengan Rusia," kata sastrawan Ukraina, Ostap Slyvynsky, seperti dikutip New Yorker.
Bukan itu saja, rakyat Ukraina juga menjadi keras menentang pemberian konsesi wilayah dalam setiap prakarsa damai. Survei KIIS pada September 2022 menunjukkan 87 persen rakyat Ukraina menolak konsesi wilayah kepada Rusia.
Karena perang sudah tak lagi dipandang sebagai semata tentang wilayah, melainkan juga sebagai perjuangan untuk survivalitas, eksistensi, dan jati diri bangsa, maka kompromi untuk solusi damai menjadi lebih sulit dilakukan.
Semoga KTT Ukraina di Jeddah, Arab Saudi, yang akan berlangsung selama satu pekan, mulai Sabtu 5 Agustus, bisa membuka ruang kompromi untuk mengakhiri perang itu, walau Rusia tak diundang dalam KTT tersebut.
Ukraina merdeka pada 1991, setelah Uni Soviet bubar. Situasi yang mendahului peristiwa itu mirip dengan peristiwa 1917 ketika Ukraina juga berusaha memerdekakan diri dari Imperium Rusia yang saat itu terancam tercerai berai akibat pergolakan yang dipicu Revolusi Bolshevik pimpinan Vladimir Lenin.
Jauh sebelum itu, selama 600 tahun setelah invasi Mongol di Eropa pada abad ke-13, Ukraina menjadi rebutan kekuatan-kekuatan besar Eropa masa silam, mulai dari Persemakmuran Polandia-Lithuania, Kekaisaran Austro-Hungaria, Turki Usmani, sampai akhirnya masuk kekuasaan Imperium Rusia pada abad ke-17.
Namun, itu tak menghilangkan aspirasi mencari identitas nasional, yang lalu menjelma menjadi gerakan nasionalisme ketika Rusia diguncang Revolusi Bolshevik pada 1917 yang mengakhiri ketsaran Rusia yang berubah menampilkan wajah Marxisme-Komunisme.
Nasionalisme Ukraina saat itu melahirkan Republik Rakyat Ukraina yang mencakup delapan provinsi Imperium Rusia, meliputi Kiev, Volhynia, Kharkov, Kherson, Yekaterinoslav, Poltava, Chernigov, dan Podolia.
Namun, kaum Bolshevik berhasil mengonsolidasikan kekuatan di seluruh Ukraina sampai menyisihkan Republik Rakyat Ukraina dan mendirikan Republik Sosialis Soviet Ukraina yang pada 1922 menjadi salah satu pendiri Uni Soviet.
Perjuangan bangsa Ukraina dalam mencari jati diri tak berhenti, sampai menemukan lagi momentum setelah benar-benar merdeka pada 1991.
Tahun itu, di ujung runtuhnya Uni Soviet, 91 persen warga Ukraina memilih merdeka. Saat itu identitas nasional Ukraina tak terbentuk kuat.
Setelah Rusia melancarkan invasi besar-besaran pada 24 Februari 2022, aspirasi untuk beridentitas satu sebagai bangsa dan negara Ukraina semakin membuncah.
Survei Kyiv International Institute of Sociology (KIIS) pada Juli 2023 menunjukkan 85 persen warga Ukraina mengidentifikasi dirinya sebagai orang Ukraina. Itu kenaikan 20 poin persen dari tahun sebelumnya yang mencapai 64,4 persen.
Dorongan meneguhkan identitas nasional Ukraina semakin kuat setelah Presiden Rusia Vladimir Putin secara eksplisit tak mengakui keberadaan Ukraina.
Dua hari sebelum memerintahkan "operasi militer khusus" di Ukraina, pada 22 Februari 2022, Putin berpidato, bahwa "Ukraina tak pernah memiliki (konsep) kenegaraan yang otentik. Tak ada konsep negara berkelanjutan di Ukraina...sekali lagi saya tekankan bahwa bagi kita (Rusia), Ukraina bukan hanya tetangga, tapi juga bagian integral dari ruang sejarah, budaya, dan spiritual kita."
Derusifikasi
Untuk itu, Ukraina melihat upaya mereka melawan Rusia tak lagi hanya soal kedaulatan dan integritas teritorial, namun juga tentang perjuangan menegakkan eksistensi dan melawan apa yang disebut sejumlah kalangan di Ukraina sebagai rekolonisasi oleh Rusia.
Salah satu sifat kolonialisme adalah kecenderungan menghilangkan identitas masyarakat wilayah yang diduduki sehingga tak memiliki perekat untuk menyatukan perlawanan menentang penguasa kolonial.
Hal itu sepertinya dirasakan Ukraina tengah menimpa mereka saat ini, sampai kemudian perang Ukraina-Rusia sudah dipandang sebagai perang identitas nasional.
"Perang ini sudah menjadi perang jati diri," kata Direktur Museum Nasional Sejarah Ukraina, Yuriy Savchuk, kepada AFP.
Salah satu akibat dari pencarian identitas ini adalah hasrat melepas ikatan budaya dengan negara yang dianggap mengolonisasi mereka. Dalam konteks Ukraina, adalah derusifikasi.
Derusifikasi adalah upaya melawan rusifikasi, sedangkan rusifikasi adalah proses asimilasi budaya di mana warga non-Rusia, entah secara sukarela atau tidak, menyatukan diri dalam budaya dan bahasa yang sejalan dengan yang ada di Rusia.
Derusifikasi kian agresif dilakukan Ukraina, salah satunya dengan memusnahkan monumen dan patung tokoh-tokoh Rusia, termasuk patung sastrawan besar Rusia, Alexander Pushkin, yang dalam puisinya berjudul "Poltava" dianggap menjelek-jelekkan seorang tokoh bangsa Ukraina.
Ukraina juga mengganti nama beberapa jalan yang dinamai dari tokoh-tokoh Rusia, termasuk nama pujangga-pujangga besar, seperti Nikolai Gogol, Anton Chekhov, dan Mikhail Lermontov.
Nama sastrawan Leo Tolstoy juga dicopot dari stasiun kereta api bawah tanah Kiev yang kini dinamai Ploshcha Ukrainskykh Heroiv atau "Lapangan Pahlawan Ukraina".
Serangan militer Rusia terhadap Ukraina didasari penolakan Rusia terhadap identitas Ukraina, sungguh membuat Ukraina menjadi makin bernafsu menguatkan jati diri nasionalnya.
Saking kuatnya keinginan itu, kini banyak orang Ukraina yang mengenakan segala hal yang berkaitan dengan kekhasan Ukraina yang dulu tak begitu mereka pedulikan.
Rusofobia
Sebaliknya, sentimen rusofobia (anti Rusia) menjadi mengencang.
Indeks Persepsi Demokrasi yang dirilis Juni 2022 sendiri menunjukkan Ukraina adalah satu dari dua negara Eropa yang persepsi negatifnya terhadap Rusia sangat besar, mencapai 80 persen. Angka itu hanya di bawah Polandia yang menjadi negara Eropa dengan persepsi negatif terhadap Rusia yang paling tinggi, 87 persen.
Rusia sendiri mengeluhkan keadaan sentimen rusofobia ini.
Rusia menilai sentimen itu yang membuat Ukraina menghapus identitas dan akar warga etnis Rusia di Ukraina, khususnya Donbas di Ukraina timur, salah satunya dengan tidak mengajarkan bahasa Rusia di sekolah-sekolah Ukraina.
Uniknya, menurut riset Jolanta Darczewska dan Piotr Zochowski dari Centre for Eastern Studies pada 2015, rusofobia justru menjadi alat Rusia untuk menegaskan identitas politik imperialisme gaya baru kepada penduduknya, sehingga terus menganggap Rusia merasa dibenci bangsa lain, yang kemudian menjadi justifikasi untuk menyerang bangsa lain seperti sedang dialami Ukraina sekarang.
Sentimen itu makin menjadi-jadi karena munculnya peristiwa-peristiwa, seperti deportasi paksa 6 ribu anak Ukraina, yang oleh PBB sendiri digolongkan sebagai kejahatan perang. PBB, bahkan memerintahkan penyelidikan kejahatan perang yang berujung kepada keluarnya surat perintah penangkapan Vladimir Putin oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
Negara-negara yang meratifikasi ICC tentu terikat oleh keputusan ICC, termasuk Afrika Selatan yang harus merelakan KTT BRICS (Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan) di Johannesburg, akhir Agustus nanti, tidak dihadiri Putin, gara-gara adanya surat perintah penangkapan dari ICC itu.
Bagi Ukraina sendiri, deportasi paksa anak-anak bangsanya adalah bagian dari upaya menghilangkan akar Ukraina sejak dini.
Situasi ini membuat antipati terhadap Rusia semakin besar, yang kemudian diperparah oleh dugaan kejahatan perang di Bucha dan beberapa kota Ukraina, yang membuat masyarakat Ukraina merasa Rusia sudah tak memiliki itikad memanusiakan Ukraina.
"Itu yang membuat orang Ukraina dari segala lapisan kini menolak berunding dengan Rusia," kata sastrawan Ukraina, Ostap Slyvynsky, seperti dikutip New Yorker.
Bukan itu saja, rakyat Ukraina juga menjadi keras menentang pemberian konsesi wilayah dalam setiap prakarsa damai. Survei KIIS pada September 2022 menunjukkan 87 persen rakyat Ukraina menolak konsesi wilayah kepada Rusia.
Karena perang sudah tak lagi dipandang sebagai semata tentang wilayah, melainkan juga sebagai perjuangan untuk survivalitas, eksistensi, dan jati diri bangsa, maka kompromi untuk solusi damai menjadi lebih sulit dilakukan.
Semoga KTT Ukraina di Jeddah, Arab Saudi, yang akan berlangsung selama satu pekan, mulai Sabtu 5 Agustus, bisa membuka ruang kompromi untuk mengakhiri perang itu, walau Rusia tak diundang dalam KTT tersebut.