Makassar (ANTARA Sulsel) - Mengutip kalimat bijak dari ajaran agama "samawi" (langit), malu adalah sebagian dari iman, ternyata masih belum banyak yang mampu menerapkannya karena dipengaruhi oleh pola pikir dan perilaku.
Hal itulah yang dulu terjadi pada sebagian besar warga pesisir yang berada di Kelurahan Bontoa dan Tallo, Kecamatan Tallo, Kota Makassar.
Warga yang bermukim di bibir muara Sungai Tallo dan tak jauh dari makam Raja-Raja Tallo itu, umumnya masih menggunakan rumah panggung berbahan kayu. Kehidupan sehari-hari mereka tidak terlepas dari rutinitas sebagai buruh nelayan, pedagang, sopir, honorer perusahaan swasta dan kantor pemeritah.
Salah satu potret rumah tangga di wilayah itu adalah keluarga Aisyiah. Perempuan jelang paruh baya dengan empat orang anak itu, sehari-hari harus menghadapi peliknya hidup dari hasil jerih payah suami yang berprofesi sebagai buruh harian.
Menurut warga Rw 5/RT D, Kelurahan Tallo, Kecamatan Tallo, Makassar ini, dengan segala keterbatasan ekonomi telah mengharuskan dia harus membuang hajat di bibir Sungai Tallo yang tak jauh dari rumahnya.
"Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja susah, apalagi untuk membuat jamban yang semipermanen," kata Aisyah.
Menyikapi kondisi tersebut, maka dia pun bersama keluarganya memilih jalan yang praktis dengan Buang Air Besar Sembarangan (BABS) di bibir laut lepas atau muara Sungai Tallo. Hal itu juga dilakukan sebagian besar tetangganya.
Kondisi itu telah berlangsung sejak nenek-kakek mereka mendiami wilayah utara Kota Makassar, hingga kemudian inovator lembaga donor Amerika yakni Usaid dan lembaga lokal High Five datang menyosialisasikan program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) dua tahun silam.
"Mengubah pola pikir memang tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, butuh proses dan waktu," kata staf High Five yang juga menjadi Ketua Panitia Lomba Bercerita tentang kisah inspiratif masyarakat dampingannya di Kelurahan Tallo dan Lembo.
Menurut dia, pada tahap awal dilakukan pendekatan pada tokoh-tokoh kunci agar dapat mengubah pola kebiasaan BABS dengan menggunakan jamban sederhana dan sehat untuk membuang hajat.
Selanjutnya, tokoh kunci mengajak tetangganya untuk mengimplementasikan STBM di lapangan, melalui kelompok kerja (Pokja) dengan beberapa rencana aksi, misalnya membuat fasilitas Mandi, Cuci, Kakus (MCK) bersama, maupun milik pribadi.
"Selama ini, masyarakat terbiasa dengan paradigma bahwa jika ada program, otomatis ada bantuan. Nah, ini menjadi tantangan bagi kami, untuk mengubah pandangan tersebut bahwa dengan berswadaya dan gotong royong dapat membangun MCK," katanya.
Menurut dia, program STBM itu lebih menekankan pada upaya mengubah perilaku, bukan memberikan bantuan fisik atau dalam bentuk donasi, sehingga prosesnya tidak sederhana.
Pencerahan
Hal itu diakui Aisyah yang sudah menjadi Pokja STBM Tallo. Menurut dia, kalau sebelumnya hanya BABS di bibir laut dengan kondisi kurang nyaman, karena setiap ada yang melintas di kawasan itu, terpaksa harus menahan BABS karena malu.
"Jadi, ibarat motor yang menggunakan rem cakram, jadi inilah yang kemudian menginspirasi saya untuk menguraikan pengalaman pribadi dalam lomba bercerita yang digelar Usaid dan lembaga pendamping," katanya.
Setelah mendapatkan "pencerahan" dari lembaga pendamping, lanjut perempuan berpostur sedang ini, akhirnya perasaan malu itu makin bertambah dan menderanya. Sehingga akhirnya memutuskan untuk membuat jamban sendiri dari sisa uang belanja yang disisihkan setiap hari.
Kini, dia pun menyadari bahwa pepatah "di mana ada kemauan, di situ ada jalan" dapat terjawantahkan, apabila memiliki motivasi dan rasa malu yang tinggi untuk dapat hidup lebih teratur dan beradab.
Implikasi lainnya adalah akan menciptakan lingkungan yang sehat, karena dapat menekan penyebaran kuman atau bakteri penyebab penyakit menular seperti diare, tipes dan kolera.
Potret keluarga Aisyah yang dituangkan dalam Lomba Bercerita yang digelar Usaid, High Five dan Pemda setempat, sekaligus menjadi bahan evaluasi bagi lembaga pendamping dan menjadi motivasi bagi warga kabupaten/kota di Sulsel yang masih BABS.
Apalagi Menurut Kadis Kesehatan Sulsel Dr dr Rahmat Latif, Sulsel masuk dalam lima besar nasional dalam penanganan BABS.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Sulsel pada 2012 diketahui, sebanyak 60 persen dari total delapan juta jiwa lebih penduduk Sulsel tidak BABS lagi. Berarti masih ada sekitar 40 persen lainnya yang membutuhkan edukasi dalam menerapkan STBM.
Hal tersebut tentu menjadi pekerjaan rumah bagi "multistake holder" (para pihak), agar ke depan target Millenium Development Goals (MGD`s) Bidang Kesehatan dapat diwujudkan pada 2015 dan semua masyarakat Indonesia dari rasa malu yang dalam dapat merasakan "enak tenang!", seperti semboyan dari maskot juru kunci Gunung Merapi alm. Mbah Marijan. (Zita Meirina)
Berita Terkait
Wali Kota Makassar usul ke DPR RI buat bendungan karet di Sungai Tallo dan Jeneberang
Sabtu, 6 April 2024 20:46 Wib
Pelindo Regional 4 membantu sarana air bersih kepada warga Tallo Makassar
Selasa, 26 September 2023 23:58 Wib
Penanganan krisis air di Tallo gunakan pola tadah hujan sekala besar
Kamis, 15 Juni 2023 0:23 Wib
Satu pekerja pangkalan gas di Makassar tewas terbakar
Rabu, 17 Mei 2023 21:48 Wib
DLH Makassar pantau anak Sungai Tallo yang diduga tercemar
Rabu, 17 Mei 2023 19:31 Wib
Pulau Lakkang Makassar berpotensi jadi proyek pengembangan ekowisata mangrove
Senin, 30 Januari 2023 19:10 Wib
Empat rumah di Aspol Tallo Makassar hangus terbakar
Jumat, 16 Desember 2022 19:11 Wib
Makassar Je'ne Tallasa hadirkan percontohan layanan air bersih di Tallo
Kamis, 1 Desember 2022 5:05 Wib