Makassar (Antaranews Sulsel) - Lembaga Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menilai kegiatan penambangan pasir laut untuk keperluan Reklamasi Central Poin of Indonesia (CPI) menimbulkan terjadinya abrasi yang merugikan daerah pesisir Pantai Galesong, Kabupaten Takalar, Sulsel.
"Berdasarkan pemantauan tim sejak penambangan pasir laut di pesisir pantai Galesong sejumlah desa menunjukkan tingkat abrasi mulai tinggi bahkan ada mencapai 15 meter ke darat dan mengancam pemukiman nelayan," sebut Direktur Walhi Sulsel Asmar Ekswar di Makassar, Selasa.
Hasil dari pemantauan wilayah pesisir pada Februari 2018) di Kecamatan Galesong Selatan berdampak di Desa Popo, Desa Bonto Marannu, Desa Mangindara, Desa Salajangki (Kabupaten Gowa) dan Dusun Pamandongang.
Untuk Kecamatan Galesong berdampak di Desa Palalakkang, Desa Galesong, Desa Galesong Baru. Kecamatan Galesong Utara di Desa Tamasaju, Desa Tamalate, Desa Sampulungan, dan Desa Batu-Batu.
Dari beberapa temuan Walhi Sulsel, Desa yang paling terkena dampak abrasi yakni Desa Tamasaju dan Sampulungan. Desa Palakkang dan Galesong baru serta desa Popo dan Bontomarannu, desa Manghindarang serta Kaluku Bodo.
Padahal, lanjut dia, sebelum adanya aktivitas penambangan pasir di wilayah laut Galesong dilakukan, tingkat abrasi tidak separah sekarang bahkan sudah mencapai 15 meter di permukaan pantai hingga merusak sejumlah rumah disekitarnya.
Tidak sampai disitu, dampak lain ditimbulkan adalah kekeruhan air laut sangat tinggi di wilayah tangkapan nelayan. Terutama di perairan desa Tamasaju, Desa Popo, Desa Bontomarannu, Desa Mangindara dan Palalakkang.
Selain itu, berdasarkan hasil observasi dan wawancara nelayan kesulitan menemukan ikan, biasanya banyak terdapat di sekitar desa tidak jauh dari pantai. Cumi-cumi dan gurita sebagai salah satu biota yang banyak terdapat di perairan Takalar kini telah berkurang.
Sementara di wilayah Pulau Tanakeke Takalar juga terdampak. Dari lima desa yang berada di Kepulauan Tanakeke sebagian besar penduduknya menggantungkan hidup sebagai nelayan.
Desa Tompo Tanah dan Desa Riwataya sekitar 90 persen warga berprofesi nelayan, Desa Maccini Baji dan Desa Balangdatu berprofesi Nelayan, petambak dan petani. Sedangkan di Desa Mattiro Baji sekitar 70 persen sebagai nelayan dan 30 persen sebagai petani.
"Masyarakat harus berpindah lokasi penangkapan ikan, karena air laut di lokasi penangkapan sudah keruh. Mereka harus mengelurkan biaya lebih untuk mencari ikan di luar pulau. Mereka mulai khawatir jika tambang pasir diteruskan akan mengakibatkan abrasi yang mengancam tempat tinggalnya," jelas pria akrab disapa Slash ini.
Penambangan pasir sekitar Pulau Tanakeke dimulai pada Juli 2017 dampaknya mulai terasa oleh warga. Beberapa nelayan mengatakan ketika diskusi bersama Walhi Sulsel 30 November 2017 di Desa Tompo Tanah, dampak yang terlihat saat ini adalah keruhnya air laut sekitar pulau.
Tidak hanya itu, keruhnya air laut tersebut berdampak pada rumput laut warga. Air keruh yang masuk pada area penanaman rumput laut membuat kualitas rumput laut milik warga menurun yang mengakibatkan rumput laut gagal panen.
Penyelam penangkap gurita juga mengeluh, karena area penyelaman penangkapan gurita dan cumi-cumi merupakan lokasi penambangan pasir, berdampak juga pada berkurangnya hasil tangkapan di sekitar pulau.
"Desa-desa yang terancam akibat penambangan pasir laut di perairan sekitar pulau Tanakeke yakni Desa tompotana, Maccini baji, Rewatayya, Mattirobaji dan Balangdatu," beber Slash.
Menurut dia PT Boskalis asal Belanda selaku pemenang tender dari PT Ciputra Grup ditugaskan mengumpulkan pasir laut guna menimbun lokasi CPI menggunakan kapal fairway melanggar asas partisipasi dan konsultasi pada masyarakat, karena tidak melakukan konsultasi secara langsung kepada masyarakat pesisir serta ancamannya ditimbulkan.
"Secara keseluruhan dari wawancara dengan warga dan tokoh masyarakat di sejumlah desa, dapat disimpulkan bahwa, tidak ada kegiatan konsultasi publik yang dilakukan PT pihak Boskalis dan pemengang izin bersama pemerintah setempat secara langsung kepada masyarakat terkait rencana penambangan pasir laut," tegas dia.
Proyek reklamasi tersebut diketahui digagas Pemerintah Provinsi Sulsel dengan menggandeng PT Ciputra Grup bersama PT Yasmin Bumi Asri ini akan membangun kawasan bisnis terpadu dan eksklusif.
Dari 157,23 hektar lahan yang akan direklamasi, pemerintah provinsi hanya akan dapat bagian seluas 50.47 hektar. Sisanya akan jadi milik pengembang.
Aktivitas penggalian pasir di laut Takalar untuk memenuhi kebutuhan penimbunan 157,23 hektar kawasan CPI. Agar terealisasi dengan baik, pengembang membutuhkan 22.627.480 metrik ton pasir dan tanah urugan.
Sebelumnya, ratusan warga dari beberapa desa yang terdampak melakukan aksi protes ke DPRD Sulsel, termasuk menolak Ranperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K), sehingga dewan pun mengambil langkah untuk memanggil pihak terkait.
"Kita sudah lakukan Rapat Dengar Pendapat kemarin, namun belum disimpulkan hasilnya karena masih akan dilanjutkan. Kalau itu dianggap merugikan masyarakat kita hentikan, tapi diupayakan dulu cari jalan keluarnya termasuk dalam pembahasan RZWP3K ini," ucap Ketua Pansus Ranperda RZWP3K Provinsi Sulsel, Fachruddin Rangga.
Berita Terkait
Ekspor Sulsel Maret 2024 capai Rp190 juta dolar AS, meningkat 40 persen
Kamis, 2 Mei 2024 20:43 Wib
Turis Malaysia mendominasi kunjungan wisatawan ke Sulsel pada Maret 2024
Kamis, 2 Mei 2024 20:43 Wib
Peringatan Hardiknas tingkat Provinsi Sulawesi Selatan bertabur penghargaan
Kamis, 2 Mei 2024 20:09 Wib
Tiga parpol berkomunikasi bahas koalisi hadapi 24 Pilkada di Sulsel
Kamis, 2 Mei 2024 19:55 Wib
Pansus DPRD Sulsel terus matangkan Raperda Kesehatan Ibu dan anak
Kamis, 2 Mei 2024 18:27 Wib
DPRD Sulsel berharap KPUD dan Bawaslu jalankan pilkada secara transparan
Kamis, 2 Mei 2024 18:25 Wib
BPS : inflasi Sulsel per April 2024 lebih rendah dari nasional
Kamis, 2 Mei 2024 15:59 Wib
Kemenkumham Sulsel sosialisasikan KI kepada pelajar lewat RUKI Bergerak "Goes to School"
Kamis, 2 Mei 2024 15:56 Wib