Mamuju (ANTARA) - Upacara adat Massossor Manurung atau pencucian pusaka sakral peninggalan Kerajaan Mamuju di Provinsi Sulawesi Barat, menjadi momentum penting untuk merawat nilai-nilai budaya, spiritual, dan persatuan masyarakat di tengah arus modernisasi.
Massossor Manurung adalah ritual pencucian keris yang dilakukan oleh Kerajaan Mamuju, setiap dua tahun sekali di Kabupaten Mamuju.
Secara etimologi, kata Massossor memiliki arti penyucian atau pembersihan, dan Manurung berarti benda kerajaan.
Maradika (Raja) Mamuju Bau Akram Dai mengatakan, ritual Massossor Manurung telah diwariskan turun-temurun sejak tahun 1.500 Masehi.
Ia menyebut, ritual ini berasal dari masa pemerintahan Raja Lasalaga, sosok yang diyakini memiliki kembaran bernama "Maradika Tammakana-kana" atau raja yang tak bisa berbicara, yang kemudian disebut pusaka Manurung.
Pusaka Manurung telah menjadi simbol kekuatan, kepemimpinan, dan keadilan di Tanah Mamuju sejak tahun 1500 Masehi.
"Sehingga pada saat sekarang ini, anak cucunya dan lembaga adat sering melaksanakan Sossor Manurung, satu kali dalam dua tahun pada tahun ganjil," tutur Bau Akram Dai.
Ia juga menjelaskan filosofi lokal yang menjadi dasar kehidupan masyarakat Mamuju hingga kini, yaitu ‘Sema manginung uai randanna to Mamuju, maka ia to Mamuju’
Filosofi itu mengandung makna, siapa pun yang minum air di Tanah Mamuju adalah bagian dari Mamuju dan memiliki tanggung jawab untuk menjaga kedamaian serta membangun daerah ini.
"Kami dari Lembaga Adat Kerajaan Mamuju siap bergandengan tangan dengan pemerintah provinsi dan kabupaten untuk menjaga nilai budaya dan kearifan lokal," kata Bau Akram Dai, yang juga sebagai Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Sulbar.
Prosesi Massossor Manurung diawali kirab budaya dengan mengarak pusaka yang akan dicuci di kawasan Rumah Adat Mamuju.
Ketika tiba di lokasi, langsung disambut tarian penghormatan, seolah menyambut roh leluhur yang diyakini turut hadir pada prosesi sakral tersebut.
Pada puncak ritual adat Massossor Manurung, benda pusaka dicuci dengan air kembang dan wewangian khusus, diiringi doa-doa dalam bahasa Mamuju.
Proses ini dipimpin langsung Maradika Mamuju Andi Bau Akram Dai, didampingi para pemangku adat.
Tradisi Masossor Manurung sendiri dipercaya memiliki tuah yang dapat memberikan berkat pada masyarakat.
Mulanya, tradisi tersebut dilakukan saat masyarakat Mamuju mengalami masa sulit yaitu kekeringan.
Hal tersebut mendorong raja untuk memerintahkan Galaggar Pitu agar memandikan dan mensucikan keris pusaka kerajaan.
Setelah melakukan pembersihan, air hasil mencuci keris tersebut disebar ke kebun, sawah, dan laut. Penyebaran air tersebut akhirnya meredakan kekeringan.
Perkuat Identitas dan Landasan Moral
Tradisi Massossor Manurung tidak hanya sebatas pelestarian budaya dan tradisi Kerajaan Mamuju, tetapi juga dapat memperkuat identitas dan landasan moral.
Ritual Massossor Manurung, secara harfiah berarti pembersihan Manurung, merupakan prosesi membersihkan pusaka sakral peninggalan Kerajaan Mamuju. Namun di balik makna fisiknya, upacara ini juga dimaknai sebagai pembersihan diri, refleksi spiritual, dan evaluasi terhadap perjalanan kehidupan sosial serta pemerintahan.
Gubernur Sulbar Suhardi Duka saat menghadiri prosesi Massossor Manurung mengatakan, tradisi pencucian pusaka itu tidak hanya menjadi simbol pelestarian benda pusaka, tetapi juga bentuk introspeksi dan pembersihan moral bagi seluruh lapisan masyarakat.
"Prosesi ini bukan hanya sebatas ritual pembersihan benda pusaka, tapi juga pembersihan diri dan evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan pembangunan, pemerintahan, maupun sosial di setiap masa. Karena itu, kegiatan seperti ini penting untuk kita terus merawatnya," katanya.
Mantan Bupati Mamuju periode 2005-2015 itu menegaskan pentingnya budaya sebagai penuntun jati diri dan kepribadian masyarakat.
"Budaya adalah penuntun kita untuk menjadi jati diri dan kepribadian kita, termasuk bahasa. Bahasa Mamuju adalah bagian dari identitas kita. Jika ada orang Mamuju yang tidak tahu bahasa Mamuju, itu artinya tercabut dari akar budayanya," ujarnya.
Budaya, kata Suhardi Duka, tidak hanya harus dijaga secara sakral, tetapi juga bisa dikembangkan menjadi potensi ekonomi daerah melalui pariwisata budaya.
Ia mencontohkan, daerah seperti Bali yang mampu menggabungkan nilai spiritual dan ekonomi dalam kegiatan budayanya.
Budaya di era modern seperti sekarang menurut Suhardi Duka, tidak hanya disakralkan, tapi juga bisa dipasarkan.
"Contohnya Bali, orang datang ke sana bukan hanya untuk menikmati alamnya, tapi juga budayanya. Maka tradisi Massossor Manurung ini bisa kita kembangkan menjadi atraksi wisata budaya yang menarik wisatawan lokal dan mancanegara," jelasnya.
Menurutnya, keunikan budaya Mamuju yang berangkat dari kepercayaan bahwa Manurung bukanlah benda biasa melainkan dilahirkan, memiliki nilai mistik dan simbolik yang tinggi sehingga dapat menarik perhatian dunia luar.
"Kalau orang asing mendengar bahwa keris ini dilahirkan, pasti mereka penasaran dan ingin tahu bagaimana keyakinan itu terbentuk. Ini daya tarik budaya yang luar biasa jika dikemas dengan baik," tutur Suhardi Duka
Bupati Mamuju Sutinah Suhardi menyampaikan apresiasi kepada Gubernur Sulbar atas perhatiannya dalam mendukung pelestarian budaya dan kearifan lokal di Mamuju.
“Saya menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada Gubernur yang selama ini telah banyak memberikan dukungan atas upaya pelestarian budaya dan tradisi Kerajaan Mamuju yang menjadi identitas kita," kata Sutinah.
Ia berharap momen Massossor Manurung menjadi ajang memperkuat solidaritas sosial dan kebanggaan terhadap budaya daerah.
“Melalui momentum ini, mari jadikan tradisi adat sebagai perekat sosial, penguat identitas, dan landasan moral dalam membangun Mamuju yang lebih keren, maju, berbudaya dan berkarakter," tambahnya.
Pelestarian Budaya
Pelaksana Tugas Kepala Badan Kesbangpol Provinsi Sulbar Sunusi mengatakan, prosesi sakral pencucian benda-benda pusaka peninggalan Kerajaan Mamuju, adalah salah satu agenda budaya paling penting di Sulbar
Ia menekankan pentingnya regenerasi dan edukasi agar nilai-nilai yang terkandung dalam adat ini dapat diteruskan kepada generasi muda.
Kesbangpol kata dia, akan terus berkoordinasi dengan lembaga adat, tokoh masyarakat, dan organisasi kemasyarakatan budaya untuk memastikan pelestarian adat ini berjalan optimal.
"Upaya ini adalah perwujudan dari fungsi Kesbangpol dalam memfasilitasi hubungan baik dengan unsur kemasyarakatan," kata Sunusi.
Partisipasi Kesbangpol dalam kegiatan adat seperti Massossor Manurung merupakan bagian dari pelaksanaan tugas dan fungsi utama lembaga, untuk melaksanakan urusan pemerintahan di bidang kesatuan bangsa dan politik.
"Salah satu sub-bidang utamanya adalah ketahanan seni dan budaya, agama dan kemasyarakatan, yang berfokus pada pembinaan, fasilitasi, dan pengawasan kegiatan untuk memperkuat ketahanan sosial-budaya di daerah,' tutur Sunusi.
Kegiatan adat yang berakar pada nilai-nilai kearifan lokal memiliki peran penting dalam menjaga harmoni sosial dan memperkuat semangat kebangsaan di tengah masyarakat.


