Makassar (ANTARA) - Sejumlah nelayan, pihak Pemerintah Kota Makassar dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan hingga eksportir membahas keberlanjutan konservasi gurita di Pulau Langkai dan Lanjukang Makassar.
Konservasi gurita ini dibahas melalui talkshow kolaborasi untuk penguatan tata kelola berbasis masyarakat (sistem buka tutup gurita) di Pulau Langkai dan Lanjukang yang digelar Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia di Makassar, Rabu (16/8).
"Kita menyadari bahwa dibutuhkan upaya bersama agar konservasi gurita ini terus berlanjut dan didukung oleh pihak-pihak pengambil kebijakan," kata Erwan selaku Ketua Forum Nelayan Kakap Kerapuh mewakili nelayan Pulau Langkai dan Lanjukang Makassar.
Dijelaskan bahwa sistem buka tutup gurita yang dimaksud ialah area pencarian gurita dengan luas 1 mil persegi dilakukan penutupan area tanpa aktivitas di dalamnya. Penutupannya bisa berlangsung selama tiga bulan dengan dua titik lokasi dalam setahun.
Tujuannya, agar biota laut di lokasi tersebut terjaga, termasuk keberlanjutan (sustainable) produksi gurita tetap ada dengan menjaga biota laut lainnya seperti terumbu karang.
Metode buka tutup ini merupakan kearifan lokal para nelayan sebagai wujud kepedulian terhadap tempat menggantungkan keberlangsungan ekonomi mereka.
Meski diakui Erwan, bahwa saat ide ini muncul, tidak lepas dari pro dan kontra di antara para nelayan. Apalagi sekitar 70 persen dari nelayan di dua pulau ini masih menggunakan metode penangkapan hasil laut yang tidak ramah lingkungan.
"Maka dengan kesadaran kita, sistem ini harus dilakukan dan kita telah memulai sejak 2022, dan saat ini dibutuhkan dukungan dari pihak terkait agar ini bisa terus berlanjut," kata Erwan.
Pada kesempatan ini, turut hadir Kepala Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Makassar Permana Yudiarso yang turut memberikan masukan pada nelayan penangkap gurita atas inisiatif melakukan tata kelola buka-tutup.
Permana menyebut bahwa pemerintah mencoba membantu nelayan agar apa yang dibutuhkan bisa terpenuhi melalui pendekatan pengembangan budidaya masyarakat.
"Kami membantu mereka agar penataan ruang lebih tertata di area tangkap mereka dengan isu konservasi," kata dia.
Terlebih lagi status Pulau Langkai dan Lanjukang dicadangkan sebagai dua lokasi konservasi perairan. Maka ke depan akan dilakukan pengaturan, mana area yang bisa ditutup dan mana yang bisa dibuka.
"Dalam satu tahun itu, puncak permintaan gurita di Oktober dan itu termasuk bulan basah untuk gurita bisa bertelur. Pola itu yang akan kita kaitkan dengan model konservasi," kata dia.
Persuratan atau legalitas nelayan dalam melakukan pencarian hasil laut juga menjadi isu yang turut dibahas dalam pertemuan ini.
Sebab sejumlah negara seperti Eropa mensyaratkan gurita yang diekspor diperoleh dari penangkapan secara legal, yakni nelayan disertai surat izin dari pemerintah.
"Sementara permintaan pada perusahaan kami 90 persen terhadap gurita itu dari Negara Eropa dan bukan tidak mungkin negara lainnya juga akan mensyaratkan hal serupa, jadi ini butuh perhatian," kata Kalma, seorang eksportir dari PT Prima Bahari Inti Lestari.
Kalma menyebut bahwa permintaan gurita tidak pernah menurun dan harganya bisa mencapai Rp100 ribu per dua kg. Hanya saja harga ini hanya 50 persen yang sampai ke nelayan.
Maka dari itu, Kalma berharap agar pemerintah bisa lebih memperhatikan kebutuhan nelayan agar upah yang diterima dari kerja kerasnya sepadan.
Berita ini juga telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Nelayan, pemerintah hingga eksportir bahas konservasi gurita