Makassar (ANTARA News) - Direktur Lembaga Peduli Sosial Ekonomi, Budaya dan Hukum (LP-Sibuk) Djusman AR menyebut mobil toko (Moko) sebagai "mobil koddala" (jelek) karena desain dan dugaan bermasalahnya sistem penganggaran melalui APBD-P 2011.
"Di beberapa daerah seperti Solo, mengembangkan mobil Esemka yang bisa bersaing dengan mobil pasaran Eropa dan Asia. Tetapi kita di Sulsel juga tidak mau kalah, namun parahnya karena mobil yang dikembangkan itu 'mobil koddala'," ujar Djusman di Makassar, Kamis.
Ia mengatakan, mobil Moko yang dikembangkan Pemprov Sulsel jauh dari harapan masyarakat Sulsel karena rencananya mobil ini akan dikomersilkan di daerah-daerah dan diperuntukkan bagi masyarakat menengah ke bawah.
Menurutnya, sebagai pemerintah yang menjadi pelayan bagi masyarakat harusnya memberikan pelayanan yang maksimal, bukannya memberikan pelayanan yang seadanya saja.
"Sebagai pelayan, berilah kami ini pelayanan maksimal jangan hanya asal memberi saja. Ekspektasi masyarakat ini sangat besar karena Indonesia merupakan salah satu negara dengan penduduk yang terbesar yang mempunyai banyak sumber daya manusia handal," katanya.
Hanya saja, lanjut penggiat korupsi ini juga, pemerintah masih belum memberikan penghargaan kepada warganya, padahal jika sejumlah warga yang mempunyai SDM tinggi itu diberikan kesempatan pasti akan mampu membuat terobosan besar.
"Tidak usah jauh-jauh sampai ke negara-negara maju seperti Eropa dan Amerika yang sudah mengembangkan mobil terbang dan mobil yang mampu menyelam di dasar laut. Pemerintah kita di sini masih sibuk dengan mobil yang mirip bemo itu dan mobil seperti inikah yang akan dibanggakan," tanyanya.
Sebelumnya, dirinya juga meminta Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan untuk segera turun tangan menyelidiki kasus dugaan korupsi pengadaan dan perakitan mobil toko (Moko) yang dianggarkan pada APBD-Perubahan 2011 senilai Rp2,9 miliar.
"Jika kejaksaan mempunyai komitmen untuk menegakkan hukum dan memberantas praktek korupsi yang banyak terjadi di pemerintahan, seharusnya kejaksaan lebih jeli lagi," ucapnya.
Ia menyebutkan, praktek dugaan korupsi yang terjadi di Pemprov Sulsel itu terindikasi kuat terjadi karena dalam pelaksanaannya pada Tahun Anggaran (TA) 2011 menggunakan anggaran APBD-Perubahan.
Alasannya dalam proyek pengadaan yang dianggarkan pada pos APBD-Perubahan hanyalah proyek-proyek yang mempunyai skala prioritas tinggi dan menyentuh kepada masyarakat.
Selain itu, proyek yang dianggarkan di APBD-Perubahan itu juga adalah proyek yang sudah dianggarkan pada APBD, namun dalam pelaksanaannya proyek itu masih membutuhkan anggaran lebih sehingga wajar untuk dianggarkan.
Dalam aturan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 disebutkan jenis proyek yang dimasukkan dalam APBD-P hanya untuk proyek yang mendesak dan masih memungkinkan untuk diselesaikan hingga akhir tahun anggaran.
Menurut dia, sejumlah kasus yang mirip dengan kasus moko, karena alasan terdapat kesalahan administrasi sempat menghangat di media dan publik, namun kemudian kasus itu menguap tanpa bekas karena tidak ada tindaklanjut dari pihak kejaksaan.
"Sebut saja, penggunaan dana APBD oleh dewan untuk ramai-ramai berhaji, status anggaran pemeliharaan mobil dinas dan laptop yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang dilaporkan," katanya memberikan contoh.
Khusus mengenai moko, lanjut dia, ada dugaan kesalahan administrasi karena anggaran pengadaan 100 unit moko itu dimasukkan pada APBD Perubahan 2011.
Namun kemudian di lapangan, disinyalir pengadaan mobil moko hingga akhir tahun 2011 hanya sekitar 15 unit moko, sehingga kekurangannya masih dipertanyakan.
"Untuk itu, pihak kejaksaan harus betul-betul memperlihatkan kinerjanya, sehingga tidak mengulangi kasus-kasus sebelumnya yang santer dipublikasi, namun tidak masuk dalam daftar kasus-kasus yang terselesaikan pada ekspose kinerja akhir tahun kejaksaan," terangnya. (T.KR-MH/F003)

