Jakarta (ANTARA) - Kondisi deflasi yang dialami Indonesia selama lima bulan berturut-turut sejak Mei 2024 menjadi tantangan berat bagi banyak sektor usaha, terutama pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Penurunan harga barang dan jasa yang dipicu oleh menurunnya daya beli masyarakat telah membuat para pengusaha harus memutar otak agar tetap bertahan.
Dalam situasi ini, merambah usaha baru atau banting setir menjadi pertimbangan yang semakin relevan bagi keberlangsungan bisnis.
Deflasi, secara sederhana, adalah fenomena penurunan harga barang dan jasa secara berkelanjutan yang sering kali diiringi dengan penurunan daya beli masyarakat.
Di Pasar Ciracas, Jakarta Timur, misalnya, penurunan jumlah pembeli mencapai 60 persen, menandakan lesunya konsumsi masyarakat akibat berkurangnya peredaran uang. Kondisi ini menyebabkan banyak pengusaha harus mengurangi jumlah pegawai, bahkan menutup usaha.
Stagnasi usaha akibat deflasi menimbulkan ancaman serius bagi kelangsungan bisnis. Ketika harga-harga barang terus turun, konsumen cenderung menunda pembelian dengan harapan harga akan semakin murah. Hal ini menurunkan omzet dan membuat arus kas usaha menjadi sulit dikelola. Dalam situasi ini, banyak pengusaha mempertimbangkan untuk mencari peluang baru atau bahkan banting setir demi menyelamatkan bisnis.
Saat deflasi terjadi, pola belanja masyarakat juga mengalami perubahan signifikan. Pengeluaran untuk kebutuhan tersier atau yang dianggap tidak mendesak seperti barang-barang mewah atau hiburan mulai ditinggalkan. Sebaliknya, masyarakat mulai memprioritaskan pengeluaran untuk kebutuhan sekunder (penting namun tidak mendesak), dan terutama kebutuhan pokok yakni yang penting dan mendesak, seperti pangan, kesehatan, dan tempat tinggal.
Mengidentifikasi dan memanfaatkan perubahan perilaku konsumen ini menjadi kunci bagi pengusaha yang ingin bertahan atau bahkan tumbuh.
Contoh nyata terlihat saat pandemi COVID-19 melanda. Banyak pengusaha yang banting setir dari usaha konvensional mereka ke produksi masker kain atau alat pelindung diri (APD), yang permintaannya melonjak drastis di tengah krisis. Pelaku usaha konveksi yang semula memproduksi pakaian, memanfaatkan peluang ini untuk tetap bertahan dan bahkan berkembang.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat deflasi selama lima bulan berturut-turut dari Mei hingga September 2024 memperlihatkan penurunan tajam dalam daya beli masyarakat. Pada September 2024, deflasi mencapai angka 0,12 persen, yang merupakan level terdalam selama lima tahun terakhir.
Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) juga menambah beban ekonomi, dengan lebih dari 53.000 pekerja kehilangan pekerjaan hingga Oktober 2024. PHK ini memaksa banyak keluarga untuk beralih ke pengeluaran yang lebih penting dan mendesak, seperti makanan dan kesehatan, dan mengurangi belanja tersier.
Sektor-sektor tertentu akan lebih terpukul dibanding yang lain selama deflasi. Misalnya, sektor tekstil dan makanan cenderung lebih terdampak dibandingkan dengan sektor jasa digital atau produk kebutuhan pokok yang lebih stabil permintaannya.
Oleh karena itu, penting bagi pengusaha untuk melakukan analisis pasar yang cermat guna mengidentifikasi sektor-sektor yang tetap tumbuh meski di tengah kondisi ekonomi yang tidak pasti, seperti sektor kesehatan, pangan, dan teknologi.
Salah satu contoh yang bisa dijadikan gambaran adalah bagaimana beberapa pengusaha beralih dari bisnis tekstil ke bisnis makanan olahan atau sektor pertanian. Keduanya memiliki prospek yang lebih stabil karena kebutuhan dasar masyarakat akan makanan tidak berkurang, meski daya beli turun. segmen penjual makanan siap saji yang menawarkan harga terjangkau, porsi yang sesuai, dan lokasi yang mudah diakses juga bisa menjadi alternatif untuk membuka bisnis baru.
Bahkan sangat mungkin terjadi peningkatan permintaan di segmen ini, terutama dari konsumen yang lebih memilih membeli makanan daripada memasak di rumah karena pertimbangan efisiensi waktu dan biaya. Bagi pengusaha UMKM di bidang makanan, ini bisa menjadi peluang untuk menjaga stabilitas keuangan usaha dengan fokus pada produk yang harganya terjangkau namun tetap memenuhi kebutuhan nutrisi sehari-hari.
Selama masa deflasi, menjaga arus kas menjadi lebih penting dari saat sebelumnya. Selama belum ada tambahan dari sumber pendapatan baru karena masih bertahan pada bisnis saat ini, maka pendapatan yang menurun harus dikelola dengan ketat agar bisnis memiliki cukup dana untuk bertahan.
Fokuskan pengeluaran pada biaya operasional yang benar-benar esensial, dan hindari pengeluaran besar yang tidak mendesak. Pastikan persediaan di gudang dapat segera terjual dan gunakan data penjualan sebelumnya untuk menjadi rujukan penganggaran produksi. Hindari pula penjualan yang tergolong piutang. Selain itu, hindari utang berbunga tinggi karena nilai riil utang akan meningkat di saat deflasi.
Inovasi menjadi kunci bagi pengusaha dalam merespons perubahan pasar. Saat daya beli menurun, konsumen menjadi lebih selektif.
Menawarkan produk yang lebih relevan dengan kebutuhan mendasar konsumen bisa menjadi langkah strategis. Misalnya, menjual produk dalam kemasan kecil dengan harga terjangkau atau menawarkan layanan pengiriman gratis.
Inovasi seperti ini dapat meningkatkan loyalitas pelanggan sekaligus menarik pelanggan baru di tengah kompetisi yang ketat.
Di era digital ini, teknologi menjadi alat penting untuk bertahan di tengah krisis. Banyak UMKM yang beralih ke platform online untuk memperluas jangkauan pasar mereka. Penjualan melalui e-commerce memungkinkan pengusaha menjangkau lebih banyak konsumen dengan biaya yang lebih rendah. Teknologi juga memungkinkan pengusaha memanfaatkan media sosial untuk promosi dengan biaya yang lebih hemat.
Kolaborasi dengan pengusaha lain dapat menjadi cara efektif untuk menekan biaya operasional. Kerja sama dalam hal pemasaran bersama, pengiriman barang, atau berbagi lokasi usaha dapat membantu pengusaha bertahan lebih lama di tengah deflasi. Kolaborasi juga dapat membuka peluang baru yang sebelumnya tidak terpikirkan.
Selama deflasi, fokus pada produk dan layanan yang bersifat kebutuhan pokok adalah pilihan yang bijak. Konsumen tetap akan mengalokasikan anggaran untuk kebutuhan dasar seperti pangan dan kesehatan. Pengusaha yang mampu beradaptasi dengan kebutuhan dasar konsumen memiliki peluang lebih besar untuk bertahan bahkan berkembang.
Deflasi memang menjadi tantangan besar bagi pelaku usaha, terutama UMKM. Namun, dengan strategi yang tepat, seperti diversifikasi usaha, inovasi, dan pemanfaatan teknologi, pengusaha dapat bertahan dan bahkan menemukan peluang baru di tengah krisis. Boleh jadi, banting setir bukanlah tanda menyerah, melainkan langkah untuk menjemput kesuksesan di masa depan.
*) Baratadewa Sakti Perdana, Praktisi Keuangan Keluarga & Pendamping Keuangan Bisnis UMKM
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Deflasi berkepanjangan: pilih bertahan atau banting setir?