Walhi Sulsel tagih janji PT Vale perbaiki kerusakan Lingkungan
Makassar (ANTARA) - Organisasi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Selatan kembali menangih janji perusahaan PT Vale terkait tanggung jawab perbaikan kerusakan lingkungan akibat ekplolitasi tambang nikel yang berdampak bagi masyarakat sekitar lokasi konsesi, di Kabupaten Luwu Timur, Provinsi Sulawesi Selatan.
"Kami sampaikan ini adalah aspirasi rakyat dan komunitas-komunitas masyarakat adat hingga saat ini masih berjuang mendapatkan penghidupan yang layak dan hak ulayat mereka kembali," ujar Direktur Eksekutif Walhi Sulsel, Muhammad Al Amin di Makassar, Jumat.
Ia menjelaskan bahwa sudah lebih dari 50 tahun perusahaan itu menjalankan bisnis tambang dengan mengeksploitasi kandungan nikel di sejumlah kawasan Kabupaten Luwu Timur.
Perusahaan asing ini diketahui memiliki konsesi tambang seluas 70 hektare lebih, bahkan memiliki pembangkit tenaga listrik dengan membendung air sungai yang mengalir dari Danau Matano di pesisir Malili.
Hasil diskusi Walhi Sulsel bersama sembilan komunitas masyarakat adat di Kecamatan Nuha dan Towuti, kata Amin, terungkap kehidupan masyarakat adat dan lokal tidak mengalami peningkatan taraf hidup lebih sejahtera sejak PT Vale dulunya Inco beroperasi.
Kendati masyarakat adat maupun lokal ada dipekerjakan dan pernah bekerja di perusahaan itu (dipecat), statusnya hanya kontrak dan tidak tetap. Mereka bahkan diduga mendapat intimidasi serta tidak bebas menyampaikan pendapat.
Begitupun masyarakat setempat lokasi konsesi meminta pengembalian tanah ulayat adat yang selama ini dituntut, tetapi urung dilakukan perusahaan dengan hanya mengumbar janji.
Persoalan lainnya, pembukaan hutan tidak dibarengi dengan reklamasi lubang tambang dan penghijauan kembali hutan, membuat bentangan alam pegunungan Luwu Timur berubah hingga terjadi penurunan daya dukung serta daya tampung lingkungan di daerah Malili, Wasuponda, Nuha dan Towoti.
"Dampak aktivitas tambang itu telah membuat perubahan fisik di danau Mahalona. Hasil investigasi Walhi bersama masyarakat Desa Tole, bentuk dan luas danau itu berubah dan mengalami penyempitan diduga akibat lumpur atau sendimentasi bekas tambang masuk mencemari dan mengendap di danau setempat," ujar Amin.
Dampak lain ditimbulkan, kata Amin, belasan tumbuhan dan hewan endemik Danau Mahalona mati dan terancam punah dari habitatnya. Pihak perusahaan juga tidak memiliki niat membuka dialog secara bermakna menyelesaikan konflik dengan masyarakat adat di sekitar wilayah konsesi tambang.
"Kami mendesak Presiden Direktur PT Vale menghentikan pengrusakan hutan, pencemaran danau dan pemiskinan masyarakat adat. Perusahaan wajib memulihkan hutan, Danau Mahalona, dan melestarikan flora dan fauna endemik khusus di wilayah konsesi," ucapnya menegaskan.
Selain menghentikan pengabaian lingkungan hidup dan kehidupan masyarakat adat, PT Vale juga dituntut wajib menjalankan sistem perlindungan sosial dan lingkungan dalam praktek bisnis tambang nikel di Lutim serta menjalankan panduan bisnis dan Undang-undang HAM yang telah dikeluarkan oleh organisasi HAM, PBB (OHCHR) dalam menjalankan bisnis dan tambang nikelnya.
"Mestinya PT Vale membuka ruang dialog agar ada upaya menyelesaikan konflik sosial dengan masyarakat adat. Kami pun meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengaudit dampak kerusakan lingkungan termasuk pencemaran danau Mahalona," katanya
"Pemprov Sulsel juga diminta segera memediasi persoalan ini, termasuk meminta pertanggungjawaban perusahaan terhadap pemulihan lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat adat dan lokal, terkhusus pada kaum perempuan di wilayah konsesi tambang," kata Amin menekankan.
Dikonfirmasi secara terpisah, Senior Manager Communications PT Vale Indonesia Suparman Bayu Aji, tidak memberi respons, baik melalui pesan maupun dihubungi telepon selularnya untuk memberikan penjelasan berkaitan dengan persoalan tersebut.
"Kami sampaikan ini adalah aspirasi rakyat dan komunitas-komunitas masyarakat adat hingga saat ini masih berjuang mendapatkan penghidupan yang layak dan hak ulayat mereka kembali," ujar Direktur Eksekutif Walhi Sulsel, Muhammad Al Amin di Makassar, Jumat.
Ia menjelaskan bahwa sudah lebih dari 50 tahun perusahaan itu menjalankan bisnis tambang dengan mengeksploitasi kandungan nikel di sejumlah kawasan Kabupaten Luwu Timur.
Perusahaan asing ini diketahui memiliki konsesi tambang seluas 70 hektare lebih, bahkan memiliki pembangkit tenaga listrik dengan membendung air sungai yang mengalir dari Danau Matano di pesisir Malili.
Hasil diskusi Walhi Sulsel bersama sembilan komunitas masyarakat adat di Kecamatan Nuha dan Towuti, kata Amin, terungkap kehidupan masyarakat adat dan lokal tidak mengalami peningkatan taraf hidup lebih sejahtera sejak PT Vale dulunya Inco beroperasi.
Kendati masyarakat adat maupun lokal ada dipekerjakan dan pernah bekerja di perusahaan itu (dipecat), statusnya hanya kontrak dan tidak tetap. Mereka bahkan diduga mendapat intimidasi serta tidak bebas menyampaikan pendapat.
Begitupun masyarakat setempat lokasi konsesi meminta pengembalian tanah ulayat adat yang selama ini dituntut, tetapi urung dilakukan perusahaan dengan hanya mengumbar janji.
Persoalan lainnya, pembukaan hutan tidak dibarengi dengan reklamasi lubang tambang dan penghijauan kembali hutan, membuat bentangan alam pegunungan Luwu Timur berubah hingga terjadi penurunan daya dukung serta daya tampung lingkungan di daerah Malili, Wasuponda, Nuha dan Towoti.
"Dampak aktivitas tambang itu telah membuat perubahan fisik di danau Mahalona. Hasil investigasi Walhi bersama masyarakat Desa Tole, bentuk dan luas danau itu berubah dan mengalami penyempitan diduga akibat lumpur atau sendimentasi bekas tambang masuk mencemari dan mengendap di danau setempat," ujar Amin.
Dampak lain ditimbulkan, kata Amin, belasan tumbuhan dan hewan endemik Danau Mahalona mati dan terancam punah dari habitatnya. Pihak perusahaan juga tidak memiliki niat membuka dialog secara bermakna menyelesaikan konflik dengan masyarakat adat di sekitar wilayah konsesi tambang.
"Kami mendesak Presiden Direktur PT Vale menghentikan pengrusakan hutan, pencemaran danau dan pemiskinan masyarakat adat. Perusahaan wajib memulihkan hutan, Danau Mahalona, dan melestarikan flora dan fauna endemik khusus di wilayah konsesi," ucapnya menegaskan.
Selain menghentikan pengabaian lingkungan hidup dan kehidupan masyarakat adat, PT Vale juga dituntut wajib menjalankan sistem perlindungan sosial dan lingkungan dalam praktek bisnis tambang nikel di Lutim serta menjalankan panduan bisnis dan Undang-undang HAM yang telah dikeluarkan oleh organisasi HAM, PBB (OHCHR) dalam menjalankan bisnis dan tambang nikelnya.
"Mestinya PT Vale membuka ruang dialog agar ada upaya menyelesaikan konflik sosial dengan masyarakat adat. Kami pun meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengaudit dampak kerusakan lingkungan termasuk pencemaran danau Mahalona," katanya
"Pemprov Sulsel juga diminta segera memediasi persoalan ini, termasuk meminta pertanggungjawaban perusahaan terhadap pemulihan lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat adat dan lokal, terkhusus pada kaum perempuan di wilayah konsesi tambang," kata Amin menekankan.
Dikonfirmasi secara terpisah, Senior Manager Communications PT Vale Indonesia Suparman Bayu Aji, tidak memberi respons, baik melalui pesan maupun dihubungi telepon selularnya untuk memberikan penjelasan berkaitan dengan persoalan tersebut.