Jakarta (ANTARA) - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menggelar rapat koordinasi untuk membahas operasional BPJS Ketenagakerjaan tahun 2025.
Rapat itu melibatkan Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, Menteri Ketenagakerjaan Yassierli, Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Anggoro Eko Cahyo, Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan, serta Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Nunung Nuryartono.
“Kami dan segenap jajaran menggelar rapat koordinasi membahas operasional BPJS Ketenagakerjaan untuk tahun depan,” kata Sri Mulyani dalam akun Instagram resmi @smindrawati, dikutip di Jakarta, Kamis.
Dia melanjutkan, BPJS Ketenagakerjaan merupakan aspek penting dalam perlindungan sosial dan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang inklusif.
Hal itu sesuai dengan Astacita yang telah dicanangkan Presiden Prabowo Subianto, yang salah satunya terkait dengan memeratakan ekonomi serta memberantas kemiskinan.
“Oleh karena itu, kami mendukung optimalisasi operasional BPJS Ketenagakerjaan dalam mendukung aspek kepesertaan, meningkatkan pelayanan, memajukan aspek inovasi dan teknologi, serta memastikan bahwa Dana Jaminan Sosial dikelola dengan prinsip kehati-hatian untuk sebesar-besarnya dikembalikan kepada peserta,” ujar dia.
Dalam kesempatan terpisah, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) menekankan perlunya perhatian khusus terkait skema program BPJS Ketenagakerjaan menghadapi potensi penambahan pekerja bukan penerima upah atau pekerja informal dalam susunan kepesertaan di masa depan.
"Kepesertaan yang akan bersumber dari peserta bukan penerima upah itu proporsinya akan semakin meningkat, sekitar 60 persen lebih daripada peserta penerima upah," ujar Anggota DJSN Paulus Agung Pambudhi dalam diskusi Social Security Summit 2024 yang diadakan BPJS Ketenagakerjaan di Jakarta, Selasa (26/11).
Dia mengidentifikasi sejumlah hambatan dan tantangan dalam pelaksanaan jaminan sosial ketenagakerjaan saat ini, termasuk belum optimalnya kepesertaan aktif pekerja penerima upah dan masih rendahnya cakupan pekerja bukan penerima upah.
Untuk itu, kata dia, diperlukan intervensi kebijakan, termasuk peningkatan literasi jaminan sosial bagi pekerja informal, meningkatkan akses mereka dalam program pensiun dan penyediaan skema jaminan sosial ketenagakerjaan bagi pekerja miskin dan tidak mampu.