Makassar (ANTARA) - Universitas Hasanuddin kembali mengukuhkan empat Guru Besar lintas Kepakaran dengan menyandang gelar profesor, salah satunya dokter spesialis mata di RS Mata JEC Orbita Makassar yakni dokter Habibah S Muhiddin di Ruang Senat, Gedung Rektorat Kampus Unhas Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa.
Pengukuhan berlangsung pada Rapat Paripurna Senat Terbuka Luar Biasa Unhas dipimpin oleh Rektor Unhas Prof Jamaluddin Jompa. Prof Habibah dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Vitreoretina, Fakultas Kedokteran Unhas Makassar, bersama tiga guru besar lainnya yakni Prof Tasrifin Tahara, Prof Muhammad Iqbal Djawad, dan Prof Muhammad Akbar.
Dalam orasi ilmiahnya bertajuk 'Upaya Pencegahan Kebutaan Akibat Diabetik Retinopati dalam Menghadapi Bonus Demografi' ia menekankan pentingnya upaya preventif dan kolaborasi lintas sektor untuk mencegah kebutaan, khususnya pada generasi usia produktif yang menjadi penentu masa depan bangsa.
"Bonus demografi diprediksi terjadi di Indonesia pada periode 2020–2030 merupakan peluang besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui produktivitas tenaga kerja. Namun, potensi ini dapat terhambat jika kualitas kesehatan tidak terjaga," paparnya Ketua Prodi Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Unhas ini.
Prof Habibah bilang, kesehatan mata penting mengingat organ ini sangat vital untuk bekerja dan beraktivitas sehari-hari. Indra penglihatan mampu menangkap 80 persen informasi, dengan sisanya melalui indra pendengaran dan perasa.
"Salah satu ancaman utama pada kesehatan mata adalah tingginya prevalensi Retinopati Diabetik (RD) sebagai komplikasi serius Diabetes Melitus (DM) yang dapat menyebabkan kebutaan pada usia produktif," ungkap Direktur Utama PT Orbita Medika Indonesia itu menjelaskan.
Ia memaparkan, data International Diabetes Federation (IDF) 2021, sekitar 10,8 persen penduduk Indonesia mengidap diabetes melitus, dan sekitar 43,1 persen diantaranya berpotensi mengalami Retinopati Diabetik (RD) yakni komplikasi serius dapat menyebabkan kebutaan bila tidak ditangani dengan tepat.
RD merupakan penyebab kebutaan utama pada pasien berusia 20-64 tahun di seluruh dunia. WHO mencatat RD menyebabkan kebutaan pada 4,8 persen dari 39 juta penderita buta secara global, dengan prevalensi mencapai 34,6 persen.

Sementara di Indonesia, prevalensi penyakit RD mencapai 43,1 persen, termasuk 26,1 persen di dalamnya mengalami RD yang mengancam penglihatan. Di Indonesia, RD menjadi komplikasi diabetes kedua terbanyak setelah nefropati.
Selain itu, mayoritas penderita diabetes tinggal di negara berkembang dengan penghasilan rendah, termasuk di Indonesia. Penatalaksanaan diabetes dan deteksi dini RD belum sepenuhnya sesuai dengan pedoman yang ada.
Sedangkan untuk Sulsel situasi RD masih perlu menjadi sorotan. Dengan populasi penduduk sekitar 9,4 juta jiwa, prevalensi diabetes melitusnya atau DM mencapai 7,4 persen atau berkisar 695.600 penderita.
Dari Studi pendukung yang dikumpulkan Juli 2023-Juni 2024, kata dia, terdapat temuan selama periode tersebut, RS Unhas dan Klinik Utama Mata JEC Orbita @ Makassar telah menjalankan tindakan operasi vitrektomi kepada 271 pasien RD dengan 5,53 persen di antaranya berusia di bawah 30 tahun.
"Pasien saya itu 40 orang, rata-rata 30 orang itu RD dan umumnya kondisi sangat jelek. Sebenarnya hal itu tidak boleh terjadi kalau kita melakukan skrining kontrol dari awal.
"Makanya, kita berupaya melakukan skrining serta pelatihan dokter dan perawat kerja sama dengan dokter penyakit dalam dan anak, karena DM juga ada pada anak. Upayanya sama-sama deteksi dini, kan hanya sekali setahun. Medical cek up juga penting sekali dilakukan, ketika DM langsung kontrol," tuturnya kepada wartawan usai dikukuhkan.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Unhas kukuhkan Habibah dokter mata JEC Orbita jadi profesor