Makassar (ANTARA) - Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan mewacanakan penerapan sistem deferred prosecution agreement (DPA) atau kesepakatan antara jaksa dan suatu entitas korporasi untuk menangguhkan proses penuntutan perkara pidana guna penyelamatan aset serta pemulihan kerugian negara.
"DPA adalah wewenang jaksa untuk menunda penuntutan terhadap suatu kasus pidana jika syarat dan kriteria tertentu terpenuhi," ujar Kejati Sulsel Agus Salim saat kegiatan Seminar Ilmiah rangkaian memperingati HUT Kejaksaan RI ke-80 di Baruga Adhyaksa Kantor Kejati Sulsel, Makassar, Selasa.
Ia menekankan perlunya pembaruan kebijakan hukum pidana dengan mengadopsi pendekatan 'follow the asset' dan "follow the money' melalui mekanisme DPA sesuai dengan tema seminar ilmiah tersebut dalam penanganan perkara pidana.
"Konsep ini bukanlah hal baru karena sudah diterapkan di negara-negara lain dengan sistem hukum 'common law' sebagai upaya memulihkan kerugian negara akibat kejahatan korporasi," ungkap Agus.
Seminar bertema 'Deferred Prosecution Agreement' (DPA): Nawasena Penegakan Hukum Pidana Nasional. Agus menjelaskan, Nawasena berasal dari bahasa Sanskerta berarti 'masa depan cerah' mencerminkan harapan dan komitmen menyongsong masa depan penegakan hukum pidana di Indonesia.
Kajati menambahkan mekanisme ini diharapkan mampu mewujudkan efisiensi dan efektivitas dalam penegakan hukum yang berorientasi pada hasil. Penegakan hukum, menurutnya tidak boleh hanya berakhir pada penghukuman, tetapi juga pada pemulihan.
"DPA didasarkan pada asas proporsionalitas, yang menuntut keseimbangan antara penghukuman, keadilan, pemulihan, serta kepentingan negara, pelaku, korban, dan masyarakat," paparnya.
Pengaturan DPA, kata dia, bukan hanya sekadar aturan tertulis, melainkan momen penting dalam sejarah reformasi peradilan pidana di Indonesia yang bertujuan untuk menguatkan hukum, bukan melemahkannya.
Seminar Ilmiah tersebut menghadirkan narasumber Ketua Pengadilan Tinggi Makassar H Zainuddin, Guru Besar Hukum Pidana Unhas Prof Syukri Akub serta Ketua Pusat Kajian Kejaksaan Fakultas Hukum Unhas Fajlurrahman Jurdi sebagai moderator.
"Tujuan utama DPA adalah mempercepat pemulihan keuangan negara, terutama dalam kasus kejahatan korporasi seperti tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan suap. Pendekatan ini didasari asas oportunitas dimiliki Kejaksaan, yaitu hak untuk tidak melakukan penuntutan jika tidak sesuai dengan kepentingan umum," tutur Zainuddin.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Hasanuddin, Prof Syukri Akub pada kesempatan itu mengusulkan DPA sebagai solusi untuk mengisi kekosongan hukum acara pidana di Indonesia, di mana tidak ada aturan hukum yang mengatur penangguhan penuntutan.
"Prinsip dominus litis, yang menempatkan jaksa sebagai pemilik perkara dan memberinya hak untuk menuntut atau tidak menuntut, menjadi dasar dalam penegakan hukum di Indonesia, serupa dengan negara-negara seperti Belanda, Jerman, dan Prancis.
"DPA, dalam konteks ini, berfungsi sebagai instrumen hukum acara untuk menangguhkan penuntutan dengan syarat-syarat tertentu,” kata Prof Syukri menambahkan.

