Makassar (ANTARA) - Direktur Eksekutif Yayasan Swadaya Mitra Bangsa (YASMIB) Sulawesi Risniaty Pengurusan mengatakan bahwa pihaknya bersama unsur penthahelix terus mendorong kebijakan terkait iklim yang berkeadilan gender.
"Perubahan iklim yang ramai diperbincangkan baik terkait penyebab maupun dampaknya, itu bukan sekadar isu lingkungan melainkan juga erat kaitannya dengan keadilan gender," kata Rosniaty di Makassar, Selasa.
Dia mengatakan, perempuan khususnya yang berada di wilayah pesisir kepulauan dan perdesaan adalah bagian dari kelompok rentan terhadap dampak krisis iklim.
Sebagai gambaran, lanjut dia, peran tradisional perempuan sebagai pengelola air, pangan, dan energi rumah tangga yang tentu saja merasakan dampaknya langsung ketika terjadi perubahan iklim yang mempengaruhi ketiga sumber daya tersebut.
Menurut dia, pada saat musim kemarau panjang dan juga banjir termasuk terjadi kenaikan permukaan air laut, perempuan harus lebih keras bekerja dan mengambil risiko lebih besar untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Pada musim kemarau panjang perempuan pesisir dan perdesaan akan berjalan jauh untuk mencari air memenuhi kebutuhan keluarganya. Kondisi itu dapat mempengaruhi kesehatannya, karena beban kerjanya bertambah dan waktu istirahatnya pun menjadi berkurang.
Sementara kerentanan di lapangan semakin diperparah karena perempuan kurang dilibatkan dalam pengambilan keputusan terkait mitigasi dan adaptasi iklim di tingkat desa maupun kebijakan.
Mencermati kondisi tersebut, Rosmiaty mengatakan, lembaganya fokus pada pemberdayaan perempuan memandang kebijakan penanganan iklim perlu dilihat dari sudut pandang keadilan gender.
Solusi adaptasi tidak akan efektif tanpa mengakui peran ganda dan tantangan spesifik yang dihadapi perempuan. Bahkan, perempuan adalah penjaga pengetahuan turun-temurun tentang cuaca, benih dan pengelolaan hasil alam yang resisten terhadap perubahan.
Oleh karena itu, perempuan harus didorong tidak hanya dipandang sebagai korban tetapi juga sebagai agen perubahan yang kuat di lapangan. Pelibatan perempuan dalam pengambilan kebijakan terkait dengan perubahan iklim misalnya dengan pengelolaan sumber daya air berbasis komunitas atau pertanian lestari.
"Sudah banyak keberhasilan program di lapangan karena peran perempuan. Oleh karena itu, pemerintah daerah harus menyiapkan ruang untuk mendorong peran perempuan dan meningkatkan kapasitasnya," katanya.
Dia juga berharap para pemangku kepentingan di Sulawesi dapat mengintegrasikan perspektif gender secara menyeluruh dalam aksi iklim ataupun melakukan resiliensi terhadap perubahan iklim.
"Hal itu dapat dimulai dari perencanaan hingga penganggaran dalam hal ini melibatkan perempuan untuk pengaruh gender sebagai prasyarat untuk adaptasi perubahan iklim yang adil dan efektif," ujarnya.

