Walhi: Lahan kritis di Sulsel capai 516.398 hektare
Makassar (ANTARA) - Lembaga Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Provinsi Sulawesi Selatan menyebut dalam satu dekade terakhir kawasan hutan di Sulsel mencapai 2.725.796 hektare, sebagian besar dalam kondisi kritis.
"Luas lahan kritis berdasarkan data Walhi Sulsel sudah mencapai 516.398 hektare. Ini diakibatkan dari semakin massifnya aktivitas tambang, perkebunan skala besar, proyek infrastruktur energi PLTA," sebut Direktur Walhi Sulsel Muh Al Amin melalui siaran persnya di Makassar, Senin.
Laju kerusakan lingkungan di Sulsel, kata dia, terus meningkat dan mempengaruhi bentang alam hutan, pesisir dan laut serta kawasan pegunungan karst.
Pada Momen hari bumi ini, pihaknya menyerukan kepada seluruh masyarakat di dunia untuk bersatu menyelamatkan bumi dari kerusakan lingkungan. Peringatan Hari Bumi bertujuan untuk mengajak orang peduli terhadap lingkungan hidup.
Di Indonesia, dominasi terhadap bisnis ekstratif sumber daya alam dan model pembangunan tanpa memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan.
Selain itu, mengakibatkan bencana ekologis di hampir seluruh wilayah Indonesia termasuk di Provinsi Sulawesi Selatan. Gerakan untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap planet yang ditinggali manusia yaitu bumi.
"Bumi kita saat ini sedang berada pada kondisi yang kritis dan keterancaman akibat dari eksploitasi tanpa henti yang dilakukan oleh manusia terhadap sumber daya alam yang ada di bumi," beber dia.
Berdasarkan catatan Walhi Sulsel, sebutnya, untuk perizinan tambang, diamati pertumbuhannya mengalami peningkatan dalam tiga tahun terakhir, 2016-2019. Pada tahun 2016 terdapat 414 IUP dan hingga tahun 2017 meningkat signifikan menjadi 583 IUP.
Keberadaan aktivitas pertambangan tersebut tidak banyak manfaat bagi masyarakat terkhususnya masyarakat di Desa Baruga dan Desa Tukamasea justru dampak pencemaran lingkungan seperti polusi udara yang didapatkan masyarakat sejak lama.
Dari beberapa potret kerusakan lingkungan disebutkan tadi, Walhi Sulsel berharap Hari Bumi 22 April 2019 menjadi momentum bersama dalam memperluas gerakan penyelamatan lingkungan hidup di Sulsel untuk mewujudkan keadilan ekologis serta meminta dengan tegas kepada pemerintah menghentikan perusakan lingkungan.
"Walhi bersama rakyat mendesak untuk meninjau ulang kembali pemberian izin-izin yang bersumber dari aktivitas bisnis ekstraktif dan bisnis properti skala besar demi menyelamatkan bumi kita untuk generasi sekarang dan masa akan datang," harapnya.
"Luas lahan kritis berdasarkan data Walhi Sulsel sudah mencapai 516.398 hektare. Ini diakibatkan dari semakin massifnya aktivitas tambang, perkebunan skala besar, proyek infrastruktur energi PLTA," sebut Direktur Walhi Sulsel Muh Al Amin melalui siaran persnya di Makassar, Senin.
Laju kerusakan lingkungan di Sulsel, kata dia, terus meningkat dan mempengaruhi bentang alam hutan, pesisir dan laut serta kawasan pegunungan karst.
Pada Momen hari bumi ini, pihaknya menyerukan kepada seluruh masyarakat di dunia untuk bersatu menyelamatkan bumi dari kerusakan lingkungan. Peringatan Hari Bumi bertujuan untuk mengajak orang peduli terhadap lingkungan hidup.
Di Indonesia, dominasi terhadap bisnis ekstratif sumber daya alam dan model pembangunan tanpa memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan.
Selain itu, mengakibatkan bencana ekologis di hampir seluruh wilayah Indonesia termasuk di Provinsi Sulawesi Selatan. Gerakan untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap planet yang ditinggali manusia yaitu bumi.
"Bumi kita saat ini sedang berada pada kondisi yang kritis dan keterancaman akibat dari eksploitasi tanpa henti yang dilakukan oleh manusia terhadap sumber daya alam yang ada di bumi," beber dia.
Berdasarkan catatan Walhi Sulsel, sebutnya, untuk perizinan tambang, diamati pertumbuhannya mengalami peningkatan dalam tiga tahun terakhir, 2016-2019. Pada tahun 2016 terdapat 414 IUP dan hingga tahun 2017 meningkat signifikan menjadi 583 IUP.
Keberadaan aktivitas pertambangan tersebut tidak banyak manfaat bagi masyarakat terkhususnya masyarakat di Desa Baruga dan Desa Tukamasea justru dampak pencemaran lingkungan seperti polusi udara yang didapatkan masyarakat sejak lama.
Dari beberapa potret kerusakan lingkungan disebutkan tadi, Walhi Sulsel berharap Hari Bumi 22 April 2019 menjadi momentum bersama dalam memperluas gerakan penyelamatan lingkungan hidup di Sulsel untuk mewujudkan keadilan ekologis serta meminta dengan tegas kepada pemerintah menghentikan perusakan lingkungan.
"Walhi bersama rakyat mendesak untuk meninjau ulang kembali pemberian izin-izin yang bersumber dari aktivitas bisnis ekstraktif dan bisnis properti skala besar demi menyelamatkan bumi kita untuk generasi sekarang dan masa akan datang," harapnya.