Makassar (ANTARA) - Eksekusi lahan sengketa seluas 12.932 meter persegi yang di atasnya berdiri gedung eks sekolah Yayasan Hamrawati dan sembilan rumah toko (ruko) masih menyisakan kontroversi atas kepemilikan lahan dengan saling klaim memiliki atas hak di Jalan Andi Pangeran Pettarani, Kecamatan Panakukang, Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis.
Eksekusi bangunan tersebut sempat mendapat perlawanan dari pihak tergugat. Aparat kepolisian yang mengawal eksekusi pembongkaran bangunan tersebut mengamankan tiga orang setelah terjadi kericuhan. Lokasi eksekusi berada di jalan protokol juga mengalami kemacetan.
Pelaksanaan eksekusi terhadap objek tanah dan bangunan berdasarkan penetapan eksekusi Pengadilan Negeri Makassar nomor 05 EKS/2021 PN Mks jo nomor 49/Pdt.G/2018/PN.Mks yang dibacakan pihak pengadilan setempat damping aparat kepolisian.
"Sengketa lahan sudah bergulir sejak tahun 2018. Jadi, klien kami Andi Baso Matutu dinyatakan menang di pengadilan dari putusan tahun 20218 sampai 2020 dinyatakan sebagai pemilik lahan sah atas tanah itu," ujar Penasehat Hukum penggugat Hendra Karianga.
Ia menyebut kliennya memenangkan gugatan berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Makassar No.49/Pdt/2018/PN.Mks jo Pengadilan Tinggi Makassar nomor 133/PDT/2019/PT MKS jo Putusan Mahkamah Agung dalam pemeriksaan Kasasi No. 2106 K/Pdt/2020 jo Putusan Peninjauan Kembali (PK) ke-1 No.826 PK/Pdt/2021 jo Putusan Peninjauan Kembali ke-2 No. 1133/PK/Pdt/2023.
Saat ditanyakan seluruh bangunan tersebut diklaim oleh ahli waris memiliki sertifikat hak milik (SHM) oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), pihaknya berdalih dari versinya bahwa SHM itu diduga palsu atas putusan pidana dan sudah dibatalkan setelah ajukan gugatan perdata.
"SHM itu di atas alas hak rincik dan sudah dibatalkan. Dasar putusan pidana itu kami gunakan untuk mengajukan gugatan di pengadilan agar membatalkan dan menyatakan tidak sah secara hukum," katanya disela eksekusi.

Ahli waris keberatan ajukan perlawanan hukum
Salah seorang ahli waris pemilik lahan Muh Jurdi bin Tjollen Daeng Marala selaku tergugat II menyebutkan, pengugat Andi Baso Matutu tidak memiliki dokumen asli dan semua diajukan ke pengadilan adalah palsu termasuk lokasi yang ditunjuk bukan miliknya, tapi milik Salahuddin Hamat Yusuf, ironisnya malah dimenangkan pengadilan.
"Bersangkutan telah memalsukan dokumen surat keterangan dari kecamatan terkait klaim lokasi yang dijadikan dasar gugatan. Tetapi akhirnya dipenjara setelah kami laporkan. Dasarnya surat keterangan pembatalan nomor 220/KSJ/IV/04 perihal persil (lokasi) ditanda tangani Camat Panakukang Muchtar Kasim pada 12 April 2004," ungkapnya.
Selain itu, pihaknya menyesalkan putusan pengadilan tingkat lanjut mengabaikan surat dari Komisi Yudisial nomor 2030/PIM/LM.05/10/2021 perihal pemberitahuan terkait pelanggaran etik hakim yang memutus perkara No.49/Pdt/2018/PN.Mks setelah dilaporkan kuasa hukum Muh Alif bin Salahuddin Hamat Yusuf.
Begitupula dokumen pembelian lahan oleh kakeknya H Tjolleng Daeng Marala dibeli seharga Rp750 rupiah berdasarkan surat lelang lahan di kampung Sinrijiala, Karawisi oleh pemerintahan Belanda kala itu di tahun 1938.
Kemudian dokumen penyerta surat jual beli Sankaku Parogel nomor 27/II Lansnjno, 81 seharga Rp10.000 dikeluarkan resmi Kepala Distrik Karawisi Kabupaten Gowa (saat belum jadi Kota Makassar) H Andi Mappalawang disaksikan Kepala Kampung Karawisi Kabupaten Gowa A Djalanti Krg Jombo dan Sitti Fadariah sebagai saksi pada 15 November 1957.
Dua dokumen penting ini dan surat dari Komisi Yudisial, ungkap dia, diduga sengaja tidak dimunculkan saat sidang PK 1 dan PK 2. Belakangan surat palsu dari Kecamatan Panakukang diduga palsu nomor: 693/016/KP/1/2023 berubah menyebutkan lahan di lokasi itu milik Tjintjing KR Lengkese diteken Camat Panakukang Sri Sulsilawati.
Sebagai tergugat II dari lima tergugat yang di gugat Andi Baso Matutu, dokumen yang diajukan ke pengadilan lanjutan adalah palsu, bahkan mereka memalsukan Rincik. Padahal, lahan itu telah memiliki sertifikat induk nomor 629 dan dipecah empat SHM resmi dikeluarkan BPN.
"Kami yang digugat segera melakukan perlawanan hukum, dan tidak terima atas eksekusi ini dan dinilai cacat hukum. Sangat jelas ada mafia peradilan dalam kasus ini bermain, bisa-bisanya dokumen fotocopi dimenangkan, sementara kami memiliki dokumen asli dan sudah terverifikasi keabsahannya," katanya.