Makassar (ANTARA) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Selatan mencatat telah menerima laporan kerusakan lingkungan dari 10 daerah lebih di provinsi tersebut selama 2025.
Jenis pelanggaran yang dilaporkan beragam, mulai dari perusakan hutan, pencemaran air, hingga aktivitas pertambangan ilegal.
"Daerah Moncongloe, Kabupaten Maros, menjadi wilayah yang paling banyak mendapat pengaduan," ujar Direktur Walhi Sulsel Muhammad Al Amin di Makassar, Jumat.
Muhammad Al Amin kembali menjelaskan bahwa laporan tersebut datang secara bertahap dari berbagai daerah, tidak sekaligus. Seperti baru-baru ini ada laporan dari Bulukumba mengenai kegiatan tambang yang merusak lingkungan.
"Pada 2023, kami juga menerima pengaduan dari Galesong, Takalar terkait pertambangan tanah uruk. Namun, yang paling banyak laporan datang dari Maros, khususnya Kecamatan Moncongloe,” ujarnya.
Amin menjelaskan kerusakan lingkungan di provinsi ini telah menyebar luas dan berdampak pada semua lapisan masyarakat.
Daerah yang sebelumnya tidak pernah terdampak bencana, kini mulai mengalami kerusakan. Maka dampak itu menunjukkan harus ada keterlibatan semua pihak agar lingkungan tetap lestari.
Seperti sebelumnya yang dilakukan sejumlah organisasi masyarakat sipil di Sulawesi Selatan yang menghadirkan Posko Aduan Aktivitas Ilegal Lingkungan sebagai bagian dari upaya kolektif mengatasi kerusakan lingkungan yang kian meluas.
Pembentukan posko bertujuan menyediakan ruang partisipasi publik dalam melaporkan berbagai aktivitas ilegal yang berdampak pada lingkungan, seperti pertambangan tanpa izin, pencemaran, dan alih fungsi lahan.
Langkah ini juga memperkuat strategi advokasi dan pengawasan berbasis masyarakat terhadap pelanggaran lingkungan hidup di Sulawesi Selatan.
Posko akan didirikan di wilayah-wilayah dengan intensitas tinggi aktivitas ilegal, seperti Luwu Timur dan Pinrang, serta Kabupaten Maros yang turut menjadi perhatian karena kondisi lingkungannya. Pada musim hujan, wilayah ini kerap dilanda banjir, sementara saat musim kemarau, kekeringan yang terjadi berlangsung cukup parah.
Selain itu, aktivitas kendaraan berat di kawasan tambak dan lahan pertanian juga kerap menghambat kegiatan warga. Beberapa daerah lain di Sulawesi Selatan yang sering mengalami aktivitas ilegal juga menjadi lokasi pendirian posko aduan tersebut.
Kolaborasi ini melibatkan sejumlah lembaga, antara lain Walhi Sulsel, LPA Maros, PBHI Sulsel, Lapar Sulsel, dan Yayasan Pendidikan Lingkungan.
Mereka menekankan pentingnya mekanisme pelaporan yang aman dan didukung secara hukum, mengacu pada Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, yang menjamin perlindungan bagi warga yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
LPA Maros menyoroti bahwa pelibatan masyarakat menjadi kunci dalam pengawasan lingkungan, terutama di wilayah-wilayah yang selama ini minim saluran aduan.
"Masyarakat bingung mau melapor kemana karena mungkin dia merasa pendidikannya tidak terlalu pantas untuk ke kantor polisi, pemerintahan atau sebagainya,” ungkap Muhammad Asri perwakilan LPA Maros.
Selain itu, posko juga menyediakan bantuan hukum melalui pengacara lingkungan yang dapat mewakili warga dalam menyampaikan aduan ke lembaga berwenang.
Melalui pembentukan posko ini, koalisi organisasi lingkungan berharap pengawasan terhadap kerusakan alam dapat diperkuat secara partisipatif, sekaligus mendorong penegakan hukum yang lebih tegas terhadap pelaku kejahatan lingkungan di Sulawesi Selatan.

Walhi Sulsel terima laporan kerusakan lingkungan dari 10 daerah

Direktur Walhi Sulsel Muhammad Al Amin pada peluncuran posko aduan Aktivitas Ilegal Lingkungan oleh sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat di Sulsel. ANTARA/Sity A
