KPIA sebut Meymey terbukti terlantarkan anak
Makassar (Antaranews Sulsel)- Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Putu Elvina menyebut terdakwa Meilania Detaly alias Meymey pelaku penyekapan anak, telah menelantarkan anak-anaknya dan jelas unsurnya pidananya masuk.
"Unsur-unsur penelantaran itu terjadi lantaran baik itu fisik, psikis, mental, sosial, karena kondisi dengan keterbatasan. Mereka ditinggal dalam kondisi Ruko terkunci," ujarnya usai memberikan kesaksian sebagai saksi ahli di Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu.
Meymey merupakan pelaku penyekapan dan penganiayaan terhadap tiga bocah berinisial AW (12), DF (7), dan US (2) di sebuah Rumah Toko (Ruko) di jalan Mira Seruni, Kelurahan Pandang, Kecamatan Panakukang, Makassar pada September 2018 lalu.
Kasus ini baru terkuak saat ketiganya berhasil keluar dari Ruko tersebut setelah merusak kunci gembok menggunakan besi. Mereka kemudian berpencar AW lari ke rumah kerabat ibu angkatnya sementara dua lainnya DF dan US, ditemukan sekuriti dan dibawa ke kantor P2TP2A Makassar.
Menurut dia, saat anak-anak terkunci di dalam Ruko berarti keamanan anak masih dalam risiko yang sangat tinggi, bagaimana misalnya kalau mereka lapar dan harus masak nasi kemudian kompor meledak. Akan sangat rentan menjadi resiko kebakaran.
Selain itu, Ruko terkunci dan anak tidak bisa melarikan diri, itu artinya ada penelantaran anak disitu. Bila dilihat dimensinya dalam aspek fisik, terlihat bahwa anak-anak itu tumbuhkembangnya tidak optimalkan, asupan gizinya pasti sangat kurang.
"Kalau dibiarkan ini terus-menerus, maka anak akan menderita gangguan tumbuhkembang dan faktor lainnya. Jadi, artinya disini ada kasus penelantaran, saya pikir ini sudah terpenuhi unsur-unsur tersebut," paparnya.
Bila melihat dalam kasus ini, seseorang dikuncikan dan tidak bisa keluar atau hal lain sebagainya, itu penyekapan. Namun kontesnya berbeda dan tidak bisa disamaratakan kasus penyekapan yang memiliki relasi antara pelaku kejahatan dengan korban kejahatan.
"Mengunci anak-anak dari luar itu yang dianggap membahayakan. Saya katakan ini harusnya penelantaran, harus seperti itu. Kalau pun dia (Meymey) lebih arif, bisa saja dengan kondisi terbatas untuk mencari nafkah menitipkan ke tetangga, tapi itu tidak dilakukan," bebernya.
Selain itu, kondisi anak-anak usai di bawa ke save house, dari cerita para pendamping kondisi psikis anak sangat tidak normal seperti anak biasanya dan cenderung agresif ketika marah lalu mengigit. Ada perubahan sikap anak secara signifikan atas traumatik dialaminya.
Tidak sampai disitu, dari tiga anak korban, dua diantara mereka asal-usulnya tidak jelas. Bisa saja ada tambahan delik aduan, karena hak pengasuhan anak atau pengangkatan anak tidak dilakukan resmi, padahal itu jelas diatur dalam Undang-undang.
"Dalam kasus ini sangat luas aspeknya, dan bisa banyak pasal dilanggar terdakwa bila ada yang mau melaporkannya. Tapi kondisinya seperti itu. Pertanyaan yang diajukan majelis hakim dan Jaksa Penuntut Umum maupun pengacara terdakwa saya jawab dan menjelaskannya," sebut Elvina.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Tenri A Palallo usai mendampingi Komisioner KPAI Putu Elvina di pengadilan setempat menuturkan, kondisi anak tersebut sudah membaik hanya saja psikologis mereka tergangu.
"Aw adalah anak kandung Meymey dan sudah dijemput kerabat terdekatnya. Begitupun US sudah dijemput orang tuanya setelah mendapat infomasi dari berita. Sedangkan DF masih berada di save house P2TP2A Makassar untuk mendapat pengasuhan yang layak," tambah Tenri.
Memey alias Acci dijerat menggunakan pasal berlapis, yakni pasal 77B juncto 76D, pasal 80 ayat (1) juncto 76C Undang-undang nomor 17 tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, serta pasal 44 ayat (1) Undang-undang nomor 23 tahun 2005 tentang PKDRT, dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara.
"Unsur-unsur penelantaran itu terjadi lantaran baik itu fisik, psikis, mental, sosial, karena kondisi dengan keterbatasan. Mereka ditinggal dalam kondisi Ruko terkunci," ujarnya usai memberikan kesaksian sebagai saksi ahli di Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu.
Meymey merupakan pelaku penyekapan dan penganiayaan terhadap tiga bocah berinisial AW (12), DF (7), dan US (2) di sebuah Rumah Toko (Ruko) di jalan Mira Seruni, Kelurahan Pandang, Kecamatan Panakukang, Makassar pada September 2018 lalu.
Kasus ini baru terkuak saat ketiganya berhasil keluar dari Ruko tersebut setelah merusak kunci gembok menggunakan besi. Mereka kemudian berpencar AW lari ke rumah kerabat ibu angkatnya sementara dua lainnya DF dan US, ditemukan sekuriti dan dibawa ke kantor P2TP2A Makassar.
Menurut dia, saat anak-anak terkunci di dalam Ruko berarti keamanan anak masih dalam risiko yang sangat tinggi, bagaimana misalnya kalau mereka lapar dan harus masak nasi kemudian kompor meledak. Akan sangat rentan menjadi resiko kebakaran.
Selain itu, Ruko terkunci dan anak tidak bisa melarikan diri, itu artinya ada penelantaran anak disitu. Bila dilihat dimensinya dalam aspek fisik, terlihat bahwa anak-anak itu tumbuhkembangnya tidak optimalkan, asupan gizinya pasti sangat kurang.
"Kalau dibiarkan ini terus-menerus, maka anak akan menderita gangguan tumbuhkembang dan faktor lainnya. Jadi, artinya disini ada kasus penelantaran, saya pikir ini sudah terpenuhi unsur-unsur tersebut," paparnya.
Bila melihat dalam kasus ini, seseorang dikuncikan dan tidak bisa keluar atau hal lain sebagainya, itu penyekapan. Namun kontesnya berbeda dan tidak bisa disamaratakan kasus penyekapan yang memiliki relasi antara pelaku kejahatan dengan korban kejahatan.
"Mengunci anak-anak dari luar itu yang dianggap membahayakan. Saya katakan ini harusnya penelantaran, harus seperti itu. Kalau pun dia (Meymey) lebih arif, bisa saja dengan kondisi terbatas untuk mencari nafkah menitipkan ke tetangga, tapi itu tidak dilakukan," bebernya.
Selain itu, kondisi anak-anak usai di bawa ke save house, dari cerita para pendamping kondisi psikis anak sangat tidak normal seperti anak biasanya dan cenderung agresif ketika marah lalu mengigit. Ada perubahan sikap anak secara signifikan atas traumatik dialaminya.
Tidak sampai disitu, dari tiga anak korban, dua diantara mereka asal-usulnya tidak jelas. Bisa saja ada tambahan delik aduan, karena hak pengasuhan anak atau pengangkatan anak tidak dilakukan resmi, padahal itu jelas diatur dalam Undang-undang.
"Dalam kasus ini sangat luas aspeknya, dan bisa banyak pasal dilanggar terdakwa bila ada yang mau melaporkannya. Tapi kondisinya seperti itu. Pertanyaan yang diajukan majelis hakim dan Jaksa Penuntut Umum maupun pengacara terdakwa saya jawab dan menjelaskannya," sebut Elvina.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Tenri A Palallo usai mendampingi Komisioner KPAI Putu Elvina di pengadilan setempat menuturkan, kondisi anak tersebut sudah membaik hanya saja psikologis mereka tergangu.
"Aw adalah anak kandung Meymey dan sudah dijemput kerabat terdekatnya. Begitupun US sudah dijemput orang tuanya setelah mendapat infomasi dari berita. Sedangkan DF masih berada di save house P2TP2A Makassar untuk mendapat pengasuhan yang layak," tambah Tenri.
Memey alias Acci dijerat menggunakan pasal berlapis, yakni pasal 77B juncto 76D, pasal 80 ayat (1) juncto 76C Undang-undang nomor 17 tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, serta pasal 44 ayat (1) Undang-undang nomor 23 tahun 2005 tentang PKDRT, dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara.