Makassar (ANTARA) - Kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak korban terus terjadi, bahkan trennya menunjukkan peningkatan yang signifikan setiap tahunnya di sejumlah daerah, termasuk di Provinsi Sulawesi Selatan.

Melihat kondisi dan tekanan dari berbagai pihak, DPR RI akhirnya mengajukan inisiatif produk hukum melalui RUU tentang Kekerasan Seksual atau yang dikenal dengan RUU TPKS. Namun, butuh waktu lama hingga RUU tersebut disahkan untuk dibahas lebih lanjut di parlemen, dengan harapan segera disahkan menjadi undang-undang.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum Persatuan Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH Apik) Sulawesi Selatan Rosmiati Sain pun menanggapi upaya tersebut. Menurut dia, penantian panjang masyarakat terhadap hadirnya payung hukum saksi yang tegas atas tindakan dan perilaku kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, akan segera terwujud.

“Saat ini RUU TPKS sudah menjadi RUU inisiatif DPR dan menjadi kabar gembira bagi kita semua, terutama yang aktif mengadvokasi RUU TPKS ini,” kata Rosmiati saat dikonfirmasi ANTARA.

Salah satu jenis kekerasan seksual yang diakomodasi dalam RUU TPKS, kata dia, adalah kekerasan seksual berbasis jaringan ( online ).

“Selain penanganan dan pemulihan, upaya pencegahan juga akan dimaksimalkan dengan melibatkan peran serta masyarakat dan berbagai literasi, bahan bacaan untuk masyarakat,” ujarnya.

Secara terpisah, Direktur LBH Makassar Muhammad Haedir mengungkapkan, kekerasan, pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak seperti fenomena gunung es. Penanganan kasus yang jarang ditindaklanjuti ke tingkat pengadilan oleh aparat penegak hukum (APH), membuat publik mempertanyakan haknya atas keadilan.

Haedir juga menyinggung, meski sudah banyak regulasi tentang perlindungan perempuan dan anak, namun dinilai belum cukup menyelamatkan para korban. Di satu sisi korban terus berjatuhan, namun di sisi lain negara belum memberikan jaminan hukum, sehingga perlu langkah cepat untuk menerapkan aturan baru seperti RUU TPKS, tentunya berdasarkan masukan dari berbagai pihak. Para Pihak.

Koordinator Divisi Hak Perempuan, Anak, dan Disabilitas LBH Makassar Resky Pratiwi menambahkan, seiring meningkatnya kesadaran masyarakat akan pengaduan kekerasan terhadap kelompok rentan, terjadi peningkatan pelaporan. Tercatat, 250 pengaduan dengan 90 laporan kasus kekerasan yang dialami perempuan, anak, hingga penyandang disabilitas pada 2021.

Resky mengatakan 65 persen pengaduan diterima dari korban kekerasan seksual, disusul kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) 29 persen dan kekerasan fisik terhadap anak 6 persen.

“Aduan yang kami terima, korban mengalami kekerasan lebih dari satu kali. Baik itu istri, mantan istri, anak, hingga PRT dan masih banyak kasus yang tidak diproses karena bukti, cacat prosedur dan kendala lain dari APH, " katanya. .

Data kekerasan

Data yang dilansir dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Symphony PPA), Kemenpppa.go.id, tercatat Februari 2022, dilaporkan 3.690 kasus, 3.424 kasus dialami perempuan, selebihnya laki-laki .

Secara nasional sepanjang 2019-2021, kasus tersebut terus meningkat. Tahun 2019 sebanyak 11.057 kasus, tahun 2020 sebanyak 11.278 kasus dan tahun 2021 meningkat menjadi 14.517 kasus.

Data Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Sulawesi Selatan, jumlah kasus pada 2019 sebanyak 1.964 kasus, dan pada 2020 meningkat menjadi 1.996 kasus.

Kepala UPT (PPA) Sulsel Meisy Papayungan mengungkapkan, sejak Januari-Februari 2022, tercatat 40 kasus KDRT dan ditangani DPPA Sulsel.

"Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak terjadi begitu saja karena masalah ekonomi. Orang kaya dan berpendidikan pun bisa melakukan kekerasan terhadap anggota keluarganya," kata Meysie.

Sementara itu, data Unit Pelaksana Teknis Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kota Makassar sepanjang tahun 2021 telah menerima laporan sebanyak 1.551 kasus. Sebanyak 774 atau 49 persen kasus kekerasan termasuk pelecehan seksual terhadap anak korban.

“Kami berharap penegak hukum memberikan hukuman yang berat seperti kebiri kimia kepada pelakunya, agar tidak mengulangi perbuatannya. Tujuannya untuk memberikan efek jera bagi mereka yang mengidap penyakit menular seksual,” ujar Kepala UPTD PPA Makassar Achi Soleman

. lanjut Achi, sebanyak 380 kasus, disusul kasus KDRT 184 kasus, anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) sebanyak 98 kasus,
anak korban narkotika dan zat adiktif lainnya (narkoba) 22 kasus, anak tunagrahita (RN) 76 kasus, anak situasi darurat 15 kasus dan penyandang disabilitas dua kasus.

Harapan kepastian hukum 

Salah satu korban KDRT, berinisial M yang melaporkan suaminya berinisial FH (28) terkait kasus kekerasan yang dialaminya sejak Januari 2022, belum mendapat angin segar dari penanganan kasusnya yang kini ditangani oleh PPA Polrestabes Makassar.

Bahkan saat berada di Rumah Aman milik DPPPA Sulsel, korban sempat tertekan karena diintimidasi lagi oleh suaminya yang seorang dosen di salah satu perguruan tinggi swasta di Makassar, dengan membuat keributan di Rumah Aman. Ia kemudian berharap segera mendapatkan keadilan dan perlindungan hukum.

Demikian pula ibu korban kekerasan seksual lainnya berinisial W yang melaporkan kasus sodomi terhadap anaknya pada 28 Januari 2022 dilakukan oleh pelaku berinisial MR (45) dengan modus iming-iming uang Rp10- Rp15 ribu kepada korban untuk kuota main game online .

Sejauh ini belum mendapat titik terang penanganan kasus anaknya. Pelaku masih bebas berkeliaran meski masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) karena gagal memanggil polisi. Ia juga berharap polisi segera menangkap pelaku dan mendapatkan kepastian hukum.

Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polrestabes Makassar Inspektur Satu Muhammad Rivai mengatakan, pihaknya masih menangani sejumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Meski sejauh ini kasus tersebut masih dalam proses penyidikan.

“Semua kasus yang dilaporkan akan kami tindak lanjuti, karena tentunya ada proses, pemeriksaan saksi, pengumpulan barang bukti, judul kasus hingga penetapan tersangka hingga diserahkan ke pengadilan,” ujarnya. 

Pewarta : M Darwin Fatir
Editor : Redaktur Makassar
Copyright © ANTARA 2024