Makassar (Antara Sulsel) - Lembaga Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Anti Corruption Committee (ACC) Sulawesi melansir sejumlah program BPJS Kesehatan berpotensi mengalami Tindak Kecurangan atau `Fraud` berujung pada perilaku korupsi.
"Berdasarkan data ICW, Sulawesi Selatan menempati urutan ke sembilan besar, potensi dugaan perilaku Fraud. Ada sembilan kasus dengan dugaan kerugian negara sebesar Rp21 juta lebih,' ungkap Staf Divisi Korupsi Politik ICW, Almas Syafrina di kantor ACC Sulawesi, Makassar, Selasa.
Sementara potensi korupsi pada sektor kesehatan di Sulsel ada 10 item, seperti dana Alat Kesehatan (Alkes), Dana Jaminan Kesehatan, Infrastuktur Rumah Sakit, Dana Obat-obatan, Sarana dan Prasarana Rumah Sakit, Dana Operasional Rumah Sakit dan Pengadaan Alkes Rumkit.
"Terdapat kenaikan peringkat objek korupsi dan Jaminan Kesehatan seperti dana BPJS Kesehatan dan dana jaminan kesehatan lainnya. Peningkatan ini diduga terjadi setelah penerapan BPJS Kesehatan, mengingat pengelolaan anggarannya hanya satu pintu," ungkap peneliti ICW ini.
Selain itu lanjutnya, belum terbentuknya tim pengendali Fraud membuat pengawasan terhadap keuangan BPJS Kesehatan tidak terkontrol, padahal sesuai amanah pasal 7 dan 8 Permenkes nomor 36 tahun 2015 telah mengatur itu.
Bahkan diduga BPJS Kesehatan tidak transparan terkait klaim dari seluruh rumah sakit yang sudah bekerja sama.
"Seringkali pasien tidak mendapat haknya pada kelas yang diberikan pihak rumah sakit. Sehingga, ada dugaan permainan, mengingat klaim BPJS Kesehatan tidak transparan dan akhirnya berimbas pada pasien," katanya..
Sementara dari peneliti ACC Sulawesi, Hamka menyebutkan sejumlah temuan data usulan warga miskin Penerima Bantuan Iuran (PBI) dari Pemerintah Kota Makassar ditolak BPJS Kesehatan.
Sepanjang 2017, lanjutnya, pada tahap pertama, dari 20.953 jiwa, hanya 9.531 jiwa yang diterima kepesertaan BPJS Kesehatan dengan persentase 45,48 persen, sedangkan sisanya, 11.422 PBI diwajibkan ke jalur mandiri.
"Alasannya, kepesertaan diwajibkan sesuai NIK atau nama sesuai alamat, lantas bagaimana dengan masyarakat yang tidak memiliki KTP atau baru mengurus, kan ironis. Harusnya ini dicarikan solusi, bukan malah di tolak," ujar Hamka.
Mengenai program Home Care dijalankan pemkot, tidak masuk tanggungan BPJS Kesehatan dan menjadi beban tersendiri Pemkot, serta Dinas Kesehatan sehingga menjadi potesi Fraud, ungkap dia.
Peliti ACC Sulawesi lainnya, Anggareksa menambahkan, tim verifikasi tidak mempunyai standar kualifikasi, membaut verifikasi data masyakat penerima PIB tidak maksimal dengan alasan standar miskin.
" Ditambah lagi, belum ada tim pengendali Fraud," ucapnya.
Pembatasan antrean yang hanya ratusan per hari, BPJS Kesehatan dinilai tidak transparan terkait data klaim kepada sejumlah rumah sakit.
Pengajuan data klaim ke Dinas Kesehatan juga lanjut dia, tanpa disertai dengan kelengkapan data pasien yang terdata pada database "online" atau dalam jaringan (daring)
"Selanjutnya, masyarakat tidak jujur pernah mendaftar BPJS Kesehatan secara mandiri, pihak BPJS Kesehatan memotong data yang disampaikan tanpa alasan jelas, kasus 'black list' atau daftar hitam pasien, baik PBI maupun mandiri karena tidak rutin membayar," terang Anggareksa.
Bahkan kata dia, Dinas Sosial masih melakukan verifikasi rutin kepada warga miskin yang pernah mendaftar sebagai pasien PBI atau mandiri.
"Berubah-ubahnya kebijakan nasional terkait BPJS Kesehatan dalam satu tahun terakhir setelah diterbitkan Permenkes," ucapnya.
"Anggota DPRD Makassar saat diminta tanggapan, juga berharap BPJS Kesehatan mendorong kepesertaan dari mandiri untuk membantu meringankan 'over budget' (kelebihan anggaran) pengeluaran PBI, agar dapat mensubsidi masyarakat miskin berjumlah 11 persen," urai Anggareksa.
ICW-ACC Sulawesi Sebut BPJS Kesehatan Berpontensi "Fraud"
Terdapat kenaikan peringkat objek korupsi dan Jaminan Kesehatan seperti dana BPJS Kesehatan dan dana jaminan kesehatan lainnya. Peningkatan ini diduga terjadi setelah penerapan BPJS Kesehatan, mengingatpengelolaan anggarannya hanya satu pintu,"