Makassar (ANTARA) - Politeknik Pariwisata (Poltekpar) Makassar menggelar Monolog Budaya 2025 bertema “Budaya di Tengah Digitalisasi: Bertahan atau Bertransformasi” pada 25–26 November di Aula I Wayan Bendhi.
Kegiatan ini menghadirkan diskusi monolog, pasar UMKM, pameran foto, performance art, serta penampilan keroncong.
Kegiatan ini turut dihadiri sejumlah tokoh dan pemateri. Hadir Abdi Mahesa sebagai budayawan muda Sulsel yang aktif mendorong isu-isu kebudayaan. Irfan Palippui juga memberikan pandangannya bersama Aminuddin Safli Salle.
Di sisi lain, Ikhsan Bangsawan hadir sebagai konten kreator dan pelaku wirausaha yang banyak bergerak di ranah digital. Sementara itu, Muhammad Rijal Jamal dan Muhammad Al-Mustafa turut menyampaikan perspektif generasi muda dalam melihat perubahan budaya di era digital saat ini.
Kepala Dinas Kebudayaan Kota Makassar Andi Pattiware yang turut hadir dalam kegiatan tersebut, menegaskan bahwa digitalisasi membawa tantangan besar terhadap eksistensi budaya lokal.
Ia mencontohkan nilai budaya sering kali ditemukan pada hal-hal kecil yang tampak sederhana, seperti Siri na Pace, sipaka tau, dan sipaka labi namun justru memiliki makna yang sangat penting dalam identitas masyarakat.
Ia berharap para pelajar dan mahasiswa yang hadir dapat memperoleh eksposur, pengetahuan, dan pemahaman mengenai budaya, terutama dalam isu apakah budaya harus bertahan apa adanya atau bertransformasi mengikuti perkembangan zaman.
Menanggapi pertanyaan mengenai langkah konkrit pemerintah, Pattiware menjelaskan Dinas Kebudayaan Makassar memiliki lebih dari 100 sanggar yang satu sanggarnya terdiri dari 50 penari binaan yang aktif mengembangkan seni tradisi.
“Beberapa sanggar berkembang sangat baik dan menjadi ruang penting bagi pelaku seni untuk berkarya. Ini bagian dari upaya kami menjaga agar budaya tetap hidup,” ujarnya.
Selain itu, Dinas Kebudayaan juga secara konsisten menghadirkan berbagai gelaran seni mulai dari pertunjukan budaya lintas daerah, pementasan komunitas, hingga festival “Singara Bulang” yang menjadi ruang ekspresi bagi para seniman dan kreator lokal.
Pattiware menekankan kegiatan seperti ini harus terus diperbanyak agar masyarakat, khususnya generasi muda, tetap merasa dekat dengan akar budaya mereka dan tidak tercerabut oleh arus digitalisasi yang semakin cepat.
Salah satu pembicara Prof Aminuddin selaku pemerhati budaya mengatakan budaya harus bersifat dinamis dan mengikuti zaman dan menyesuaikan agar tidak hilang. "Kalau tidak dijaga, bisa hilang perlahan. Budaya itu bukan hanya soal simbol, tetapi tentang rasa, koneksi, dan cara kita memahami siapa diri kita,” kata Aminuddin.
Kegiatan monolog dalam acara ini menjadi wadah refleksi untuk melihat budaya dapat bertahan di tengah perkembangan teknologi. Peserta diajak memahami bahwa budaya dapat tetap hidup, baik dengan mempertahankan bentuk asli maupun melalui transformasi yang tetap menjaga nilai dasarnya.
Pihak penyelenggara berharap kegiatan ini dapat memperluas wawasan masyarakat, sekaligus menjadi ruang berbagi pengetahuan budaya yang nantinya dapat disampaikan kembali kepada publik.

