Makassar (ANTARA) - Pakar Kota Sehat, Prof Sukri Palutturi, PhD mengemukakan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di Tamangapa Kelurahan Antang Kecamatan Manggala Kota Makassar harus segera dialihkan menjauh dari pemukiman warga, sebab bisa menimbulkan berbagai ancaman bagi masyarakat sekitarnya, seperti kebakaran yang terjadi pada 5 September, sekitar pukul 13.30 Wita.
"Dari sisi lokasi, jika sekiranya tempat pembuangan sampah dibuat dalam kota maka seharusnya ada alat yang mengolah sampah secara total," jelas Dosen Fakultas Kesehatan Universitas Hasanuddin (Unhas) itu di Makassar, Selasa
Pengolahan atau pembuangan sampah secara total yang dimaksudkan yakni sampah rumah tangga jika dibuang maka akan berubah pemanfaatannya hingga sampah residu yang dihasilkan sangat minim.
Menurut pengamatan dia, pembuangan sampah masyarakat Kota Makassar tidak total dan hanya dipindahkan dari rumah tangga melalui armada sampah ke TPA Tamangapa tanpa memecahkan masalah, malah menghadirkan masalah baru di tempat itu.
Upaya Pemkot Makassar melalui hadirnya bank sampah di berbagai kelurahan hingga tingkat RT/RW di Kota Makassar tetap mendapat apresiasi namun masih belum maksimal mengatasi sampah penduduk Makassar.
Sebab sampah rumah tangga umumnya hanya dibagi dua jenis yang ketika diangkut armada, tetap dicampur oleh petugas. Diperparah dengan kesadaran masyarakat masih sangat minim melakukan pemilahan.
"Makassar ini wilayahnya kecil, tidak ada tempat pembuangan. Karena itu dalam jangka pendek harus ada pemilahan dan peralihan pembuangan sampah," tandasnya.
Guru besar dengan fokus studi Healthy City itu menyarankan agar segera ada upaya kerjasama pemerintah Kota Makassar dengan beberapa pemerintah kabupaten sekitar, seperti Kabupaten Maros, Gowa atau Takalar. Kerja sama lintas kabupaten ini tentunya butuh campur tangan Pemerintah Provinsi Sulsel untuk menangani permasalahan di wilayahnya.
Kerja sama itu terkait TPA baru yang lokasinya mesti relatif jauh dari pemukiman, bukan di daerah dataran rendah yang mengakibatkan berbagai masalah, seperti bau menyengat dan sarang penyakit.
"Pembuangan sampah di Antang tidak lagi boleh ditawar, harus dikurangi. Pada negara maju, TPA-nya berada di atas bukit yang jauh dari pemukiman jadi tidak mengganggu aktifitas warganya," jelas Prof Sukri.
Makassar "bukan" Kota Sehat
Dosen yang menjalani pendidikan S3 di Griffith University Australia itu menjelaskan, terdapat dua unsur utama Healthy City yakni aspek lingkungan sosial dan lingkungan fisik. Pada pengaplikasiannya, Kota Makassar masih terlampau jauh menerapkan konsep Healthy City sebab Makassar juga belum merancang sistem kota sehat.
"Buktinya TPA yang dibuat sangat dekat dengan masyarakat sehingga memang harus ada kerja keras pemerintah bersama masyarakat. Harus ada mekanisme pengelolaan sampah secara total, seperti bagaimana memisahkan sampah berupa sampah plastik," tandasnya.
Menurut Prof Sukri, pemerintah harus segera melakukan tiga upaya utama, yaitu upaya sistematis, berkelanjutan dan konsisten.
Menjadi kota sehat tidaklah mudah, Australia membutuhkan waktu 18 tahun untuk menjadi Healthy City, tetapi bukan berarti tidak mungkin bisa terealisasi di Kota Anging Mammiri.
Oleh karena itu, pemerintah diminta memaksimalkan peran sebagai Basis Making yang menentukan arah pembangunan lingkungan kesehatan kota, berkenaan segala kebijakan terhadap perlakuan masyarakat kepada limbahnya.
"Ini pula yang sedang kami diskusikan berkaitan dengan sampah di Makassar termasuk kasus kebakaran di Antang," kata Prof Sukri yang saat ini berada di Jepang bersama beberapa mahasiswa pada Program Sakura Science, student exchange, kerja sama FKM Unhas dengan Research Institute for Humanity And Nature, And Ehime University Jepang.
Lebih jauh, putra kelahiran Kabupaten Jeneponto itu mengemukakan, selain dari lingkungan fisik, lingkungan sosial Kota Makassar juga dianggap belum mencerminkan kota sehat karena masih maraknya "Pak Ogah" dan pengamen yang secara sosial mengganggu masyarakat.
"Ini cerminan ketidakmampuan pemerintah apalagi seolah terjadi pembiaran. Inilah beberapa penyakit rutin di Indonesia," ungkapnya.
"Dari sisi lokasi, jika sekiranya tempat pembuangan sampah dibuat dalam kota maka seharusnya ada alat yang mengolah sampah secara total," jelas Dosen Fakultas Kesehatan Universitas Hasanuddin (Unhas) itu di Makassar, Selasa
Pengolahan atau pembuangan sampah secara total yang dimaksudkan yakni sampah rumah tangga jika dibuang maka akan berubah pemanfaatannya hingga sampah residu yang dihasilkan sangat minim.
Menurut pengamatan dia, pembuangan sampah masyarakat Kota Makassar tidak total dan hanya dipindahkan dari rumah tangga melalui armada sampah ke TPA Tamangapa tanpa memecahkan masalah, malah menghadirkan masalah baru di tempat itu.
Upaya Pemkot Makassar melalui hadirnya bank sampah di berbagai kelurahan hingga tingkat RT/RW di Kota Makassar tetap mendapat apresiasi namun masih belum maksimal mengatasi sampah penduduk Makassar.
Sebab sampah rumah tangga umumnya hanya dibagi dua jenis yang ketika diangkut armada, tetap dicampur oleh petugas. Diperparah dengan kesadaran masyarakat masih sangat minim melakukan pemilahan.
"Makassar ini wilayahnya kecil, tidak ada tempat pembuangan. Karena itu dalam jangka pendek harus ada pemilahan dan peralihan pembuangan sampah," tandasnya.
Guru besar dengan fokus studi Healthy City itu menyarankan agar segera ada upaya kerjasama pemerintah Kota Makassar dengan beberapa pemerintah kabupaten sekitar, seperti Kabupaten Maros, Gowa atau Takalar. Kerja sama lintas kabupaten ini tentunya butuh campur tangan Pemerintah Provinsi Sulsel untuk menangani permasalahan di wilayahnya.
Kerja sama itu terkait TPA baru yang lokasinya mesti relatif jauh dari pemukiman, bukan di daerah dataran rendah yang mengakibatkan berbagai masalah, seperti bau menyengat dan sarang penyakit.
"Pembuangan sampah di Antang tidak lagi boleh ditawar, harus dikurangi. Pada negara maju, TPA-nya berada di atas bukit yang jauh dari pemukiman jadi tidak mengganggu aktifitas warganya," jelas Prof Sukri.
Makassar "bukan" Kota Sehat
Dosen yang menjalani pendidikan S3 di Griffith University Australia itu menjelaskan, terdapat dua unsur utama Healthy City yakni aspek lingkungan sosial dan lingkungan fisik. Pada pengaplikasiannya, Kota Makassar masih terlampau jauh menerapkan konsep Healthy City sebab Makassar juga belum merancang sistem kota sehat.
"Buktinya TPA yang dibuat sangat dekat dengan masyarakat sehingga memang harus ada kerja keras pemerintah bersama masyarakat. Harus ada mekanisme pengelolaan sampah secara total, seperti bagaimana memisahkan sampah berupa sampah plastik," tandasnya.
Menurut Prof Sukri, pemerintah harus segera melakukan tiga upaya utama, yaitu upaya sistematis, berkelanjutan dan konsisten.
Menjadi kota sehat tidaklah mudah, Australia membutuhkan waktu 18 tahun untuk menjadi Healthy City, tetapi bukan berarti tidak mungkin bisa terealisasi di Kota Anging Mammiri.
Oleh karena itu, pemerintah diminta memaksimalkan peran sebagai Basis Making yang menentukan arah pembangunan lingkungan kesehatan kota, berkenaan segala kebijakan terhadap perlakuan masyarakat kepada limbahnya.
"Ini pula yang sedang kami diskusikan berkaitan dengan sampah di Makassar termasuk kasus kebakaran di Antang," kata Prof Sukri yang saat ini berada di Jepang bersama beberapa mahasiswa pada Program Sakura Science, student exchange, kerja sama FKM Unhas dengan Research Institute for Humanity And Nature, And Ehime University Jepang.
Lebih jauh, putra kelahiran Kabupaten Jeneponto itu mengemukakan, selain dari lingkungan fisik, lingkungan sosial Kota Makassar juga dianggap belum mencerminkan kota sehat karena masih maraknya "Pak Ogah" dan pengamen yang secara sosial mengganggu masyarakat.
"Ini cerminan ketidakmampuan pemerintah apalagi seolah terjadi pembiaran. Inilah beberapa penyakit rutin di Indonesia," ungkapnya.