Jakarta (ANTARA) - Gang Ruhana di Kota Bandung, Jawa Barat, menjadi simbol dari praktik toleransi antarumat beragama. Kerukunan telah mendarah daging dan terbentuk sejak lama. Masyarakat hidup berdampingan, meski berbeda suku dan agama.
Di Gang Ruhana ada tiga tempat ibadah yang lokasinya berdekatan, yakni Masjid Al Amanah yang berdiri pada 2015, Vihara Girimetta yang sudah ada sejak setahun setelah proklamasi kemerdekaan RI, dan Gereja Pantekosta yang dibangun pada 1933.
Dalam setiap perayaan hari-hari besar keagamaan, masyarakat di Gang Ruhana kerap menjadi contoh bagaimana antarumat beragama saling membantu, demi perayaan yang khidmat.
Seperti yang terlihat saat perayaan Natal, warga Muslim dan umat Buddha kerap membantu segala kebutuhan, saat bulan Ramadhan warga ramai-ramai menggelar buka bareng di sepanjang jalan gang yang diikuti oleh Muslim dan nonmuslim. Begitu pula saat Imlek, warga saling bertukar makanan.
Bagi mereka, perbedaan keyakinan bukanlah sebuah alasan untuk saling membenci antara sesama umat manusia, justru dengan adanya keberagaman menjadikan hidup semakin indah.
Kehidupan yang berlangsung di Gang Ruhana ini menjadi implementasi dari konsep Moderasi Beragama yang saat ini terus digaungkan oleh Kementerian Agama.
Bukan moderasi agama
Moderasi Beragama kerap disalahartikan oleh sebagian masyarakat. Konsep itu dianggap sebagai pelonggaran ajaran agama. Padaha moderasi beragama bukanlah upaya untuk "memoderasi agama", tapi memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem, baik kanan maupun kiri.
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menyebut bahwa moderasi beragama merupakan upaya mengembalikan pemahaman dan pengamalan agama agar sesuai dengan esensinya, yaitu menjaga harkat dan martabat manusia. Dalam Islam, hak utama untuk hidup dan menghormati martabat adalah hak asasi manusia.
Indonesia sebagai negara multikultural dan multiagama, ditantang untuk mengelola keragaman dan permasalahan sosial keagamaan. Belakangan, ada beberapa orang yang memiliki pemikiran keagamaan eksklusif dan ekstrem.
Mereka mengklaim kebenaran hanya untuk dirinya sendiri dan menyalahkan orang lain. Hal ini menimbulkan ketegangan di masyarakat dan mengancam kerukunan intra dan antarumat beragama di Indonesia.
Setidaknya, ada tiga tantangan yang harus dihadapi dalam proses penguatan moderasi beragama. Pertama, berkembangnya pemahaman dan pengamalan keagamaan yang berlebihan, melampaui batas, dan bertolak belakang dengan esensi ajaran agama.
Kedua, munculnya klaim kebenaran tunggal atas tafsir agama. Ada sebagian orang yang merasa paham tafsir keagamaannya saja yang paling benar, lalu memaksa orang lain yang berbeda untuk mengikuti pahamnya. Bahkan, bila perlu dengan menggunakan cara paksaan dan kekerasan.
Sementara tantangan ketiga, pemahaman yang dapat mengancam, bahkan merusak ikatan kebangsaan.
Dalam hakikatnya, manusia diciptakan berbangsa-bangsa, bersuku-suku, dengan perbedaan bentuk wajah, warna kulit, bahasa, adat istiadat, dan keyakinan agama. Maka kemajemukan adalah sebuah keniscayaan dari kehendak Sang Maha Pencipta.
Meyakini dengan teguh kebenaran agama yang dianut merupakan kemutlakan, tetapi jangan pernah melecehkan atau memakai simbol-simbol yang disakralkan orang lain yang berbeda keyakinan.
Bahkan, bagi umat Islam larangan melecehkan simbol-simbol agama lain tertulis jelas dalam firman Allah, Surah Al-An'am, Ayat 108.
Pemilu
Fasilitator Utama Moderasi Beragama Alissa Wahid memandang penguatan moderasi beragama saat musim kampanye politik dan Pemilu 2024 menjadi sebuah kewajiban.
Moderasi beragama, sedang diuji. Terdapat sejumlah pihak yang menghalalkan semua cara untuk tujuan politiknya. Narasi-narasi yang beredar di media sosial kerap menghadirkan sentimen demi menggiring opini publik untuk saling membenci antara satu pihak dengan lainnya.
Sentimen negatif yang dibangun oleh segelintir pihak perlu dibentengi agar tak semakin runyam. Maka moderasi beragama bisa menjadi jalan untuk membangun tembok kokoh itu.
Penerapan moderasi beragama dalam penyelenggaraan pemilu bisa dimulai dengan penghormatan. Menghormati sikap politik pada pilihan masing-masing, tanpa harus saling menumpahkan darah dan tidak membangun narasi yang tak produktif.
Penghormatan juga bisa dengan bersikap tak berlebihan dalam dukung-mendukung. Masyarakat tak boleh menganggap urusan dukungan politik sebagai perkara "hidup dan mati" bagi seseorang.
Pengalaman pemilu sebelum-sebelumnya cukup menjadi pelajaran agar ke depan tak terjadi lagi polarisasi masyarakat akibat narasi-narasi menyesatkan dengan menggunakan agama.
Internasionalisasi
Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 58 Tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama pada 23 September 2023.
Terbitnya Perpres No 58 tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama menjadi babak baru. Ke depan, penguatan moderasi beragama bisa dilakukan lintas kementerian/lembaga dan pemerintah daerah, dengan Kemenag sebagai leading sector-nya.
Ada tiga hal yang perlu diimplementasikan untuk mengawal perpres tersebut. Pertama, pembentukan sekretariat bersama moderasi beragama yang diketuai Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.
Kedua, memastikan semua kementerian, lembaga, pemerintah provinsi dan daerah dapat mengoordinasi, memantau, mengevaluasi, melaporkan capaian, dan memublikasikan penguatan moderasi beragama.
Ketiga, Kemenag merancang Peraturan Menteri Agama (PMA) yang mengatur secara teknis apa saja yang akan dikoordinasikan, dipantau, dievaluasi, serta dilaporkan terkait moderasi beragama di setiap lembaga/instansi tersebut.
Sebagai bentuk implementasi perpres tersebut, Kementerian Agama telah menginisiasi pertemuan akbar "Konferensi Moderasi Beragama Asia-Afrika dan Amerika Latin" di Kota Bandung, pekan lalu.
Penyelenggaraan yang disingkat KMBAAAL ini sebagai ikhtiar untuk menguatkan moderasi beragama di level global, sekaligus ikut mengupayakan perdamaian dunia di tengah konflik yang terus berkecamuk di sejumlah negara.
Konferensi yang dihadiri sejumlah tokoh agama di dunia itu juga menjadi tonggak penting dalam menyuarakan dan penguatan peran PBB dalam menciptakan perdamaian abadi di seluruh dunia.
Para tokoh yang hadir diharapkan dapat menjadi jembatan dalam membangun dialog tentang moderasi, toleransi, kesetaraan, dan keamanan di negaranya masing-masing. Agama dihadirkan dalam upaya penyelesaian konflik.
Utusan yang hadir dalam konferensi itu bukan hanya tokoh biasa, melainkan mereka yang juga sama-sama memiliki pengaruh terhadap otoritas negaranya. Para tokoh agama didorong untuk turut memberi sumbangsih pemikiran agar konflik yang mengatasnamakan identitas, agama, politik, hingga ras, bisa diredam dan secara perlahan menghilang.
Selain itu, hasil dari konferensi tersebut akan menjadi bekal untuk perhelatan yang lebih besar pada tahun 2024, yakni Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika dan Amerika Latin.
Sementara di tataran lokal, Kemenag telah mengukuhkan ribuan relawan dari berbagai latar belakang. Mereka diharapkan menjadi duta yang mempromosikan dan mengimplementasikan mengenai laku hidup penuh perdamaian dan saling menghargai di masyarakat.
Lewat tingkah laku yang diperlihatkan, masyarakat juga diharapkan bisa ikut terpengaruh untuk melakukan hal yang sama, lewat pola pikir yang moderat. Dengan demikian, moderasi beragama yang terkait dengan pola pikir membutuhkan waktu yang tidak panjang. Nilai perjuangan moderasi beragama, akhirnya melampaui zaman.
Moderasi beragama bukanlah konsep yang bisa diukur dengan angka-angka statistik. Moderasi beragama terwujud dalam pola hidup dan perilaku masyarakat yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, toleransi, tenggang rasa, dan saling peduli.