Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi I DPR RI Christina Aryani mendukung sikap tegas pemerintah Indonesia yang mengamankan wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia di perairan Natuna.
"Bagi kita dasarnya sudah jelas ada konvensi UNCLOS yang mengatur China merupakan salah satu 'member states' yang telah meratifikasi konvensi ini," kata Christina Aryani di Jakarta, Jumat.
Dia mengatakan terkait Sembilan Garis Putus atau "Nine Dash Line" yang menjadi dasar klaim China atas wilayah Natuna, sudah ada keputusan yang menegasikan hal tersebut.
Karena itu Christina menegaskan bahwa China tidak bisa klaim sepihak atas wilayah ZEE Indonesia di perairan Natuna.
"Sejauh ini kami menilai Pemerintah sudah tegas, ke depannya? Tergantung apa pihak pelanggar akan tetap melakukan pelanggarannya? Dalam hal itu tidak ada cara lain selain aksi konkret di lapangan," ujarnya.
Namun politisi Partai Golkar itu juga meminta agar Indonesia meningkatkan kehadiran secara fisik di wilayah Natuna karena penting untuk menunjukkan adanya penguasaan yang efektif.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi mengatakan hasil rapat koordinasi tingkat menteri menyepakati untuk melakukan intensifikasi patroli di wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia di perairan Natuna.
"Dari rapat tadi juga disepakati beberapa intensifikasi patroli di wilayah tersebut dan juga kegiatan perikanan yang memang merupakan hak bagi Indonesia untuk mengembangkannya di perairan Natuna," kata Menlu Retno, usai rapat di Kemenko Polhukam, Jakarta, Jumat (3/1).
Menurut dia, telah terjadi pelanggaran oleh kapal-kapal Tiongkok di wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia di perairan Natuna.
Menurut Retno wilayah ZEE Indonesia sudah ditetapkan oleh hukum internasional yaitu berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS).
"Tiongkok merupakan salah satu 'party' dari UNCLOS 1982, oleh karena itu merupakan kewajiban Tiongkok untuk menghormati implementasi dari UNCLOS 1982," katanya.
Indonesia kata dia tidak pernah akan mengakui "nine dash line" klaim sepihak yang dilakukan oleh Tiongkok yang tidak memiliki alasan hukum yang diakui oleh hukum internasional terutama UNCLOS 1982.