Model baru diplomasi China yang menempatkan kesejajaran
Jakarta (ANTARA) - Sejak berkuasa sepuluh tahun silam, Presiden China Xi Jinping berusaha menjadikan negaranya kekuatan besar dunia yang berperilaku berbeda dari kebanyakan kekuatan besar lainnya, khususnya Amerika Serikat (AS).
Xi berusaha menawarkan alternatif bagi negara-negara yang berusaha mencari format hubungan yang menempatkan kesejajaran dan independensi tanpa tekanan, tapi memberikan insentif ekonomi lebih luas.
Aspirasi itu pula yang membuat diplomasi yang ditawarkan China pun menjadi sedikit berbeda dari arus utama, yang menekankan perkawanan di satu sisi, tapi menekan konflik di sisi lainnya.
Mungkin editorial surat kabar China, Global Times, belum lama ini bisa menjelaskan orientasi diplomasi China yang disebut harian ini tidak pernah lelah mendorong persatuan, kerja sama dan perdamaian.
"Ini semua jelas tercermin dalam lingkaran persahabatan China yang semakin luas. Sahabat China semakin banyak saja," ulas Global Times. "Dari pandangan kebanyakan negara-negara dalam masyarakat internasional, China adalah tetangga dan mitra yang bersahabat, antusiatis dan mau berbagi."
Surat kabar yang berinduk kepada Harian Rakyat itu mendaku China selalu fokus kepada pembangunan dengan penuh tanggung jawab yang terus berusaha membawa dunia kepada stabilitas di mana semua ini diawali dari diplomasi.
Model diplomasi baru yang menekankan kerja sama dalam kerangka konsultasi dan dialog itu tercermin dari sejumlah prakarsa kerja sama yang memang mendapatkan tanggapan positif dari banyak negara.
Prakarsa-prakarsa itu meliputi forum Sabuk dan Jalan (BRI), Organisasi Kerja Sama Shanghai, Forum Kerja Sama China-Afrika, dan forum kerja sama lima negara BRICS (Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan).
Demikian juga dengan kerangka-kerangka bilateral seperti pertemuan pemimpin-pemimpin China dengan negara-negara Arab, termasuk kaukus negara-negara Arab nan kaya di Teluk yang sejauh ini menjadi sekutu-sekutu AS.
Bisa disebut China berusaha menjadi antitesis dari pendekatan-pendekatan diplomatik menekan seperti umum terjadi saat ini.
China ingin membawa pesan kepada dunia bahwa apa yang dilakukannya di panggung politik global adalah membuka dan menciptakan komunikasi serta saling pengertian yang mengecualikan tekanan, setidaknya tidak terang-terangan seperti dilakukan AS atau Rusia atau lainnya.
Inilah yang mungkin membuat Iran dan Arab Saudi yang berseteru, merasa lebih nyaman berbicara satu sama lain lewat mediasi China.
Normalisasi Iran-Saudi
Ada yang berpendapat bahwa normalisasi hubungan Iran-Saudi adalah upaya Saudi dalam menggertak AS agar memperbaiki pendekatannya demi memperbaiki pola hubungan yang selama ini mereka bina, apalagi geopolitik sudah demikian berubah.
Normalisasi hubungan diplomatik Iran-Saudi juga masih harus dilihat lebih jauh lagi dalam dua bulan ke depan sebelum kedua negara benar-benar mewujudkannya dengan membuka kembali kedutaan besarnya masing-masing, terutama dalam bagaimana Saudi mengamati Iran.
"Periode dua bulan ke depan adalah ujian pertama untuk kredibilitas Iran dan upaya membuktikan niat baiknya dalam memperbaiki hubungannya dengan Saudi," kata Hamoud Abu Taleb, kolumnis harian terkenal di Saudi, Okaz, belum lama ini.
Yang juga menarik di balik normalisasi hubungan diplomatik Iran-Saudi adalah sepak terjang diplomasi China yang sekarang aktif memproyeksikan diri sebagai pemain global dalam segala spektrum hubungan internasional, termasuk dalam menawarkan resolusi konflik di berbagai kawasan.
China tentu sangat berkepentingan dengan kawasan yang stabilitas atau keadaan status quo yang tak merusak kepentingan-kepentingan nasionalnya, khususnya kepentingan ekonomi, dan lebih khusus lagi keamanan energi mereka.
Normalisasi hubungan diplomatik Iran-Saudi bisa dilihat dari kaca mata itu.
Hubungan tanpa perseteruan antara kedua negara yang sebenarnya terus bersaing baik di Timur Tengah maupun dalam panggung dunia Islam itu, adalah kondisi baik bagi China.
Itu menjadi awal untuk perdamaian langgeng di kawasan sehingga risiko konfrontasi dan perang menjadi lebih kecil. Akibat lebih jauh dari itu adalah terjaminnya pasokan energi untuk China dari Timur Tengah.
Kawasan itu sendiri amat vital bagi China yang mesin-mesin industrinya semakin haus energi, karena sekitar 40 persen kebutuhan minyak impor China dipenuhi oleh Timur Tengah, terutama Arab Saudi yang memasok 1,75 juta barel minyak per hari.
Jika Iran dan Saudi menjadi bertetangga baik, maka titik-titik api konflik di seluruh kawasan bisa turut padam dan keadaan ini bisa membantu terwujudnya prakarsa-prakarsa pembangunan lintas batas yang digagas China, termasuk yang paling penting, Prakarsa Sabuk dan Jalan (BRI).
Ditambah Afghanistan di bawah Taliban yang condong memilih China, hubungan baik antara Iran dan Saudi membuat China dapat memuluskan koridor energi dari Xinjiang di China ke Timur Tengah melalui Afghanistan, Iran, Irak, sampai Saudi, untuk kemudian produsen energi lainnya seperti Kuwait, Qatar dan Uni Emirat Arab.
"si vis pacem, para bellum"
Namun, upaya memastikan semuanya aman tidak mengganggu kepentingan nasional China pun menjadi semakin kuat. Di sini, diplomasi membutuhkan instrumen lain yang menjamin tujuan-tujuan nasional tercapai, dan instrumen itu adalah angkatan perang yang kuat.
Diplomasi yang efektif dan kuat yang bisa mendorong persahabatan global, tak bisa dicapai hanya lewat meja perundingan.
China pasti menyadari adagium "si vis pacem, para bellum" (jika ingin damai, maka bersiaplah untuk perang). Ini lumrah dalam politik internasional, apalagi bagi negara dengan postur meraksasa seperti China.
Pada praktiknya, membangun kekuatan pertahanan yang andal dan siap merespons keadaan apa pun adalah keharusan bagi negara yang tentakel kepentingannya menjalar ke mana-mena seperti China.
Maka wajar jika akhir pekan lalu China menyatakan telah menaikkan anggaran pertahanannya 7,2 persen menjadi 1,55 triliun yuan (Rp3.489 triliun). Tak hanya itu, mengutip laporan laman South China Morning Post, anggaran diplomasi pun dinaikkan 12,2 persen menjadi 54,84 miliar yuan (Rp123 triliun).
China tentu menepis langkah menaikkan anggaran pertahanan ini sebagai petunjuk awal untuk mengembangkan instrumen penekan kepada mitra-mitranya nanti.
Di sini, China menjauhi model "carrot and stick", antara ganjaran dan tekanan, yang biasa diterapkan AS dalam hubungan luar negerinya dengan negara lain.
Sebaliknya, China ingin menunjukkan bahwa mereka memprioritaskan ikatan dan keterhubungan seperti dilukiskan pada makna 'sabuk' dan 'jalan' dalam Prakarsa BRI, bahwa ikatan dan keterhubungan bisa menciptakan persahabatan yang kian kuat dari waktu ke waktu.
Itulah yang mungkin sedang dikerjakan China untuk Iran dan Arab Saudi.
Kawasan-kawasan lain seperti Asia Tenggara tentu menunggu perlakuan semacam itu, terutama dalam konteks perselisihan di Laut China Selatan dan Myanmar.
China diharapkan bisa mendesak junta Myanmar agar mau berdialog dengan semua pihak di sana, demi kerja sama dan menciptakan stabilitas seperti didengungkan China.
Ini tantangan bagi China, apalagi di Asia Tenggara dan Pasifik, mereka bertabrakan dengan AS yang aktif membentuk aliansi-aliansi seperti Pakta AUKUS (Australia, Inggris dan AS) yang disebut China sebagai upaya mengurung mereka.
Namun demikian, Asia Tenggara bisa menjadi area yang kian membuktikan bahwa diplomasi China yang menekankan kerja sama dan kerangka konsultasi memang alternatif untuk pola hubungan internasional yang saat ini ada.
Berita ini juga telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Model baru diplomasi China
Xi berusaha menawarkan alternatif bagi negara-negara yang berusaha mencari format hubungan yang menempatkan kesejajaran dan independensi tanpa tekanan, tapi memberikan insentif ekonomi lebih luas.
Aspirasi itu pula yang membuat diplomasi yang ditawarkan China pun menjadi sedikit berbeda dari arus utama, yang menekankan perkawanan di satu sisi, tapi menekan konflik di sisi lainnya.
Mungkin editorial surat kabar China, Global Times, belum lama ini bisa menjelaskan orientasi diplomasi China yang disebut harian ini tidak pernah lelah mendorong persatuan, kerja sama dan perdamaian.
"Ini semua jelas tercermin dalam lingkaran persahabatan China yang semakin luas. Sahabat China semakin banyak saja," ulas Global Times. "Dari pandangan kebanyakan negara-negara dalam masyarakat internasional, China adalah tetangga dan mitra yang bersahabat, antusiatis dan mau berbagi."
Surat kabar yang berinduk kepada Harian Rakyat itu mendaku China selalu fokus kepada pembangunan dengan penuh tanggung jawab yang terus berusaha membawa dunia kepada stabilitas di mana semua ini diawali dari diplomasi.
Model diplomasi baru yang menekankan kerja sama dalam kerangka konsultasi dan dialog itu tercermin dari sejumlah prakarsa kerja sama yang memang mendapatkan tanggapan positif dari banyak negara.
Prakarsa-prakarsa itu meliputi forum Sabuk dan Jalan (BRI), Organisasi Kerja Sama Shanghai, Forum Kerja Sama China-Afrika, dan forum kerja sama lima negara BRICS (Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan).
Demikian juga dengan kerangka-kerangka bilateral seperti pertemuan pemimpin-pemimpin China dengan negara-negara Arab, termasuk kaukus negara-negara Arab nan kaya di Teluk yang sejauh ini menjadi sekutu-sekutu AS.
Bisa disebut China berusaha menjadi antitesis dari pendekatan-pendekatan diplomatik menekan seperti umum terjadi saat ini.
China ingin membawa pesan kepada dunia bahwa apa yang dilakukannya di panggung politik global adalah membuka dan menciptakan komunikasi serta saling pengertian yang mengecualikan tekanan, setidaknya tidak terang-terangan seperti dilakukan AS atau Rusia atau lainnya.
Inilah yang mungkin membuat Iran dan Arab Saudi yang berseteru, merasa lebih nyaman berbicara satu sama lain lewat mediasi China.
Normalisasi Iran-Saudi
Ada yang berpendapat bahwa normalisasi hubungan Iran-Saudi adalah upaya Saudi dalam menggertak AS agar memperbaiki pendekatannya demi memperbaiki pola hubungan yang selama ini mereka bina, apalagi geopolitik sudah demikian berubah.
Normalisasi hubungan diplomatik Iran-Saudi juga masih harus dilihat lebih jauh lagi dalam dua bulan ke depan sebelum kedua negara benar-benar mewujudkannya dengan membuka kembali kedutaan besarnya masing-masing, terutama dalam bagaimana Saudi mengamati Iran.
"Periode dua bulan ke depan adalah ujian pertama untuk kredibilitas Iran dan upaya membuktikan niat baiknya dalam memperbaiki hubungannya dengan Saudi," kata Hamoud Abu Taleb, kolumnis harian terkenal di Saudi, Okaz, belum lama ini.
Yang juga menarik di balik normalisasi hubungan diplomatik Iran-Saudi adalah sepak terjang diplomasi China yang sekarang aktif memproyeksikan diri sebagai pemain global dalam segala spektrum hubungan internasional, termasuk dalam menawarkan resolusi konflik di berbagai kawasan.
China tentu sangat berkepentingan dengan kawasan yang stabilitas atau keadaan status quo yang tak merusak kepentingan-kepentingan nasionalnya, khususnya kepentingan ekonomi, dan lebih khusus lagi keamanan energi mereka.
Normalisasi hubungan diplomatik Iran-Saudi bisa dilihat dari kaca mata itu.
Hubungan tanpa perseteruan antara kedua negara yang sebenarnya terus bersaing baik di Timur Tengah maupun dalam panggung dunia Islam itu, adalah kondisi baik bagi China.
Itu menjadi awal untuk perdamaian langgeng di kawasan sehingga risiko konfrontasi dan perang menjadi lebih kecil. Akibat lebih jauh dari itu adalah terjaminnya pasokan energi untuk China dari Timur Tengah.
Kawasan itu sendiri amat vital bagi China yang mesin-mesin industrinya semakin haus energi, karena sekitar 40 persen kebutuhan minyak impor China dipenuhi oleh Timur Tengah, terutama Arab Saudi yang memasok 1,75 juta barel minyak per hari.
Jika Iran dan Saudi menjadi bertetangga baik, maka titik-titik api konflik di seluruh kawasan bisa turut padam dan keadaan ini bisa membantu terwujudnya prakarsa-prakarsa pembangunan lintas batas yang digagas China, termasuk yang paling penting, Prakarsa Sabuk dan Jalan (BRI).
Ditambah Afghanistan di bawah Taliban yang condong memilih China, hubungan baik antara Iran dan Saudi membuat China dapat memuluskan koridor energi dari Xinjiang di China ke Timur Tengah melalui Afghanistan, Iran, Irak, sampai Saudi, untuk kemudian produsen energi lainnya seperti Kuwait, Qatar dan Uni Emirat Arab.
"si vis pacem, para bellum"
Namun, upaya memastikan semuanya aman tidak mengganggu kepentingan nasional China pun menjadi semakin kuat. Di sini, diplomasi membutuhkan instrumen lain yang menjamin tujuan-tujuan nasional tercapai, dan instrumen itu adalah angkatan perang yang kuat.
Diplomasi yang efektif dan kuat yang bisa mendorong persahabatan global, tak bisa dicapai hanya lewat meja perundingan.
China pasti menyadari adagium "si vis pacem, para bellum" (jika ingin damai, maka bersiaplah untuk perang). Ini lumrah dalam politik internasional, apalagi bagi negara dengan postur meraksasa seperti China.
Pada praktiknya, membangun kekuatan pertahanan yang andal dan siap merespons keadaan apa pun adalah keharusan bagi negara yang tentakel kepentingannya menjalar ke mana-mena seperti China.
Maka wajar jika akhir pekan lalu China menyatakan telah menaikkan anggaran pertahanannya 7,2 persen menjadi 1,55 triliun yuan (Rp3.489 triliun). Tak hanya itu, mengutip laporan laman South China Morning Post, anggaran diplomasi pun dinaikkan 12,2 persen menjadi 54,84 miliar yuan (Rp123 triliun).
China tentu menepis langkah menaikkan anggaran pertahanan ini sebagai petunjuk awal untuk mengembangkan instrumen penekan kepada mitra-mitranya nanti.
Di sini, China menjauhi model "carrot and stick", antara ganjaran dan tekanan, yang biasa diterapkan AS dalam hubungan luar negerinya dengan negara lain.
Sebaliknya, China ingin menunjukkan bahwa mereka memprioritaskan ikatan dan keterhubungan seperti dilukiskan pada makna 'sabuk' dan 'jalan' dalam Prakarsa BRI, bahwa ikatan dan keterhubungan bisa menciptakan persahabatan yang kian kuat dari waktu ke waktu.
Itulah yang mungkin sedang dikerjakan China untuk Iran dan Arab Saudi.
Kawasan-kawasan lain seperti Asia Tenggara tentu menunggu perlakuan semacam itu, terutama dalam konteks perselisihan di Laut China Selatan dan Myanmar.
China diharapkan bisa mendesak junta Myanmar agar mau berdialog dengan semua pihak di sana, demi kerja sama dan menciptakan stabilitas seperti didengungkan China.
Ini tantangan bagi China, apalagi di Asia Tenggara dan Pasifik, mereka bertabrakan dengan AS yang aktif membentuk aliansi-aliansi seperti Pakta AUKUS (Australia, Inggris dan AS) yang disebut China sebagai upaya mengurung mereka.
Namun demikian, Asia Tenggara bisa menjadi area yang kian membuktikan bahwa diplomasi China yang menekankan kerja sama dan kerangka konsultasi memang alternatif untuk pola hubungan internasional yang saat ini ada.
Berita ini juga telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Model baru diplomasi China