Calon hakim konstitusi setuju MK diawasi pihak eksternal
Jakarta (ANTARA) - Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Widodo Ekatjahjana yang sedang menjalani seleksi sebagai hakim Mahkamah Konstitusi menyetujui bila MK diawasi juga oleh pihak eksternal.
"Kalau pengawasan tetap di dalam, mantan hakim MK Patrialis Akbar pernah dibawa ke Majelis Kehormatan MK sebanyak 3 kali sebelum terkena OTT KPK tapi semuanya lisan lisan lisan, jadi menurut bapak seperti apa ke depan tentang pengawasan hakim MK mengingat ada 2 hakim MK yang di-OTT?", tanya anggota Panitia seleksi (pansel) hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Sukma Violetta di gedung Sekretariat Negara Jakarta, Kamis.
"Saya setuju pengawasan dari eksternal, dari unsur hakim MK sudah punya pengalaman, akademisi profesional dan dari unsur Komisi Yudisial," jawab Widodo.
"Ini maksudnya di luar forum Majelis Kehormatan MK? Ada dewan etik yang bisa sewaktu-waktu memeriksa hakim MK?" tanya Sukma.
"Iya," jawab Widodo.
Tanya jawab itu berlangsung dalam tes wawancara terbuka untuk 8 orang calon hakim konstitusi untuk mencari pengganti hakim konstitusi perwakilan pemerintah I Dewa Gede Palguna yang akan berakhir masa jabatannya pada 7 Januari 2020.
Seperti diketahui pada 2006, Mahkamah Agung mengajukan uji materi ke MK. Putusan MK saat itu menyebutkan bahwa pengawasan terhadap hakim MA tetap, sedangkan pengawasan terhadap MK dianulir.
Adapun potongan putusan MK tersebut berbunyi: "Permohonan para Pemohon sepanjang menyangkut perluasan pengertian hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang meliputi hakim konstitusi terbukti bertentangan dengan UUD 1945 sehingga permohonan para Pemohon harus dikabulkan. Dengan demikian, untuk selanjutnya, hakim konstitusi tidak termasuk dalam pengertian hakim yang perilaku etiknya diawasi oleh Komisi Yudisial"
"Di peraturan MK belum ada mengatur mengenai 'conlict of interest', kita kaget juga ya mengetahuinya padahal di kode etik hakim Mahkamah Agung ada. Apakah ini bisa memberikan gambaran ketika pengawsan internal diatur orang yang berpotensi melanggar jadi ada standar yang seharusnya dipenuhi malah tidak dipenuhi, jadi KY tidak bisa menjadi pengawas eksternal hakim MK, jadi bagaimana mengatur sistem integritas hakim MK jika keadaan seperti itu?" tanya Sukma.
"Saran saya untuk pengawasan internal itu tidak hanya di level kode etik tapi diangkat di level UU MK yang sudah masuk Prolegnas, di level UU itu yang membahas pemerintah dan DPR sehingga kemungkinan kalau ada kekhawatiran kalau diatur sendiri memang rata-rata regulasi kita semangat ego sektoral menata diri sendiri muncul, jadi ada majelis kehormatan hakim MK dan pengawasan lain," jawab Widodo.
Pansel MK sudah melakukan tes wawancara kepada 5 orang calon hakim konstitusi pada 11 Desember 2019 yaitu Benediktus Hesto Cipto Handoyo, Bernard L Tanya, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, Ida Budiarti dan Suparman Marzuki.
Sedangkan pada 12 Desember 2019 pansel menguji Widodo Ekatjahjana, Umbu Rauta dan Yudi Kristiana.
Pansel akan memberikan 3 nama terakhir kepada Presiden Joko Widodo pada 18 Desember 2019 dan selanjutnya Presiden Joko Widodo akan memilih 1 nama. Tiga nama tersebut dipertimbangkan dari hasil wawancara, tes kesehatan serta berbagai data dari KPK, PPATK, Kejaksaan Agung, Komisi Yudisial.
"Kalau pengawasan tetap di dalam, mantan hakim MK Patrialis Akbar pernah dibawa ke Majelis Kehormatan MK sebanyak 3 kali sebelum terkena OTT KPK tapi semuanya lisan lisan lisan, jadi menurut bapak seperti apa ke depan tentang pengawasan hakim MK mengingat ada 2 hakim MK yang di-OTT?", tanya anggota Panitia seleksi (pansel) hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Sukma Violetta di gedung Sekretariat Negara Jakarta, Kamis.
"Saya setuju pengawasan dari eksternal, dari unsur hakim MK sudah punya pengalaman, akademisi profesional dan dari unsur Komisi Yudisial," jawab Widodo.
"Ini maksudnya di luar forum Majelis Kehormatan MK? Ada dewan etik yang bisa sewaktu-waktu memeriksa hakim MK?" tanya Sukma.
"Iya," jawab Widodo.
Tanya jawab itu berlangsung dalam tes wawancara terbuka untuk 8 orang calon hakim konstitusi untuk mencari pengganti hakim konstitusi perwakilan pemerintah I Dewa Gede Palguna yang akan berakhir masa jabatannya pada 7 Januari 2020.
Seperti diketahui pada 2006, Mahkamah Agung mengajukan uji materi ke MK. Putusan MK saat itu menyebutkan bahwa pengawasan terhadap hakim MA tetap, sedangkan pengawasan terhadap MK dianulir.
Adapun potongan putusan MK tersebut berbunyi: "Permohonan para Pemohon sepanjang menyangkut perluasan pengertian hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang meliputi hakim konstitusi terbukti bertentangan dengan UUD 1945 sehingga permohonan para Pemohon harus dikabulkan. Dengan demikian, untuk selanjutnya, hakim konstitusi tidak termasuk dalam pengertian hakim yang perilaku etiknya diawasi oleh Komisi Yudisial"
"Di peraturan MK belum ada mengatur mengenai 'conlict of interest', kita kaget juga ya mengetahuinya padahal di kode etik hakim Mahkamah Agung ada. Apakah ini bisa memberikan gambaran ketika pengawsan internal diatur orang yang berpotensi melanggar jadi ada standar yang seharusnya dipenuhi malah tidak dipenuhi, jadi KY tidak bisa menjadi pengawas eksternal hakim MK, jadi bagaimana mengatur sistem integritas hakim MK jika keadaan seperti itu?" tanya Sukma.
"Saran saya untuk pengawasan internal itu tidak hanya di level kode etik tapi diangkat di level UU MK yang sudah masuk Prolegnas, di level UU itu yang membahas pemerintah dan DPR sehingga kemungkinan kalau ada kekhawatiran kalau diatur sendiri memang rata-rata regulasi kita semangat ego sektoral menata diri sendiri muncul, jadi ada majelis kehormatan hakim MK dan pengawasan lain," jawab Widodo.
Pansel MK sudah melakukan tes wawancara kepada 5 orang calon hakim konstitusi pada 11 Desember 2019 yaitu Benediktus Hesto Cipto Handoyo, Bernard L Tanya, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, Ida Budiarti dan Suparman Marzuki.
Sedangkan pada 12 Desember 2019 pansel menguji Widodo Ekatjahjana, Umbu Rauta dan Yudi Kristiana.
Pansel akan memberikan 3 nama terakhir kepada Presiden Joko Widodo pada 18 Desember 2019 dan selanjutnya Presiden Joko Widodo akan memilih 1 nama. Tiga nama tersebut dipertimbangkan dari hasil wawancara, tes kesehatan serta berbagai data dari KPK, PPATK, Kejaksaan Agung, Komisi Yudisial.