Kuala Lumpur (ANTARA) - Setelah 12 tahun meninggalkan desanya dan bekerja di Kelantan, Malaysia, Derfi Bisilisin (37) akhirnya bisa kembali ke Indonesia. Perempuan asal Desa Bakuin di Nusa Tenggara Timur (NTT) itu sudah tidak sabar bertemu keluarganya, terutama ibu dan bapaknya.
Selama sembilan tahun lebih ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga merangkap montir yang bertugas memasang aksesoris kendaraan di bengkel keluarga majikannya, Koe Bon Aik, di Kota Bahru, Kelantan, Malaysia, hingga kini masih berjuang melalui pengadilan untuk bisa mendapatkan gajinya.
Derfi sudah sempat bersaksi di depan majelis hakim pada September 2023 untuk gugatan pada majikan. Dan tepat lima hari sebelum Natal 2023, permohonannya untuk bisa pulang ke kampung halaman di Desa Bakuin dikabulkan.
Ia mengaku sudah tidak hafal jalan menuju kampungnya. Sudah terlalu lama dirinya meninggalkan tempat kelahirannya itu.
Desa Bakuin yang berada di Kecamatan Amfoang Utara, Kabupaten Kupang, berbatasan langsung dengan Laut Sawu di sisi utara. Jika di sisi selatan berbatasan dengan Kecamatan Amfoang Tengah, maka di sisi timur, berbatasan dengan Desa Nunuanah yang masih masuk kecamatan yang sama.
Dari Nunuanah, jarak ke wilayah enklave dengan Timor Leste sudah dekat. Hanya beberapa kilometer saja dari perbatasan dua negara, dan bisa ditempuh dalam waktu singkat dengan kendaraan seandainya, karena seluruh jalan di daerah itu dalam kondisi lebih baik.
Sementara di sisi barat ada Sungai Sitoto yang lebarnya bisa mencapai puluhan hingga seratusan meter. Sangat berbahaya diseberangi saat musim hujan karena sering kali air tiba-tiba naik, dan menyapu apa saja yang ada di tengahnya.
Dengan mempertimbangkan faktor keselamatan, ANTARA bersama Suster Laurentina SDP yang merupakan Koordinator Antiperdagangan Manusia dari Kongregasi Suster Penyelenggaraan Ilahi (PI), dan juga Operator Krisis Center Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) NTT Januarius Katadon yang mengantarkan Derfi ke rumahnya di Desa Bakuin memutuskan untuk mengambil jalur sedikit berputar.
Rombongan mengambil jalur tengah dari Kota Kupang ke Kabupaten Kupang, hingga ke Kota Soe, Kabupaten Timor Tengah Selatan, berlanjut melewati Kecamatan Mutis di Kabupaten Timor Tengah Utara, sebelum akhirnya kembali masuk ke wilayah Kabupaten Kupang menuju Amfoang Utara, di mana Desa Bakuin berada.
Perjalanan lintas kabupaten
Sabtu (23/12/2023), sekitar pukul 14.00 WITA, tiga kendaraan beriringan meninggalkan Yayasan Penyelenggaraan Ilahi di Kota Kupang mengarah ke Kota Soe. Hujan deras mengguyur saat tim melewati Jalan Nasional Trans-Timor di Kecamatan Takari yang berada di Kabupaten Kupang.
Sisa-sisa material longsor pada Februari 2023 masih dapat terlihat di sisi kanan jalan. Sementara di sisi kiri tampak debit air di aliran Sungai Bokong meninggi dan begitu deras.
Hampir sepanjang perjalanan Derfi tertidur dan memang berusaha untuk tidur. Entah kapan terakhir kali dirinya melakukan perjalanan darat yang panjang, namun yang jelas perjalanan kali itu membuatnya mabuk darat.
Hanya sesekali ia terbangun dan berbincang dengan ANTARA, sebelum akhirnya memejamkan mata lagi saat kembali merasa pusing.
Perjalanan terpaksa terhenti lebih dari 30 menit karena pohon berukuran cukup besar tumbang menutupi jalan setelah hujan reda di Kelurahan Biloto, Kabupaten Timur Tengah Selatan. Antrean panjang kendaraan segera "mengular" di jalan trans yang menghubungkan antar-kabupaten di NTT, sore itu.
Derfi pun tetap di dalam mobil, tidur, saat semua penumpang dari tiga mobil rombongan yang mengantar dia pulang ke kampung halaman turun dan berbincang sambil menunggu akses jalan kembali terbuka.
Lebih dari pukul 17.00, ANTARA bersama BP3MI dan Suster Laurentina baru dapat melanjutkan perjalanan menuju Kota Soe. Rombongan berhenti sejenak di satu titik di Kelurahan Biloto untuk sekadar meregangkan otot dan menikmati semburat senja dari matahari terbenam yang tampak begitu memikat mata, setelah hujan reda di sore itu.
Rombongan kembali melanjutkan perjalanan setelah Suster Laurentina memberi aba-aba, karena khawatir akan semakin terlambat tiba di Desa Netemnanu Selatan, Amfoang Timur, tempat yang rencananya menjadi lokasi rombongan bermalam.
Suster Laurentina yang juga dikenal dengan sebutan suster kargo itu memang lebih akrab dengan wilayah itu, meski bukan berasal dari NTT. Pengabdiannya membantu pekerja-pekerja migran di sana, memerangi tindak pidana perdagangan orang (TPPO), membuatnya memahami wilayah itu.
Suster Laurentina mengatakan lebih sering mengantar jenazah pekerja migran pulang ke rumah keluarganya dengan ambulans yayasan, dan biasanya beriringan dengan BP3MI. Karenanya, mengantarkan pekerja migran bermasalah pulang dalam keadaan bernyawa menjadi kesempatan yang cukup istimewa baginya.
Rombongan menyempatkan berhenti di Kota Soe untuk makan malam dan mengisi bahan bakar, sebelum melanjutkan perjalanan menuju ke Kabupaten Timor Tengah Utara menyusuri perbatasan dengan Timor Leste. Perjalanan masih cukup jauh.
Berteman bintang
Sudah lewat pukul 19.00, saat rombongan melanjutkan perjalanan dari Kota Soe menuju ke Netemnanu Selatan di Amfoang Timur. Suster memperkirakan perjalanan masih akan memakan waktu empat hingga lima jam lagi untuk tiba di Stasi St Petrus Tataum.
Beriringan mobil ambulans yang ditumpangi Suster Laurentina, disusul MPV yang ditumpangi BP3MI, lalu ANTARA, menembus malam mengarah ke Kabupaten Timor Tengah Utara mendekati perbatasan Indonesia dan Timor Leste.
Waktu sudah menunjukkan pukul 21.00 WITA saat rombongan berhenti sejenak di Polsek Mionaffo Barat, yang ada di Kelurahan Eban, Kabupaten Timor Tengah Utara. Sinyal di telepon pintar yang sempat tertinggal saat meninggalkan Soe sudah terhubung lagi, berkat tower provider telekomunikasi yang berdiri kokoh tidak jauh dari kantor polisi.
Hawa cukup sejuk malam itu di Eban, bahkan airpun terasa begitu dingin, cukup membuat yang sedari tadi menahan kantuk kembali terjaga.
Perjalanan berlanjut menyusuri jalanan di Desa Tasinifu di Kecamatan Mutis yang di banyak bagian belum sepenuhnya rampung pengerjaannya, terutama di bagian sambungan-sambungan drainase. Proyek jalan negara yang melintasi jalur perbatasan Indonesia dan Timor Leste bernama Sabuk Merah itu nantinya akan menghubungkan sejumlah titik di wilayah Kabupaten Kupang dan Timor Tengah Utara, sepanjang 147,4 kilometer (km).
Belum ada lampu penerangan di daerah itu, sehingga perjalanan sepenuhnya berselimut pekat antara satu titik desa dengan desa lainnya. Pada posisi itu, saat polusi cahaya sangat minim dan cuaca begitu cerah, puluhan bintang dapat dengan mudah tertangkap indera penglihatan.
Saat mulai memasuki wilayah Desa Netemnanu di Amfoang Timur, waktu di telepon pintar sudah menunjukkan pukul 23.30. Rombongan berhenti sejenak untuk sekadar merenggangkan otot-otot yang mulai kebas dan mengirup udara segar, sambil memanjakan mata dengan pemandangan langit malam bertabur bintang.
Jalanan nyaris kosong. Derfi juga ikut turun, sekadar menikmati pemandangan malam bertabur bintang di angkasa, ditambah dengan udara segar di luar mobil.
Sekitar satu jam berikutnya akhirnya rombongan sampai di Stasi St Petrus Tataum di Netemnanu. Rombongan kami diterima oleh Romo RD Conterius Lecon Pr serta sejumlah warga desa. Romo menjamu rombongan sambil berbincang dan menanyakan beberapa hal langsung kepada Derfi.
Semua yang ada di sana bersyukur Derfi bisa pulang dengan selamat dan dalam keadaan sehat. Itu karena selama ini mereka lebih banyak menerima berita sedih dari pekerja-pekerja migran dari NTT yang pulang tak bernyawa.
Tak terasa sudah lewat pukul 02.00 dini hari, mata semakin terasa berat, akhirnya semua undur diri untuk beristirahat. Perjalanan mengantar Derfi pulang ke rumahnya dilanjutkan pagi berikutnya.
Akhirnya sampai
Minggu (24/12/2023) pagi, sekitar pukul 10.00 rombongan melanjutkan perjalanan ke Desa Bakuin. Pagi itu begitu cerah, sehingga langit tampak biru.
Senyum Derfi semakin lebar. Hari itu ia lebih banyak bercerita tentang hal-hal ringan yang diingatnya sebelum meninggalkan kampung halaman.
Meski, menurut Suster Laurentina dan warga Desa Netemnanu, Desa Bakuin sudah cukup dekat, namun setidaknya butuh perjalanan selama dua jam untuk menjangkaunya.
Rombongan tiga kendaraan secara beriringan menyusuri Kifu, wilayah pesisir di Amfoang Timur dengan air laut berwarna biru dan sejumlah batu karang berukuran besar. Hingga akhirnya sampai juga di Sungai Noelfael yang berarus lumayan deras, namun siang itu tidak terlalu tinggi debitnya.
Sungai Noelfael mengalirkan air ke Tanjung Fonit, sebelum menyatu di Teluk Kupang dan menuju ke Laut Sawu.
Bergantian satu per satu mobil melintasi sungai yang tidak ada jembatan itu dan melanjutkan perjalanan melewati beberapa desa. Masih ada pula beberapa anak sungai tanpa jembatan harus dilewati, sebelum akhirnya tiba di Bakuin.
Derfi semakin banyak bercerita saat melihat lokasi-lokasi yang mulai dikenal, salah satunya SMP Negeri 2 Amfoang Utara yang tentu saja siang itu tampak kosong tanpa aktivitas mengingat libur akhir pekan dan sudah mendekati Hari Natal.
Ia mengatakan saat musim hujan biasanya anak sungai terdekat ke SMP itu sering banjir. Kalau sudah begitu Derfi mengaku lebih sering balik badan dan tidak mengikuti pelajaran, karena sulit untuk bisa sampai ke sekolahnya.
Ia juga bercerita soal pohon jambu di dekat SMP yang sering dipanjat bersama beberapa temannya. Pohon itu sudah tidak terlihat saat dilewati.
Tidak lama iring-iringan kendaraan yang membawa Derfi melewati SD Negeri Poanbaun dan Kantor Desa Bakuin, sebelum akhirnya berbelok menuju rumahnya. Belum ada jalan aspal, sebagian besar jalan berbatu, sehingga mobil harus jalan perlahan.
Sampai akhirnya Derfi berteriak,”Ini, ini rumah saya. Iya betul yang ini”. Sambil menunjuk rumah berdinding batako dan kayu beratapkan seng, dengan halaman cukup luas berpagar kayu yang dipalang seadanya.
Segera Derfi turun dari mobil dan melangkah melewati pagar kayu di halaman rumahnya bersama Suster Laurentina dengan senyum lebar. Tidak lama mama Anika Takaeb, ibu Derfi, keluar dari dalam rumah sambil menangis dan segera memeluk anaknya itu dengan erat.
Penantian panjang itu terbayar. Derfi Bisilisin yang sempat disangka sudah mati oleh sang mama, akhirnya pulang.
Mama, beberapa adiknya serta saudaranya, paman dan bibi, ikut menyambut dengan hangat. Derfi memeluk dan menyalami mereka satu per satu sambil berlinang air mata.
Rindu Derfi pada mama terbayar saat itu juga, namun sayang rindu pada ayahnya belum terbayar. Ayah Derfi, Lefinus Oematan yang sudah lanjut usia sulit untuk berjalan, karenanya tidak dapat menyambut putrinya yang telah lama merantau.
Lefinus kini lebih banyak tinggal di rumahnya di desa lama Bakuin yang berlokasi di atas bukit yang cukup terjal. Derfi akan pergi keesokan harinya untuk menjumpai ayahnya, tepat saat Hari Natal.