KAJ Sulsel hadirkan Dewan Pers pada diskusi sengketa pers
Makassar (ANTARA) - Sejumlah organisasi Pers yang tergabung dalam Koalisi Advokasi Jurnalis (KAJ) Provinsi Sulawesi Selatan menggelar diskusi publik bertema Pemiskinan Jurnalis yang menghadirkan Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu, menyusul karya jurnalistik dua media massa berakhir di meja hijau.
"Ada 11 pasal yang penting dipatuhi wartawan, mulai pasal satu sampai sebelas pada Kode Etik Jurnalis (KEJ) dalam menghasilkan berita berkualitas. Kalau sudah dipenuhi lantas ada keberatan mesti menempuh mekanisme pers," ujar Ninik dalam diskusi tersebut dilaksanakan secara hibrid di Kafe Red Corner Makassar, Senin malam.
Ia pun menanggapi adanya gugatan perdata terkait pemberitaan dua media daring masing-masing herald.co.id dan inikata.id yang kini masih berproses di Pengadilan Negeri Kelas I Makassar oleh lima mantan staf Khusus Gubernur Sulsel dengan nilai gugatan total Rp700 miliar.
"Kalau sudah diberi hak jawab secara profesional dan telah diberikan sanksi etik atas kesalahan jurnalis penyelesaiannya adalah etik dan tidak menggunakan bentuk pemidanaan, karena itu bentuk pemiskinan, apalagi ada campur tangan kelembangaan hukum, itu tidak boleh dilakukan," ucapnya menegaskan.
Ninik menekankan hak jawab maupun hak koreksi adalah penting dalam setiap sengketa. Hal itu untuk memastikan bukan hanya Dewan Pers tapi semua pihak termasuk Aparat Penegak Hukum (APH) kepolisian, kejaksaan dan pengadilan turut bersama-sama mendorong kebebasan pers sesuai amanat UU nomor 40 tahun 1999 melalui produk pers yang profesional.
Selain itu, kasus ini sudah ditangani Dewan Pers dan semua upaya telah ditempuh pihak tergugat dan dijalankan baik permintaan maaf maupun hak jawab, tetapi tidak seharusnya diadili di pengadilan. Padahal, sejak awal Dewan Pers sudah memutuskan sengketa pers ini selesai, tetapi belakangan tetap disidangkan.
"Perlindungan Pers bukan hanya pada Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999, tapi juga ada dalam undang-undang lain yang saling berkaitan. Kami berharap gugatan perdata atas teman-teman jurnalis tidak dilanjutkan tentunya menghormati Undang-undang pers dan kasus ini tidak berulang kembali," ujarnya.
Hal senada disampaikan Wakil Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Wahyu Triyogo bahwa peran Pers adalah corong kepentingan publik. Bila sudah menjalankannya secara profesional dan patuh pada Kode Etik Jurnalis lantas ada yang mempermasalahkan maka harus dilawan.
"Kita tidak boleh takut. Dewan Pers telah memutuskan sengketa pers itu selesai dengan menggunakan mekanisme Undang-undang Pers. Jika seseorang memiliki kekuasaan mempermasalahkannya, tentu ini perjuangan. Kita memang sering diperhadapkan risiko, selama benar, haqul yakin, lawan represi yang menghambat atau merusak kemerdekaan pers," paparnya menekankan.
Sementara itu, Koordinator Komisi Keselamatan Jurnalis (KKJ) Erik Tanjung pada diskusi tersebut mengemukakan gugatan perdata bukan hal baru terjadi. Berbicara soal gugatan jurnalis ini adalah upaya pembungkaman kemerdekaan pers yang dijamin di pasal 4 Undang-undang Pers.
"Mengapa sampai digugat perdata hingga Rp 700 miliar. Ini sebagai upaya melawan hukum dan mencederai kebebasan pers. Semua orang sama dalam menyampaikan pendapat. Catatan saya, sebelum kasus ini ada kasus serupa di Makassar digugat Rp100 triliun, putusan PN Makassar menolak gugatannya, tentu ini sudah menjadi yurisprudensi," tuturnya.
Direktur LBH Pers Makassar Fajriani Langgeng yang hadir luring (fisik) pada diskusi tersebut mengungkapkan sikapnya sebagai penasihat hukum tetap mengadvokasi namun demikian kasus ini adalah presenden buruk bagi kebebasan pers dan kebebasan berekspresi termasuk upaya pelemahan jurnalis.
"Ini adalah bentuk ancaman serius bagi kemerdekaan pers. Kalau terkait keberatan dengan konferensi pers ada mekanisme hak jawab, hak koreksi yang diatur di undang-undang. Penggugat kami nilai belum siap menerima, walaupun sudah ada hak jawab diberikan. Secara psikologi, perkara ini sangat mengganggu peran pers maupun kebebasan berpendapat," tuturnya.
Sedangkan Akademisi Komunikasi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Andi Fauziah Astrid menambahkan, atas pemberitaan hasil konferensi pers kemudian digugat ke pengadilan itu adalah presenden buruk bagi kemerdekaan pers.
"Mestinya Stafsus sebagai penggugat ini menjaga citranya dengan baik bukan malah menggugat media. Selain itu, jurnalis juga dituntut profesional dengan mematuhi etika yang telah diatur, sebab sangat rentan jurnalis digugat bila tidak mengikuti rambu-rambu. Konfirmasi dan verifikasi bila ada informasi yang belum akurat," ucapnya menyarankan.
KAJ merupakan koalisi dari organisasi jurnalis yang dibentuk untuk mendampingi kasus sengketa pers seperti dari Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sulsel, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar, Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI) Sulsel dan Pewarta Foto Indonesia (PFI) Makassar serta tergabung LBH Pers Makassar sebagai lembaga advokasi hukum.
"Ada 11 pasal yang penting dipatuhi wartawan, mulai pasal satu sampai sebelas pada Kode Etik Jurnalis (KEJ) dalam menghasilkan berita berkualitas. Kalau sudah dipenuhi lantas ada keberatan mesti menempuh mekanisme pers," ujar Ninik dalam diskusi tersebut dilaksanakan secara hibrid di Kafe Red Corner Makassar, Senin malam.
Ia pun menanggapi adanya gugatan perdata terkait pemberitaan dua media daring masing-masing herald.co.id dan inikata.id yang kini masih berproses di Pengadilan Negeri Kelas I Makassar oleh lima mantan staf Khusus Gubernur Sulsel dengan nilai gugatan total Rp700 miliar.
"Kalau sudah diberi hak jawab secara profesional dan telah diberikan sanksi etik atas kesalahan jurnalis penyelesaiannya adalah etik dan tidak menggunakan bentuk pemidanaan, karena itu bentuk pemiskinan, apalagi ada campur tangan kelembangaan hukum, itu tidak boleh dilakukan," ucapnya menegaskan.
Ninik menekankan hak jawab maupun hak koreksi adalah penting dalam setiap sengketa. Hal itu untuk memastikan bukan hanya Dewan Pers tapi semua pihak termasuk Aparat Penegak Hukum (APH) kepolisian, kejaksaan dan pengadilan turut bersama-sama mendorong kebebasan pers sesuai amanat UU nomor 40 tahun 1999 melalui produk pers yang profesional.
Selain itu, kasus ini sudah ditangani Dewan Pers dan semua upaya telah ditempuh pihak tergugat dan dijalankan baik permintaan maaf maupun hak jawab, tetapi tidak seharusnya diadili di pengadilan. Padahal, sejak awal Dewan Pers sudah memutuskan sengketa pers ini selesai, tetapi belakangan tetap disidangkan.
"Perlindungan Pers bukan hanya pada Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999, tapi juga ada dalam undang-undang lain yang saling berkaitan. Kami berharap gugatan perdata atas teman-teman jurnalis tidak dilanjutkan tentunya menghormati Undang-undang pers dan kasus ini tidak berulang kembali," ujarnya.
Hal senada disampaikan Wakil Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Wahyu Triyogo bahwa peran Pers adalah corong kepentingan publik. Bila sudah menjalankannya secara profesional dan patuh pada Kode Etik Jurnalis lantas ada yang mempermasalahkan maka harus dilawan.
"Kita tidak boleh takut. Dewan Pers telah memutuskan sengketa pers itu selesai dengan menggunakan mekanisme Undang-undang Pers. Jika seseorang memiliki kekuasaan mempermasalahkannya, tentu ini perjuangan. Kita memang sering diperhadapkan risiko, selama benar, haqul yakin, lawan represi yang menghambat atau merusak kemerdekaan pers," paparnya menekankan.
Sementara itu, Koordinator Komisi Keselamatan Jurnalis (KKJ) Erik Tanjung pada diskusi tersebut mengemukakan gugatan perdata bukan hal baru terjadi. Berbicara soal gugatan jurnalis ini adalah upaya pembungkaman kemerdekaan pers yang dijamin di pasal 4 Undang-undang Pers.
"Mengapa sampai digugat perdata hingga Rp 700 miliar. Ini sebagai upaya melawan hukum dan mencederai kebebasan pers. Semua orang sama dalam menyampaikan pendapat. Catatan saya, sebelum kasus ini ada kasus serupa di Makassar digugat Rp100 triliun, putusan PN Makassar menolak gugatannya, tentu ini sudah menjadi yurisprudensi," tuturnya.
Direktur LBH Pers Makassar Fajriani Langgeng yang hadir luring (fisik) pada diskusi tersebut mengungkapkan sikapnya sebagai penasihat hukum tetap mengadvokasi namun demikian kasus ini adalah presenden buruk bagi kebebasan pers dan kebebasan berekspresi termasuk upaya pelemahan jurnalis.
"Ini adalah bentuk ancaman serius bagi kemerdekaan pers. Kalau terkait keberatan dengan konferensi pers ada mekanisme hak jawab, hak koreksi yang diatur di undang-undang. Penggugat kami nilai belum siap menerima, walaupun sudah ada hak jawab diberikan. Secara psikologi, perkara ini sangat mengganggu peran pers maupun kebebasan berpendapat," tuturnya.
Sedangkan Akademisi Komunikasi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Andi Fauziah Astrid menambahkan, atas pemberitaan hasil konferensi pers kemudian digugat ke pengadilan itu adalah presenden buruk bagi kemerdekaan pers.
"Mestinya Stafsus sebagai penggugat ini menjaga citranya dengan baik bukan malah menggugat media. Selain itu, jurnalis juga dituntut profesional dengan mematuhi etika yang telah diatur, sebab sangat rentan jurnalis digugat bila tidak mengikuti rambu-rambu. Konfirmasi dan verifikasi bila ada informasi yang belum akurat," ucapnya menyarankan.
KAJ merupakan koalisi dari organisasi jurnalis yang dibentuk untuk mendampingi kasus sengketa pers seperti dari Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sulsel, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar, Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI) Sulsel dan Pewarta Foto Indonesia (PFI) Makassar serta tergabung LBH Pers Makassar sebagai lembaga advokasi hukum.