Jakarta (ANTARA) - Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Suharso Monoarfa menyatakan bahwa sudah mulai banyak wilayah di Indonesia yang tergenang dan terendam secara permanen.
“Sebagai negara kepulauan, tentu perubahan iklim akan sangat signifikan berdampak di pesisir sebagaimana yang kita saksikan kenaikan muka air laut akan berkisar antara 0,8-1,2 sentimeter (cm) per tahun dan sudah mulai banyak wilayah di Indonesia yang tergenang dan terendam secara permanen,” katanya dalam acara Dialog Nasional Antisipasi Dampak Perubahan Iklim untuk Pembangunan Indonesia Emas 2045 yang dipantau secara virtual, di Jakarta, Senin.
Salah satu kota yang mulai terendam ialah kota Pekalongan di Jawa Tengah. Berdasarkan hasil penelitian Institut Teknologi Bandung (ITB), rata-rata penurunan tanah di Pekalongan sebagaimana kota-kota di Pesisir Pantai Utara Pulau Jawa sebesar 10-20 cm per tahun.
“Sekarang sedang diupayakan oleh (Kementerian) PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) untuk membuat tanggul di sana yang jebol (sehingga menyebabkan banjir rob),” ujar Kepala Bappenas.
Adanya kenaikan permukaan laut di Indonesia yang memiliki pesisir terpanjang di dunia sekitar 18 ribu kilometer (km) berdampak kepada 160 juta masyarakat pesisir.
“Kalau itu terjadi sesuatu, mereka harus bermigrasi mencari tempat yang lebih aman dan tentu saja ini pada gilirannya berikutnya akan berpengaruh terhadap ekonomi dan akan disusul demam berdarah, malaria, pneumonia dan seterusnya,” ucapnya.
Jumlah kasus kematian untuk demam berdarah saja disebut meningkat lebih dari 25 persen pada kurun waktu 2021-2022.
Lebih lanjut, perubahan iklim juga berpengaruh terhadap ketahanan air di sebagian besar wilayah Indonesia yang diperkirakan akan mengalami penurunan tingkat curah hujan sekitar 1-4 persen hingga 2034. Hal ini mengakibatkan pasokan air bersih semakin berkurang dan berpotensi menimbulkan konflik alokasi air, terutama untuk daerah yang bertumpuk antara sektor pertanian, industri, dan energi.
Pada sektor pertanian, dampak perubahan iklim menyebabkan periode ulang variasi iklim semakin singkat. Salah satunya ialah siklus variasi El Niño–Southern Oscillation (pergeseran periodik sistem atmosfer samudra di Pasifik tropis yang berdampak pada cuaca di seluruh dunia) yang semestinya terjadi setiap 3-7 tahun sekali, tetapi sudah menjadi lebih singkat menjadi 2-5 tahun sekali.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah memberikan imbauan bahwa fenomena El Nino akan berlangsung cukup panjang pada tahun ini hingga akhir Desember 2023. Karena itu, dampak dari fenomena tersebut perlu dimitigasi agar tidak terjadi kelangkaan air, potensi kebakaran hutan dan lahan, serta penurunan produktivitas pangan.
Perubahan iklim menyebabkan pula kesulitan dalam menentukan waktu tanam mengingat terjadi pergeseran awal puncak musim hujan.
“FAO (Food and Agriculture Organization) memproyeksikan potensi penurunan produksi padi di Indonesia akibat fenomena El Nino sebesar 1,13-1,89 juta ton, sehingga akan menurunkan pendapatan petani 9-20 persen,” ungkap Suharso.