Makassar, (Antara Sulsel) - Presiden Direktur PT Vale Indonesia Tbk (PT Vale), Nico Kanter mengharapkan agar pemerintah konsisten dengan kebijakan melarang ekspor bijih atau mineral mentah khususnya bijih nikel.
"Kalau dilihat dalam konsteks yang lebih luas, pembangunan smelter nikel di Indonesia saat ini didorong oleh kebijakan larangan ekspor bijih nikel dan permintaan dari pasar Cina," katanya di Makassar, Selasa.
Di berbagai media belakangan ini muncul wacana relaksasi kebijakan larangan ekspor bijih. Pertimbangan yang mendasari wacana tersebut adalah untuk mengatasi kesulitan pembiayaan pembangunan fasilitas pengolahandanpemurnian (smelter).
"Walaupun harga nikel saat ini rendah karena lemahnya permintaan dari pasar Cina, namun pembangunan smelter nikel di Indonesia terus menunjukkan peningkatan sejak diberlakukan larangan ekspor bijih tersebut," katanya.
Hal ini tentunya menciptakan peningkatan lapangan kerja dan pendapatan bagi Indonesia.
Sementara itu di luar Indonesia telah terjadi banyak penutupan tambang nikel dengan skala kecil. Oleh karena itu, kebijakan larangan ekspor bijih nikel dapat meciptakan posisi Indonesia yang kuat dalam pasar nikel global secara jangka panjang.
Nico Kanter menambahkan, pembangunan smelter nikel membutuhkan dana yang besar dan proses perencanaan yang panjang dan rinci.
"Untukitu, investor membutuhkan kepastian hukum dalam bentuk konsistensi kebijakan larangan ekspor bijih nikel dari pemerintah," katanya.
Apabila ada relaksasi, maka investasi yang telah maupun yang akan masuk akan hilang. Hal ini dapat merusak kepercayaan investor dan bijih nikel dengan kadar tinggi akan kembali diekspor dengan nilai rendah.
"Mengekspor biji nikel tanpa nilai tambah, apalagi dalam pasar yang masih mengalami kelebihan pasokan,adalah tindakan yang tidak tepat," ujar Nico Kanter.
Selain itu, Nico Kanter mengingatkan, semakin banyak bijih nikel diekspor dari Indonesia, harga nikel dunia semakin menurun, sehingga pendapatan yang diperoleh dari ekspor bijih akan terdilusi oleh harga nikel yang rendah.
Pendapatan dari ekspor bijih yang rendah nilainya tidak akan cukup untuk membiayai kebutuhan modal yang besar untuk proyek smelter.
Oleh karena itu, ujar dia, relaksasi terhadap larangan ekspor bijih nikel, yang dimaksudkan untuk membantu pembangunan smelter yang berkesulitan dana, justru memiliki dampak yang bertentangan dengan semangat peningkatan nilai tambah dalam negeri.
"Konsistensi dalam kebijakan adalah hal yang terpenting bagi investasi jangka panjang. Lebih jauh lagi, secara keseluruhan relaksasi ini dapat berdampak terhadap reputasi dan kredibilitas Pemerintah walaupun hanya diterapkan secara khusus dan terbatas.Semoga pemerintah dapat mempertimbangkan hal ini dengan baik, untuk meraih manfaat yang optimal dari pengelolaan sumberdaya mineral," ujar Nico Kanter.
Berita Terkait
Ekspor Sulsel Maret 2024 capai Rp190 juta dolar AS, meningkat 40 persen
Kamis, 2 Mei 2024 20:43 Wib
GPEI Sulsel butuh dukungan pemerintah pacu kinerja ekspor
Selasa, 30 April 2024 10:14 Wib
DJBC: Neraca perdagangan Sulsel surplus 103 juta dolar AS
Senin, 29 April 2024 18:15 Wib
Unhas memperoleh kontrak ekspor senilai Rp8,4 miliar di Expo Mesir
Kamis, 25 April 2024 14:02 Wib
Kemendag mendorong produk pertanian Indonesia masuk pasar Australia
Sabtu, 20 April 2024 11:39 Wib
Pemerintah segera atur masa transisi perubahan Permendag barang kiriman PMI
Rabu, 17 April 2024 4:30 Wib
Kemendag sosialisasikan peluang kemitraan untuk tingkatkan ekspor Sulsel
Rabu, 3 April 2024 6:10 Wib
BPS sebut ekspor Sulsel Februari 2024 capai 135 juta dolar AS
Selasa, 2 April 2024 15:10 Wib