Jakarta (ANTARA) - Tak begitu bergemuruh di dunia Arab dan Muslim, tapi gempita di Barat dan Israel, prakarsa normalisasi hubungan diplomatik Arab Saudi-Israel, terlihat lebih diinginkan Israel ketimbang Arab Saudi.
Dalam beberapa hari belakangan, penguasa de facto Saudi, Pangeran Mohammed bin Salman yang akrab disapa MbS, dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, berbalas pesan rekonsiliatif.
Pada 20 September lalu, dalam wawancara dengan stasiun televisi Fox di Amerika Serikat, MbS mengungkapkan bahwa Saudi dan Israel kian dekat mencapai kesepakatan.
"Setiap hari kami semakin mendekat. Sepertinya untuk pertama kalinya kesepakatan itu benar-benar serius," kata MbS.
Penerus tahta Raja Salman itu yakin sebuah pakta yang disebutnya kesepakatan bersejarah terbesar sejak Perang Dingin, bakal segera diwujudkan.
Dua hari kemudian, saat Sidang Majelis Umum PBB di New York, Netanyahu menguatkan pernyataan MbS bahwa Saudi, Israel, dan AS "sudah berada di titik puncak" untuk mencapai kesepakatan.
Netanyahu bahan menaksir akan ada kesepakatan yang disebutnya sebagai "lompatan kuantum".
Sampai pada titik itu, kebanyakan negara-negara Arab dan Muslim, tak begitu bergembira dengan kabar tersebut.
Mungkin karena menganggap hal itu mustahil terjadi atau karena terlalu berat untuk membayangkan bagaimana mungkin negara yang menjadi garda terdepan dunia Islam mesti berbaikan dengan negara yang selama ini dianggap menyengsarakan Palestina.
Namun, jika melihat dari seringnya MbS berbicara tentang prospek membuka hubungan dengan Israel, maka rekonsiliasi Saudi-Israel bukan lagi soal retorika.
MbS, bahkan disebut sejumlah media global setidaknya sudah satu kali menggelar pertemuan rahasia dengan Netanyahu.
Israel sendiri memandang Saudi sebagai kunci untuk perdamaian menyeluruh dengan dunia Arab dan Muslim.
Walaupun Israel memiliki hubungan diplomatik dengan Mesir dan Turki yang berpengaruh di dunia Islam, selain dengan Yordania yang berstatus "pelindung tempat-tempat suci umat Islam, termasuk Masjidil Aqsa", Israel menaruh bobot lebih besar kepada Saudi.
Bobot Saudi itu juga pastinya jauh lebih berat ketimbang Uni Emirat Arab, Sudan, Maroko, dan Bahrain yang membuka hubungan diplomatik dengan Israel duta tahun silam dalam kerangka Abraham Accord.
Pintu gerbang perdamaian
Hubungan diplomatik dengan Saudi adalah pintu gerbang Israel untuk hubungan baik serupa dengan negara-negara yang selama ini tak mengakui eksistensinya, sehingga otomatis dapat melepaskan isolasi global kepada negara ini yang terjadi sejak Israel berdiri pada 1948.
Netanyahu yang menghadapi tentangan hebat di dalam negeri akibat kebijakan-kebijakan kontroversialnya, termasuk amandemen yang mengamputasi sistem peradilan Israel, bakal mendapatkan insentif politik besar jika sukses mewujudkan perdamaian dengan Saudi.
Setali tiga uang, Presiden Joe Biden di Amerika Serikat bakal memiliki bekal politik amat berharga yang bisa menaikkan popularitasnya di dalam negeri jika berhasil mendamaikan Saudi dan Israel.
Itu akan menjadi jualan politik besar pada Pemilu 2024 yang kemungkinan berhadapan lagi dengan Donald Trump yang membuat catatan mengesankan di Timur Tengah, karena mendorong empat negara Arab membuka hubungan diplomatik dengan Israel.
MbS sendiri cerdik membaca situasi. Dia tahu, Israel dan Amerika Serikat lebih membutuhkan Saudi berdamai dengan Israel, ketimbang keinginan Saudi berdamai dengan Israel.
MbS mungkin tahu gagasan itu tidak populer di negerinya sendiri. Jajak pendapat Arab Youth Survey belum lama ini menunjukkan, hanya 2 persen kaum muda Saudi yang mendukung normalisasi hubungan dengan Israel. Angka itu jauh lebih rendah dibandingkan dengan Uni Emirat Arab dan Mesir di mana masing-masing 75 dan 73 persen kaum mudanya mendukung hubungan diplomatik dengan Israel.
Namun, MbS yang berada dalam rezim berkekuasaan mutlak, dapat mengabaikan ketidaksetujuan publik dengan mengajukan syarat-syarat normalisasi yang menguntungkan Saudi, atau paling tidak melukiskan posisi tawar lebih tinggi yang dimiliki Saudi.
Di antara syarat-syarat itu adalah pakta militer yang lebih kuat dengan AS, sehingga Saudi mendapatkan jaminan perlindungan keamanan penuh jika diserang dari luar, terutama Iran yang di ambang memiliki senjata nuklir, walau Saudi dan Iran sudah menormalisasi hubungan.
Saudi juga menginginkan AS membantunya mengembangkan program nuklir sipil. Di sini, Saudi tak meminta AS membantu insinyur-insinyur mereka membangunkan reaktor nuklir, melainkan dalam format di mana Saudi hanya menyediakan lahan, sedangkan operatornya adalah AS, sehingga agak mirip dengan perusahaan minyak raksasa Saudi, Aramco, yang awalnya dikelola oleh AS.
Iran-lah, dan bukannya Israel, yang mendorong MbS berusaha membawa Saudi menguasai kapabilitas nuklir. "Jika mereka menguasai nuklir, kami pun harus menguasainya, kendati untuk saat ini kami tak melihatnya demikian," kata MbS, dalam wawancara dengan Fox itu.
Soal akses Saudi ke energi nuklir ini menjadi dilema bagi AS. Mereka masih sulit membayangkan sebuah negara Islam yang bisa membahayakan posisi Israel, menguasai nuklir.
Namun, jika bercermin dari Pakistan yang juga negara Muslim, kepemilikan nuklir tak membuat Pakistan bertindak gegabah. Sebaliknya, Pakistan tetap dapat dikendalikan AS.
Oleh karena itu, tak ada alasan untuk tak mengabulkan permintaan nuklir dari Saudi, apalagi yang diinginkan Saudi hanyalah program nuklir damai.
Kecuali seberani MbS
Jika AS sulit mengabulkan syarat itu, maka mereka harus rela melihat Saudi yang merupakan sekutu terpercaya di Timur Tengah, berpaling ke China atau Rusia, yang sudah mengutarakan kesiapan membantu Saudi mengembangkan nuklir.
Syarat lain yang diajukan Saudi adalah menyangkut nasib Palestina. Bukan kali ini saja Saudi mengeluarkan syarat ini, karena negara ini pula yang turut andil dalam Prakarsa Perdamaian Arab pada 2002.
Prakarsa 2002 menyatakan prakondisi bagi Arab bahwa hubungan baik dengan Israel hanya terjadi jika Israel mengembalikan wilayah-wilayah Arab yang didudukinya pada Perang 1967. Bukan itu saja, Saudi juga mengharuskan adanya Negara Palestina.
"Bagi kami, masalah Palestina itu sangat penting. Kita (Saudi, Israel, dan AS) mesti mengatasi bagian itu," kata MbS.
Tapi persoalan Palestina bisa menjadi bagian yang paling sulit dijual, baik oleh Netanyahu maupun Biden, di dalam negeri masing-masing.
Netanyahu pasti ditentang oleh mitra-mitra koalisi kanannya, sebaliknya Biden ditentang kubu Republik yang tak mau membayangkan negara selain Israel di Timur Tengah, menguasai nuklir.
MbS sendiri terlihat cerdik karena melancarkan ofensif diplomatik ketika Israel sedang dikuasai kaum kanan.
Jika saja rezim yang berkuasa di Israel saat ini kelompok kiri atau moderat, proposal Saudi mungkin diterima bulat oleh rezim Israel. Namun, itu pasti akan menimbulkan gejolak dan dilawan habis-habisan oleh kelompok kanan, kalau perlu dengan kekerasan.
Pembunuhan PM Yitzak Rabin pada 4 November 1995 adalah contohnya. Rabin dibunuh oleh ekstremis Yahudi setelah membuat kesepakatan damai dengan Palestina (PLO) yang di antaranya mencantumkan "hak rakyat Palestina dalam menentukan nasib sendiri."
Oleh karena itu, normalisasi hubungan Saudi-Israel lebih menghadirkan tantangan pelik dan besar untuk Israel dan AS, ketimbang pada pihak Saudi.
Menteri Luar Negeri Israel Eli Cohen memang menyatakan draf kesepakatan normalisasi hubungan Saudi-Israel mungkin sudah tersedia awal 2024, tapi itu tampaknya tak akan menghilangkan potensi krisis di Israel.
Itu pula yang membuat sebagian kalangan skeptis normalisasi hubungan Saudi-Israel bisa terwujud, kecuali AS dan Israel seberani MbS dalam menawarkan terobosan untuk mewujudkan normalisasi hubungan yang dapat mengubah total lanskap geopolitik global itu.
Masalahnya, apakah AS dan Israel siap mengambil langkah seberani dan sejauh dilakukan MbS? Inilah pertanyaan dan aspek yang mungkin paling menentukan dalam mewujudkan normalisasi hubungan Saudi-Israel.