Oleh Rahma Saiyed
Wassenar, Belanda (ANTARA News) -" Tanggal 27 Desember dianggap sangat penting diperingati oleh Bangsa Indonesia karena Belanda saat itu menyerahkan kedaulatan Republik Indonesia dan secara legal mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17 Agustus," kata sejarawan Indonesia, Rushdy Hoesein saat ditemui di Wassenar, Belanda, Sabtu.
Kehadiran sejarawan Indonesia ini ke Belanda, untuk mendampingi wartawan senior, Rosihan Anwar dalam napak tilas Konferensi Meja Bundar (KMB), terkait prosesi pembahasan penyerahan kedaulatan bangsa Indonesia oleh Pemerintah Belanda.
Kemerdekaan bangsa Indonesia yang diperingati setiap 17 Agustus, masih dipermasalahkan oleh Belanda karena menurut mereka, secara legalitas, Belanda baru menyerahkan kedaulatan Pemerintah Indonesia pada 27 Desember 1949 sehingga praktis, kemerdekaan Indonesia dianggapnya jatuh pada 27 Desember.
Menurut Rushdy, Belanda menganggap bahwa ada ketidakbenaran sejarah. Namun berdasarkan observasi dokumen yang dilakukan sejarawan ini, pada 9 Maret 1942, Belanda telah 'angkat kaki' dari Indonesia. Ini berarti bahwa Belanda sudah tidak memiliki hak lagi untuk menjajah Indonesia.
Namun hal ini diingkari Belanda dengan alasan tidak ada dokumen-dokumen yang mendukung terkait hengkangnya Belanda dari Indonesia. Kemudian pada 17 Agustus 1945, bersama Soekarno dan Hatta, Indonesia menyatakan kemerdekaannya di hadapan seluruh bangsa Indonesia.
Namun disayangkan karena posisi bangsa Indonesia terkait pernyataan kemerdekaannya itu, kurang mendapat dukungan dari Internasional sehingga hanya dianggap sebatas 'self determination' ( pernyataan sendiri), tanpa memiliki kekuatan hukum tetap. Belanda pun kembali menginjakkan kakinya di bumi pertiwi dengan melakukan sejumlah agresi.
Setelah melihat perjuangan rakyat Indonesia yang memenangkan pertempuran dengan Belanda pada sejumlah daerah, posisi Indonesia di mata Internasional mendapat perhatian dari Dewan Keamanan PBB, dan berdasarkan resolusi Dewan Keamanan PBB pada 28 Januari dan 23 Maret 1949, Belanda diperintahkan untuk mundur dari Yogyakarta (saat itu, merupakan ibukota sementara Pemerintah Indonesia).
Sebulan kemudian, Indonesia melakukan lobby politik dengan Belanda yang kemudian dikenal dengan Konferensi Meja Bundar. Dalam napak tilas Konferensi Meja Bundar ini, wartawan senior, Rosihan Anwar menuturkan bahwa dirinya diundang oleh Kerajaan Belanda setelah membuat berita terkait kesediaan Jenderal Soedirman untuk menghentikan perang gerilyanya.
"Saya tidak diajak. Orang-orang Sjahrir meninggalkan saya," tutur Rosihan dalam sebuah bincang-bincang bersama Dubes RI untuk Kerajaan Belanda, Fanny Habibie saat melepas lelah di Wisma Duta, Wassenar, Belanda.
Sjahrir merupakan Perdana Menteri Indonesia yang kala itu, ikut mengambil andil dalam perundingan KMB di Den Haag pada 23 Agustus - 3 November 1949.
Rosihan mengaku tidak diajak oleh Pemerintah Indonesia karena dinilai lebih berpihak kepada Jenderal Soedirman yang memilih untuk tetap melanjutkan perang gerilya daripada berunding dengan Belanda.
Selama meliput perjalanan KMB ini, Rosihan tidak banyak membahas dan menulis soal peristiwa ini.
"Tidak," jawab Rosihan Anwar ketika ditanya oleh sekretaris pribadi Fanny Habibie, terkait kisah napak tilas 'Konferensi Meja Bundar' Rosihan Anwar. Menurut dia, hal terpenting yang perlu dipikirkan bangsa Indonesia saat ini adalah bagaimana membangun dan memikirkan masa depan bangsa Indonesia.
"kita tidak usah terpengaruh dan mempermasalahkan kemerdekaan bangsa Indonesia seperti yang dipermasalahkan Belanda. Itu urusan Belanda," jelas Rosihan sembari menegaskan bahwa kini Indonesia telah merdeka.
Selama meliput peristiwa KMB ini, Rosihan hanya fokus pada tiga aspek yakni politik, ekonomi dan kemiliteran. Dalam bidang politik, Belanda masih enggan untuk menyerahkan Irian Barat Ke Indonesia. Sementara di bidang ekonomi, Indonesia dibebankan untuk membayar utang Hindia-Belanda sebesar empat miliar golden. Di bidang kemiliteran, Indonesia berhasil menjadikan TNI sebagai pusat kemiliteran bangsa Indonesia, bukan KNIL di mana Belanda menginginkan agar KNIL dijadikan pusat organisasi Tentara Indonesia.
Menurut Rosihan, pada tanggal 27 Desember 1949 pasca perundingan tersebut, inilah yang menjadi momen sejarah bagi Indonesia di mana peristiwa ini merupakan puncak penyerahan kedaulatan RI dari Kerajaan Belanda.
Hal ini juga, kembali ditegaskan Rushdy bahwa secara de facto kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945 itu, baru diakui oleh Belanda pada 27 Desember 1949.
Rencananya, hari ini, Rosihan Anwar akan menuturkan kisah perjalanannya dalam peliputan momen bersejarah ini di Radio Netherlands, didampingi sejarawan Indonesia, Rushdy Hoesein. Selain Rosihan, ada beberapa wartawan asing lainnya yang menjadi saksi sejarah ini,yakni dari Belanda namun yang bersangkutan berhalangan hadir karena terkena stroke.
(T.K-RS/J006)