Yang bau yang berguna mendukung energi hijau
Makassar (ANTARA) - Berkunjung ke salah satu sudut "Butta Salewangang" Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, rumpun bambu akan menyambut di mulut Desa Mattoanging, Kecamatan Bantimurung, setelah seseorang menelusuri jalan aspal.
Tak berbeda jauh dengan desa atau dusun lainnya, keramahan warga pun terlihat jelas ketika masuk ke wilayah perkampungan yang sebagian besar penduduknya adalah petani, sekaligus peternak sapi itu.
Di sepanjang jalan setapak dan sebagian lagi sudah dibeton. Ketika menelusuri lebih ke dalam dusun itu, tampak beberapa ekor sapi berseliweran merumput ataupun bersantai di bawah rumpun bambu yang rindang.
Tidak jauh dari sapi-sapi itu, tampak pula kotoran sapi yang sudah mengering dan ada pula yang masih basah. Pemandangan lain akan berbeda ketika tiba di rumah salah seorang warga Dusun Mattoangin, Basir Daeng Rewa.
Baik di halaman rumah maupun di depan jalan setapak yang menjadi pembatas petakan-petakan sawah depan rumah panggung itu, tak ada seekor sapi yang lalu-lalang.
"Sapi-sapi milik kami, dikandangkan di samping rumah agar memudahkan menampung kotorannya," kata lelaki lulusan SMA Nasional Maros ini.
Awalnya hanya memiliki empat ekor sapi dari hasil ternak peninggalan orang tua, kemudian sapi tersebut beranak-pinak dan kini sudah lebih dari 10 ekor yang dikembangkan dengan cara dikandangkan dan diberi pakan, tanpa dibiarkan merumput sendiri.
Menurut lelaki paruh baya yang memiliki dua putra ini, kotoran sapi yang diternak awalnya hanya dimanfaatkan sebagai pupuk kandang atau kompos.
Namun setelah petugas dari Dinas Pertanian Kabupaten Maros mengunjungi lokasinya dan memberikan penyuluhan tentang pemanfaatan limbah kotoran sapi untuk menjadi energi biogas, Basirpun tertarik mencobanya.
Dengan memanfaatkan sisa lahan, kandang ternak sapinya pun dibangun semi permanen, termasuk membangun bak penampungan kotoran sapi dan sistem pengolahan sederhana untuk memproduksi energi biogas.
Berkat kegigihan dan kesungguhan Basir untuk mengelola kotoran sapinya itu, akhirnya berhasil memproduksi energi biogas yang kemudian dimanfaatkan sebagai sumber energi untuk menghidupkan kompor gas dua "tungku".
Api yang dihasilkan kompor dari energi biogas ini berwarna biru, sehingga panci-panci bebas dari kerak hitam seperti jika memasak dengan kayu bakar.
Basir pun mengakui tidak perlu mengeluarkan anggaran dapur untuk membeli gas elpiji dalam 10 tahun terakhir, setelah memanfaatkan kotoran sapinya.
Hasil dari usahanya itu tidak terlepas dari peran kedua anak lelakinya yang di sela-sela sekolahnya rela berpanas-panas mencari rumput untuk pakan ternak sapi mereka.
Kini, kedua anaknya dapat bersekolah dari hasil pertanian dan ternak yang dikelola bersama ayahnya. Putra sulung Basir saat ini duduk di bangku akhir Universitas Muslim Maros (UMMA) dan putra bungsunya di bangku akhir salah satu SMK di kabupaten itu.
Mencermati hal tersebut, Basir adalah salah satu dari sekian banyak petani sekaligus peternak yang tersebar di 24 kabupaten/kota di Sulsel yang sudah dapat menggunakan energi alternatif yang ramah lingkungan.
Sementara tuntutan untuk menggunakan energi hijau yang lebih ramah lingkungan, sudah menjadi kesepakatan internasional untuk mendukung penurunan gas emisi (net zero emissions/ NZE) atau netralitas karbon.
Pemerintah Indonesia sendiri telah menargetkan nol emisi karbon itu pada 2060, yang tentu saja membutuhkan dukungan pihak swasta dan masyarakat.
Potensi biogas
Potensi energi biogas merupakan salah satu bagian dari berbagai jenis energi baru terbarukan (EBT) di Sulsel yang tergolong besar, setelah potensi sumber daya angin dan air. Potensi itu mulai dikembangkan di Sulsel pada awal 2000.
Hanya saja, perkembangannya di lapangan masih terbilang lamban, hingga akhirnya masuk bantuan dan kerja sama dari Organisasi Pembangunan Belanda (HIVOS) dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bappenas dan pemerintah daerah setempat pada 2013.
Sejak itu, pemanfaatan kotoran sapi untuk sumber energi biogas mulai digencarkan hingga ke pelosok desa.
Walhasil, pengembangan biogas sejak 2013 hingga 2020 berdasarkan data Dinas ESDM Sulsel tercatat 2.500 unit. Kemudian pengembangannya sempat mengalami stagnan pada awal pandemi COVID-19.
"Pengadaan sarana energi biogas dalam dua tahun masa pandemi sempat melambat, karena keterbatasan anggaran akibat refocusing anggaran pada masa pandemi COVID-19," kata Kepala Bidang EBT dan Kelistrikan, Dinas Energi Sumber Daya Mineral Sulsel Amrani S Suhaeb.
Kendati demikian, lanjut dia, pemerintah daerah pada Tahun 2020 masih berusaha melakukan pengembangan energi biogas, hingga ada penambahan 24 unit.
Sementara mengenai potensi energi dari biogas di Sulsel, dia mengatakan dari sekitar 2 juta populasi sapi di daerah itu, separuhnya saja dapat menghasilkan sekitar 500 ribu kubik gas per hari.
Kalkulasi sederhananya, peternak dengan dua ekor sapi yang dimiliki, apabila pengelolaan kotorannya baik, maka akan menghasilkan 0,5–2 kubik gas per hari.
Menurut Amrani, energi biogas dari limbah atau kotoran sapi merupakan salah satu dari jenis EBT yang dapat mempercepat bauran EBT, sekaligus mendorong pemulihan ekonomi nasional (PEN).
Karena itu, ia mengharapkan agar petani atau peternak yang memiliki sapi untuk memanfaatkan kotoran sapinya menjadi energi biogas. Selain dapat menutupi kebutuhan energi gas untuk memasak, juga dapat digunakan untuk penerangan, seperti di Desa Benteng Gajah, KecamatanTompo Bulu, Kabupaten Maros.
Sedikitnya ada 30 instalasi digester biogas kotoran sapi yang dibangun di desa tersebut dimanfaatkan warga setempat untuk mengganti LPG sebagai bahan bakar memasak dan penerangan.
Hal itu diakui salah seorang warga Desa Benteng Gajah Nursiah.
Ibu dari tiga anak ini mengaku dapat mengurangi pengeluaran rumah tangga setelah memanfaatkan sumber energi biogas.
Selain itu, juga mendapatkan penghasilan tambahan dari penjualan pupuk kompos dari limbah hasil pengelolaan biogas kotoran sapi.
Harga pupuk kompos yang dihasilkan itu rata-rata dijual Rp40 ribu per karung dengan berat 40 kilogram. Untuk sekali produksi pupuk kompos itu dapat menghasilkan 20-40 karung pada saat musim kemarau.
Tak heran jika selain Dinas ESDM dan instansi terkait di lapangan, terus mendorong pemanfaatan limbah kotoran sapi menjadi biogas, seperti yang dilakukan Tim Penggerak PKK dari Provinsi Sulsel maupun pemerintah daerah setempat.
Kini, kotoran sapi yang biasanya hanya memunculkan bau dan cenderung dihindari, setelah melalui proses pengolahan, menjadi sesuatu yang berguna, sekaligus berjasa untuk membantu pemerintah dalam mencapai target bauran EBT 23 persen pada 2025.
Tentu untuk mencapai hal itu, tidak semudah membalikkan telapak tangan, tetapi membutuhkan perjuangan, dukungan dan keseriusan semua pihak.
Tak berbeda jauh dengan desa atau dusun lainnya, keramahan warga pun terlihat jelas ketika masuk ke wilayah perkampungan yang sebagian besar penduduknya adalah petani, sekaligus peternak sapi itu.
Di sepanjang jalan setapak dan sebagian lagi sudah dibeton. Ketika menelusuri lebih ke dalam dusun itu, tampak beberapa ekor sapi berseliweran merumput ataupun bersantai di bawah rumpun bambu yang rindang.
Tidak jauh dari sapi-sapi itu, tampak pula kotoran sapi yang sudah mengering dan ada pula yang masih basah. Pemandangan lain akan berbeda ketika tiba di rumah salah seorang warga Dusun Mattoangin, Basir Daeng Rewa.
Baik di halaman rumah maupun di depan jalan setapak yang menjadi pembatas petakan-petakan sawah depan rumah panggung itu, tak ada seekor sapi yang lalu-lalang.
"Sapi-sapi milik kami, dikandangkan di samping rumah agar memudahkan menampung kotorannya," kata lelaki lulusan SMA Nasional Maros ini.
Awalnya hanya memiliki empat ekor sapi dari hasil ternak peninggalan orang tua, kemudian sapi tersebut beranak-pinak dan kini sudah lebih dari 10 ekor yang dikembangkan dengan cara dikandangkan dan diberi pakan, tanpa dibiarkan merumput sendiri.
Menurut lelaki paruh baya yang memiliki dua putra ini, kotoran sapi yang diternak awalnya hanya dimanfaatkan sebagai pupuk kandang atau kompos.
Namun setelah petugas dari Dinas Pertanian Kabupaten Maros mengunjungi lokasinya dan memberikan penyuluhan tentang pemanfaatan limbah kotoran sapi untuk menjadi energi biogas, Basirpun tertarik mencobanya.
Dengan memanfaatkan sisa lahan, kandang ternak sapinya pun dibangun semi permanen, termasuk membangun bak penampungan kotoran sapi dan sistem pengolahan sederhana untuk memproduksi energi biogas.
Berkat kegigihan dan kesungguhan Basir untuk mengelola kotoran sapinya itu, akhirnya berhasil memproduksi energi biogas yang kemudian dimanfaatkan sebagai sumber energi untuk menghidupkan kompor gas dua "tungku".
Api yang dihasilkan kompor dari energi biogas ini berwarna biru, sehingga panci-panci bebas dari kerak hitam seperti jika memasak dengan kayu bakar.
Basir pun mengakui tidak perlu mengeluarkan anggaran dapur untuk membeli gas elpiji dalam 10 tahun terakhir, setelah memanfaatkan kotoran sapinya.
Hasil dari usahanya itu tidak terlepas dari peran kedua anak lelakinya yang di sela-sela sekolahnya rela berpanas-panas mencari rumput untuk pakan ternak sapi mereka.
Kini, kedua anaknya dapat bersekolah dari hasil pertanian dan ternak yang dikelola bersama ayahnya. Putra sulung Basir saat ini duduk di bangku akhir Universitas Muslim Maros (UMMA) dan putra bungsunya di bangku akhir salah satu SMK di kabupaten itu.
Mencermati hal tersebut, Basir adalah salah satu dari sekian banyak petani sekaligus peternak yang tersebar di 24 kabupaten/kota di Sulsel yang sudah dapat menggunakan energi alternatif yang ramah lingkungan.
Sementara tuntutan untuk menggunakan energi hijau yang lebih ramah lingkungan, sudah menjadi kesepakatan internasional untuk mendukung penurunan gas emisi (net zero emissions/ NZE) atau netralitas karbon.
Pemerintah Indonesia sendiri telah menargetkan nol emisi karbon itu pada 2060, yang tentu saja membutuhkan dukungan pihak swasta dan masyarakat.
Potensi biogas
Potensi energi biogas merupakan salah satu bagian dari berbagai jenis energi baru terbarukan (EBT) di Sulsel yang tergolong besar, setelah potensi sumber daya angin dan air. Potensi itu mulai dikembangkan di Sulsel pada awal 2000.
Hanya saja, perkembangannya di lapangan masih terbilang lamban, hingga akhirnya masuk bantuan dan kerja sama dari Organisasi Pembangunan Belanda (HIVOS) dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bappenas dan pemerintah daerah setempat pada 2013.
Sejak itu, pemanfaatan kotoran sapi untuk sumber energi biogas mulai digencarkan hingga ke pelosok desa.
Walhasil, pengembangan biogas sejak 2013 hingga 2020 berdasarkan data Dinas ESDM Sulsel tercatat 2.500 unit. Kemudian pengembangannya sempat mengalami stagnan pada awal pandemi COVID-19.
"Pengadaan sarana energi biogas dalam dua tahun masa pandemi sempat melambat, karena keterbatasan anggaran akibat refocusing anggaran pada masa pandemi COVID-19," kata Kepala Bidang EBT dan Kelistrikan, Dinas Energi Sumber Daya Mineral Sulsel Amrani S Suhaeb.
Kendati demikian, lanjut dia, pemerintah daerah pada Tahun 2020 masih berusaha melakukan pengembangan energi biogas, hingga ada penambahan 24 unit.
Sementara mengenai potensi energi dari biogas di Sulsel, dia mengatakan dari sekitar 2 juta populasi sapi di daerah itu, separuhnya saja dapat menghasilkan sekitar 500 ribu kubik gas per hari.
Kalkulasi sederhananya, peternak dengan dua ekor sapi yang dimiliki, apabila pengelolaan kotorannya baik, maka akan menghasilkan 0,5–2 kubik gas per hari.
Menurut Amrani, energi biogas dari limbah atau kotoran sapi merupakan salah satu dari jenis EBT yang dapat mempercepat bauran EBT, sekaligus mendorong pemulihan ekonomi nasional (PEN).
Karena itu, ia mengharapkan agar petani atau peternak yang memiliki sapi untuk memanfaatkan kotoran sapinya menjadi energi biogas. Selain dapat menutupi kebutuhan energi gas untuk memasak, juga dapat digunakan untuk penerangan, seperti di Desa Benteng Gajah, KecamatanTompo Bulu, Kabupaten Maros.
Sedikitnya ada 30 instalasi digester biogas kotoran sapi yang dibangun di desa tersebut dimanfaatkan warga setempat untuk mengganti LPG sebagai bahan bakar memasak dan penerangan.
Hal itu diakui salah seorang warga Desa Benteng Gajah Nursiah.
Ibu dari tiga anak ini mengaku dapat mengurangi pengeluaran rumah tangga setelah memanfaatkan sumber energi biogas.
Selain itu, juga mendapatkan penghasilan tambahan dari penjualan pupuk kompos dari limbah hasil pengelolaan biogas kotoran sapi.
Harga pupuk kompos yang dihasilkan itu rata-rata dijual Rp40 ribu per karung dengan berat 40 kilogram. Untuk sekali produksi pupuk kompos itu dapat menghasilkan 20-40 karung pada saat musim kemarau.
Tak heran jika selain Dinas ESDM dan instansi terkait di lapangan, terus mendorong pemanfaatan limbah kotoran sapi menjadi biogas, seperti yang dilakukan Tim Penggerak PKK dari Provinsi Sulsel maupun pemerintah daerah setempat.
Kini, kotoran sapi yang biasanya hanya memunculkan bau dan cenderung dihindari, setelah melalui proses pengolahan, menjadi sesuatu yang berguna, sekaligus berjasa untuk membantu pemerintah dalam mencapai target bauran EBT 23 persen pada 2025.
Tentu untuk mencapai hal itu, tidak semudah membalikkan telapak tangan, tetapi membutuhkan perjuangan, dukungan dan keseriusan semua pihak.