Mamuju (ANTARA Sulbar) - Polemik atas kepemilikan Ruko di Pasar Sentral Mamuju, Sulawesi Barat, antara pemerintah kabupaten dengan pihak asosiasi pemilik Rumah Toko (Ruko) tengah diperdebatkan berbagai kalangan.
Hal ini mengemuka dalam diskusi yang dimediasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Mamuju dengan menghadirkan berbagai narasumber yang dilangsungkan di salah satu warkop yang ada di Mamuju, Jumat.
Anggota DPRD Kabupaten Mamuju, Ado Masud, yang turut hadir dalam diskusi menyatakan, setelah dilakukan dengar pendapat di DPRD beberapa waktu lalu, Komisi II belum dapat menyimpulkan persoalan ini karena data yang dibutuhkan belum disampaikan pihak Asosiasi Pemilik Ruko.
"Itu belum sampai ke kami. Jadi tolong teman-teman dari asosiasi secepatnya menyampaikan ke Komisi II terkait data kepemilikan Ruko. Itu kan nantinya akan jadi bahan acuan kami," kata politisi dari PDI Perjuangan ini.
Ia mengaku baru dari pihak Badan Pertahanan Nasional (BPN) Kabupaten Mamuju yang telah menunjukkan sertifikat tanah atas nama Pemkab Mamuju.
Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) tersebut, ujar dia, telah terbukti lewat masa berlakunya yakni 40 tahun.
Namun dia berjanji Komisi II akan tetap melakukan negosiasi dengan pemerintah termasuk menelisik persoalan ini dari aspek hukum serta metode penyelesaian secara sosial.
Demikian pula dari Pihak BPN, kata Ado, sudah menunjukkan sertifikat dan tertera bahwa kepemilikannya adalah Pemerintah Kabupaten.
"Karena kami sadar bahwa pasar adalah pusaran ekonomi masyarakat maka kami akan terus berupaya untuk melakukan komunikasi terhadap pemerintah dan unsur masyarakat yang terlibat didalamnya. Kami tekankan kalau masalah keberpihakan kepada rakyat harus juga disertai dengan undang-undang, makanya penting untuk menilisik persoalan ini ke ranah hukum," ungkap Ado.
Ditempat yang sama, Amri Mustafa yang hadir sebagai pihak Asosiasi Pemilik Ruko menegaskan, berkas berupa data kepemilikan Ruko sudah diserahkan kepada Sekretaris Dewan DPRD Kabupaten Mamuju.
Ia menganggap jika berkas tersebut belum sampai ke tangan Komisi II maka diduga ada indikasi kesalahan komunikasi.
Dia menambahkan sejak tahun 2013 lalu telah berkali-kali menyampaikan surat permohonan perpanjangan HGB kepada bupati yang terbukti di dalam arsip surat keluar Asosiasi Pemilik Ruko.
"Soal berkas data maka kami sudah berikan kepada Sekwan. Nah, jika itu belum sampai ke komisi berarti ada miskomunikasi. Kami juga tekankan bahwa di dalam arsip maka kami beberapa kali menyurat untuk permohonan perpanjangan HGB kepada bupati. Itu kami lakukan sejak 2013 lalu," tegasnya.
Dengan nada kecewa, Amri menyayangkan pihak BPN Kabupaten Mamuju tidak turut hadir dalam diskusi serta pihak Ombudsman yang juga melakukan mediasi menyangkut polemik ternyata belum mengeluarkan suatu keputusan pasti.
Bahkan, kata dia, Bupati Mamuju pernah berjanji memberikan kesempatan perpanjangan HGB kepada pemilik saat jelang Pilkada lalu namun tidak direalisasikan.
"Saya menyayangkan pihak BPN tidak hadir. Ini kan diskusi yang sebenarnya kita semua ingin mempersatukan pandangan. Pihak Ombudsman yang telah melakukan mediasi terkait hal ini tapi belum ada kepastian. Pak bupati juga telah berjanji sebelum Pilkada lalu untuk memperpanjang HGB, tapi nyatanya tidak seperti itu," ucap mantan Anggota DPRD Kabupaten Mamuju ini.
Sementara itu, Praktisi Hukum Rahmat Idrus membenarkan prosedur pemberian HGB yang mengacu kepada UU Agraria serta Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang jangka waktu berlakunya sertifikat HGB.
Namun Rahmat menilai, persoalan ini bisa saja tersandung di Pembebanan HGB dalam PP 33 ayat 1 tentang sertifikat HGB yang dapat digunakan sebagai jaminan hutang, pasal 34 tentang peralihan hak bangunan serta pasal 35 tentang terhapusnya HGB.
"Kalau dari segi aturan sudah jelas. Sertifikat HGB memang 40 tahun masa waktu berlakunya. Nah, jika dihitung dari Tahun 1994 HGU maka tentu sudah genap 40 tahun di tahun 2014 lalu, namun ada syarat untuk memperpanjang HGB oleh pemegang hak ," katanya.
Rahmat menyampaikan perlu dikaji secara individu yang terlibat didalamnya karena bisa saja masih ada kredit di bank namun HGB nya telah habis.
"Jika ada seperti itu maka pastinya akan berbenturan dengan Pasal 34 Peralihan hak bangunan dan Pasal 35 tentang Terhapusnya HGB," katanya.
Ia meminta agar kewenangan pejabat tata usaha negara, senantiasa memperhatikan asas-asas umum yang layak agar tidak muncul gugatan.
Rahmat yang juga Ketua Lembaga Bantuan Hukum Rakyat (LBHR) Sulbar ini menilai polemik tersebut juga bisa ditinjau dari UU Arbitrase sebagai solusi penyelesaian sengketa.
"Saya minta agar pejabat tata usaha negara selalu mengedepankan asas-asas umum agar tidak menimbulkan gugatan. Persoalan ini saya rasa juga dapat meninjau UU Arbitrase sebagai solusi terbaik yang juga nantinya dapat dilimpahkan kepada lembaga penyelesaian sengketa diluar pengadilan," terang Rahmat. Agus Setiawan
Berita Terkait
Perumda Pasar dan Kejari Makassar lanjutkan kerja sama perdata dan TUN
Jumat, 3 Mei 2024 21:35 Wib
Kemenko PMK menyoroti tingginya angka pengangguran terbuka di Indonesia
Selasa, 30 April 2024 10:48 Wib
Presiden Jokowi pantau harga bahan pokok di pasar tradisional di Mamasa
Selasa, 23 April 2024 15:39 Wib
Presiden Jokowi inginkan pembangunan pasar baru dekat Pasar Tumpah Mamasa Sulbar
Selasa, 23 April 2024 14:36 Wib
Presiden Jokowi meninjau pasar tumpah hingga RSUD di Mamasa Sulawesi Barat
Selasa, 23 April 2024 13:08 Wib
Pj Bupati Luwu pantau harga bahan pokok di Pasar Sentral Belopa
Senin, 22 April 2024 1:18 Wib
Kemendag mendorong produk pertanian Indonesia masuk pasar Australia
Sabtu, 20 April 2024 11:39 Wib
Analis: Konflik Iran-Israel menyebabkan penurunan di pasar ekuitas
Jumat, 19 April 2024 12:01 Wib