Makassar (ANTARA) - Dewan Pers menyatakan proses sidang perdata terhadap enam media di Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), "cacat" formil serta menyalahi prosedur karena mengesampingkan regulasi organik, yakni Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.

Hal itu disampaikan Dr Ninik Rahayu selaku Ketua Komisi Peneliti, Pendataan dan Ratifikasi Dewan Pers ketika menjadi narasumber dalam Diskusi Publik "Gugatan Enam Media di Makassar".  

Diskusi Publik ini diselenggarakan oleh Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) yang disiarkan langsung di chanel YouTube Amnesty Internasional Indonesia, Rabu (22/6/2022).

Komite Keselamatan Jurnalis atau KKJ beranggotakan sepuluh lembaga, terdiri dari organisasi pers, asosiasi pers dan organisasi masyarakat sipil, yaitu Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Amnesty International Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), serta Federasi Serikat Pekerja Media Indonesia (FSPMI).

Diskusi Publik hari ini selain dihadiri Dr Ninik Rahayau juga diikuti kuasa hukum media tergugat dari Tim Hukum Koalisi Kebebasan Pers Sulsel Dr Muhammad Al Jebra Al Iksan Rauf SH MH, LBH Pers/Komite Keselamatan Jurnalis Mustafa Layong dan Karina Maharani dari Amnesty Internasional Indonesia selaku moderator.

Ninik menilai kasus gugatan enam media di Makassar bukan bagian dari kompetensi pengadilan, meski ada pasal dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman yang diartikan bahwa pengadilan tak boleh menolak gugatan.

"Kadang-kadang saya juga bertanya, gimana sih? Kalau memang perkara itu bukan kompetensinya (hakim) yah sudahlah. Memang tidak boleh menolak perkara, tapi kalau tahu itu sengketa pers yah janganlah (disidangkan)," kata Ninik.

Ninik mengaku pihaknya telah menyimpulkan sejumlah persoalan dalam gugatan enam media setelah mendengar langsung keterangan dari pihak perwakilan media tergugat dalam audiens di Gedung Dewan Pers, beberapa waktu lalu.

"Tidak tepat pengadilan mengadili sengketa pers. Bagaimana pun penyelesaian pengaduan masyarakat terkait kasus pemberitaan pers itu harusnya dilakukan di Dewan Pers, sesuai dengan Pasal 15 ayat (2) UU Pers," tegasnya.

Ninik juga menyoal aspek formil, dimana tidak ada putusan sela setelah sidang eksepsi yang disampaikan pihak tergugat di PN Makassar. Ninik menilai bahwa telah terjadi kekeliruan pelaksanaan hukum acara perdata dalam proses sidang tersebut.

"Saya sempat menanyakan ke para penasehat hukum dan kawan-kawan yang hadir ternyata (putusan sela) tidak ada. Info yang saya dapat sela nanti diputus di belakang, itu yang saya juga heran. Padahal atas putusan sela inilah para tergugat berkepentingan bahwa kalau ini bukan kewenangan pengadilan harusnya pengadilan berani memutuskan untuk tidak menerima gugatan itu dan menyarankan prosedurnya melalui UU Pers," ucapnya.

Atas dasar itu, pihaknya beranggapan proses persidangan enam media di Makassar "cacat" formil karena adanya kekeliruan dalam proses persidangan enam media di Makassar. 

Selain itu, aspek material atau tuduhan melawan hukum yang dialamatkan ke enam media, kata Ninik, juga belum dapat dibuktikan. Padahal yang dipersoalkan penggugat terkait status dirinya sebagai Raja.

Menurut Ninik, ketiadaan self contined regulation atau satu aturan yang menghendaki adanya mekanisme tertentu harus ditempuh sebelum ke proses hukum dalam UU Pers. Hal ini, kata Ninik, juga membuat insan Pers di Indonesia berisiko diperkarakan langsung melalui jalur hukum.

"Ini menjadi celah dan pandangan ini banyak digunakan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab karena memang perlunya ada mekanisme khusus. Ini juga menjadi catatan kami dan ke depan di periode ini harus kita pikirkan," sambungnya.

Lebih jauh Ninik menjelaskan bahwa perusahaan pers punya mekanisme pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan melalui Dewan Pers. 

Bahwa jika muncul ketidaksepahaman dengan berita yang dimuat media pers, maka masyarakat dapat menggunakan hak jawab dan dalam undang-undang, perusahaan pers wajib memuat hak jawab tersebut.

"Mestinya hak jawab dan koreksi digunakan betul-betul, nyatanya penggugat belum menggunakan atau tidak pernah meminta itu," tegas Ninik.

Ia juga menjelaskan bahwa dalam pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran (P3SPS) di butir 2a tentang pedoman pemberitaan media siber pada prinsipnya berita memerlukan verifikasi untuk memenuhi perimbangan berita. Namun, kata Ninik, dapat dikecualikan sepanjang berkaitan dengan kepentingan umum atau bersifat mendesak. 

Kemudian sumber pertama dalam berita tersebut jelas disebutkan identitasnya, kredibel dan kompeten, termasuk subjek berita yang tidak diketahui keberadaannya dan atau tidak dapat diwawancarai.

"Jadi bisa dikecualikan, tetap boleh disiarkan walaupun tidak ada verifikasi karena untuk kepentingan publik dan sifatnya mendesak," tegas Ninik.

Adapun dalam kasus ini, Dewan Pers akan menugaskan Ahli untuk menyampaikan keterangan dalam proses persidangan nanti, termasuk akan membentuk tim khusus untuk pendampingan perkara gugatan enam media di Makassar.

Sementara itu, LBH Pers/Komite Keselamatan Jurnalis melalui Mustafa Layong menyimpulkan hal yang sama, yakni penyelesaian sengketa berita harusnya melalui jalur pengaduan ke Dewa Pers yang menjadi lembaga pengawas dan penegakan kode etik.

"Dalam hal ini penggugat harusnya menjalankan dulu mekanisme pengaduan seusai yang diatur dalam UU Pers, seperti hak jawab dan koreksi, tidak kemudian melakukan gugatan lima tahun setelah berita itu dimuat oleh media," kata Mustafa.

LBH Pers juga menilai tak ada indikasi melawan hukum dalam berita yang dimuat enam media di Makassar, karena mengandung kepentingan publik. Selain itu, gugatan perdata enam media tidak sesuai dengan kompetensi absolut pengadilan.

LBH Pers juga telah mengirimkan Amicus curiae (sahabat peradilan) untuk memberikan masukan dan tanggapan terkait kasus yang dialamatkan ke enam media di Makasar. 

"Pada intinya kami menganggap gugatan penggugat prematur karena belum melalui mekanisme UU Pers. Kami juga beranggapan bahwa kasus ini bukan kompetensi absolut pengadilan," ujar Mustafa.

Sebagai informasi, Kasus gugatan bernilai Rp100 triliun terhadap media di Makassar, berawal saat Pembela Kesatuan Tanah Air Indonesia Bersatu (PEKAT) menggelar konferensi pers di Hotel Grand Celino Makassar pada 18 Maret 2016. 

Konferensi pers tersebut menghadirkan narasumber dua orang keturunan langsung dari Raja Tallo, yaitu H Andi Rauf Maro Daeng Marewa dan Hatta Hasa Karaeng Gajang. 

Setelah hampir enam tahun kemudian, Januari 2022, muncul gugatan di PN Makassar. 

Penggugat menggunakan dasar dan alasan melayangkan gugatan karena pemberitaan hasil konferensi pers yang menyebut M. Akbar Amir bukan keturunan Raja Tallo.

Pihak penggugat langsung melakukan gugatan perdata di PN Makassar tanpa menempuh mekanisme sengketa pers sebagaimana diatur UU Pers No 40/99.  

Kasus ini pun sudah memasuki persidangan dan sementara berlangsung, sejak Februari 2022. 

Adapun enam media yang masuk dalam gugatannya di PN Makassar, yakni Antara News, Terkini News, Celebes News, Makassar Today dan Kabar Makassar dan RRI.

Pewarta : Darwin Fatir
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2025