Mengembalikan kejayaan maritim melalui PSN Makassar New Port
Makassar (ANTARA) - Provinsi Sulawesi Selatan yang memiliki panjang pantai hampir 2.000 kilometer persegi dan memiliki 362 pulau kecil berpotensi besar menjadi pusat poros maritim di wilayah timur Indonesia.
Berbagai upaya dan terobosan terus dimaksimalkan dalam menjadikan Sulawesi Selatan sebagai poros maritim. Pemerintah pusat pun mendorong upaya itu dan Pemerintah Provinsi Sulsel bersama PT Pelabuhan Indonesia sejak beberapa tahun telah menggenjot pembangunan pada sektor tersebut.
Melalui Proyek Strategis Nasional (PSN) yakni Makassar New Port pada Mei 2015, pemerintah secara resmi memulai pembangunannya dan anggaran yang digelontorkan dalam mewujudkan cita-cita bangsa itu senilai Rp 2,51 triliun.
Direktur Utama PT Pelindo IV Farid Padang mengatakan proyek MNP dibagi dalam tiga tahap. Tahap I, proses pembangunannya dibagi lagi per paket, yaitu Paket A, B, C dan D. Total lahan untuk MNP ini adalah 1.428 hektare.
"Ini adalah proyek karya anak bangsa dan nilai investasinya sebesar Rp89,57 triliun," ujarnya.
Pembangunan proyek nasional itu dikebut, pengerjaan untuk Paket I B juga menghabiskan anggaran total sebesar Rp1,66 triliun (2018-2020) yang berdasarkan rencana akan selesai hingga 2022. Setelah rampung, akan dilanjutkan Paket I C dengan besaran biaya Rp2,69 triliun (2020-2022) dan Paket I D dengan total investasi sebesar Rp6,14 triliun yang juga telah memulai pembangunannya sejak 2015 hingga 2022.
Sementara untuk pembangunan MNP Tahap II yang pembangunannya bakal dimulai pada 2022 hingga 2025, pihaknya menargetkan investasi yang bakal diserap sebesar Rp10,01 triliun.
"Untuk pembangunan MNP Tahap III atau tahap akhir itu akan di bangun tahun 2022 hingga 2025 dengan biaya investasi sebesar Rp66,56 triliun," katanya.
Hingga rampungnya proyek strategis nasional itu, MNP akan memiliki dermaga yang panjangnya sekitar 9.923 meter dengan kapasitas terpasang sebesar 17,5 juta TEUs per tahunnya.
Di masa pemerintahan Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo 2008-2013 dan 2013-2018, pada beberapa kesempatan selalu membanggakan kejayaan Pelabuhan Makassar yang pada abad ke-16 berhasil menjadi salah satu pelabuhan perdagangan terbesar di nusantara.
Dalam beberapa literatur sejarah, Pelabuhan Makassar menjadi pusat niaga rempah-rempah maupun nonrempah seperti beras dan kain tenun.
Berbagai peristiwa mewarnai kebesaran dari pelabuhan, seperti pada peristiwa penaklukan Malaka oleh Portugis pada 1511 yang dalam upaya untuk menguasai lalu lintas di Selat Malaka.
Peristiwa itu mendorong terjadinya perdagangan dengan rute alternatif seraya melintasi Semenanjung dan melalui pantai barat Sumatera ke Selat Sunda. Pergeseran itu kemudian melahirkan pelabuhan perantara baru di Aceh, Tenasserim, Ayutthaya, Patani, Pahang, Johor, Banten, Manila, Makassar, Brunei, Kamboja, Gampa dan Hoi An.
Pada abad ke-17, Makassar dikenal sebagai pengekspor pakaian terkemuka di Nusantara. Proses ini diperkuat oleh berhasilnya sejarah Makassar menjadikan dirinya sebagai titik pusat bagi pedagang rempah-rempah dan oleh penaklukannya atas pusat-pusat ekspor Sumbawa serta Selayar.
Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo yang bercermin pada kejayaan masa lalu itu terus berharap akan adanya upaya dalam pengembangan dan pengembalian kejayaan masa lampau itu.
Harapan gubernur itu kemudian akan menjadi kenyataan setelah Presiden Joko Widodo pada Mei 2015 telah menetapkan Makassar New Port (MNP) sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN).
Sebelum peresmian dan pencanangan itu, gubernur pernah menargetkan pendapatan pada sektor maritim sebesar Rp11 triliun.
"Potensi sumber daya laut kita dari sektor kelautan dan perikanan ini sangat melimpah dan saya berharap di tahun mendatang sudah bisa menembus angka Rp11 triliun," jelas SYL dalam Forum Nasional Indonesia National Shipowners Association (INSA) 2017.
Target pendapatan pada sektor maritim ini sudah menyesuaikan dengan sumber daya alam Sulsel serta tren peningkatan capaian dari tahun ke tahun. Syahrul, bahkan mengaku jika target tersebut bukan mustahil untuk dicapai mengingat besarnya potensi kemaritiman yang dimiliki oleh Sulsel.
"Kebutuhan pangan darat telah berhasil dicapai, sekarang waktunya untuk meningkatkan pangan laut. Jika melihat potensinya, kami targetkan angkanya bisa melampaui itu," terangnya.
Dengan banyaknya pulau dan perairan yang memiliki sumber daya laut, Sulsel masih jauh tertinggal dari daerah lain yang sama-sama memiliki kekayaan laut.
Melihat hal ini, gubernur akan mencoba meningkatkan pendapatan masyarakat di pesisir agar mereka mampu menjadi pondasi perekonomian Sulsel.
"Masyarakat harus meninggalkan aktivitas-aktivitas yang dapat merusak kekayaan laut kita, dan harus bersama-sama menjaga potensi kemaritiman kita," tambahnya.
Secara geografis Sulsel yang ditopang panjang pantai hampir 2.000 kilometer persegi dan memiliki 362 pulau kecil, menjadikan daerah ini berpotensi besar menjadi pusat poros maritim di wilayah timur Indonesia.
10 tahun berjuang
Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo menyatakan Pemerintah Provinsi sudah berjuang sejak 10 tahun lalu agar akses pelayaran perdana (direct call) bisa dilakukan.
"Sejak 10 tahun lalu kita berjuang dan Alhamdulillah di tahun ketujuh saya jadi gubernur itu sudah bisa tercapai sekarang dan itu dipenuhi oleh Pak Doso (Direktur Utama Pelindo IV)," kata Syahrul Yasin Limpo.
Dia mengatakan, direct call ini merupakan jalur pelayaran langsung Internasional yang dimulai dari Kota Makassar menuju Hongkong dan Kota Dili, Timor Leste.
Pelabuhan bersama Bandar Udara (Bandara) adalah bagian dari konektivitas dunia. Makanya, keduanya merupakan pintu gerbang yang menghubungkan satu dengan negara lainnya.
Di hadapan para pemangku kepentingan dan Asosiasi Logistik Forwarder Indonesia (ALFI) itu, dia mengungkapkan bahwa sekarang adalah waktunya mengembalikan kejayaan dunia seperti pada masa abad ke-16.
"Dahulu kala, di abad ke-16, Pelabuhan Makassar adalah pelabuhan terbesar dan menjadi pusat perdagangan di Asia. Jadi tidak heran kalau sejak dulu di sini di Makassar sudah ada orang mancanegara dari berbagai benua," katanya.
Sementara itu, Direktur Utama Pelindo IV Doso Agung mengatakan, direct call melalui TPM merupakan salah satu terobosoan yang dilakukan pihaknya di penghujung tahun ini.
Pihaknya memang berencana membangun interkonektivitas di Indonesia Timur untuk menjamin ketersediaan muatan, sehingga pelayaran dari dan ke Makassar-Hongkong dan Makassar-Dili dapat dilakukan secara rutin setiap minggu.
Dengan rute yang ada sekarang ini yakni Pelabuhan Makassar-Jakarta-Bututu-Manila-Batangas (Filipina), Hongkong-Shekou (Cina)-Manila serta Cebu.
"Dari sisi pendapatan perusahaan sendiri, dengan adanya terobosan ini kami optimistis bisa mendongkrak pendapatan Pelindo IV antara 10 persen hingga 15 persen pada tahun depan," katanya.
Doso Agung juga mengungkapkan, direct call merupakan salah satu upaya pihaknya untuk mengembalikan kejayaan Kota Makassar yang memang dikenal sebagai Kota Bandar Pelabuhan di masa lalu.
Dengan begitu, masyarakat Kota Makassar dan Sulsel pada umumnya akan dapat menikmati barang yang murah dan juga bisa meningkatkan pendapatan daerah Sulsel.
Pelindo IV juga menyiapkan tiga pelabuhan untuk kegiatan direct call atau pengiriman langsung ke luar negeri guna mendukung pasar komoditas di Kawasan Timur Indonesia (KTI).
Dirut PT Pelindo IV Farid Padang mengatakan selama ini Makassar selalu menjadi hub untuk direct call dan direct export dari KTI. Berkaitan dengan hal itu, maka pihaknya juga menyiapkan pengiriman langsung ke luar negeri melalui SeaLand dari Terminal Peti Kemas Kariangau, sehingga sudah ada tiga pelabuhan kelolaan Pelindo IV yang melakukan kegiatan pelayaran langsung ke luar negeri.
"Terminal Peti kemas Makassar (TPM), Makassar New Port (MNP), dan Terminal Peti kemas Kariangau, sehingga kompetisi kegiatan ekspor juga akan terbagi dan volumenya jadi bertambah," kata Farid.
Sementara pengiriman komoditas ekspor Sulawesi Selatan baik hasil perkebunan maupun perikanan melalui Kapal Maersk Wolgast pertama kali dilakukan melalui TPM pada akhir pekan ini.
Adapun rute Kapal Maersk Wolgast untuk sejumlah negara Asia yaitu Tanjung Pelepas, Singapura, Makassar, Balikpapan, Tawau, Davao City, Cagayan de Oro, Shanghai, Ningbo Thilawa, dan Yangon.
Sementara itu terkait Virus corona yang sedang mewabah, pihaknya telah bekerja sama dengan Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) untuk terlebih dahulu memeriksa seluruh Anak Buah Kapal (ABK) Maersk Wolgast.
"Semua sudah dinyatakan clear and clean, sehingga kapalnya bisa sandar di TPM dan melakukan pengangkutan komoditas untuk dibawa ke negara tujuan," ucapnya.
Terancam tutup
Dewan Pengurus Pusat (DPP) Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (AFLI/ILFA) pernah memberikan kritikan dan masukan kepada pemerintah daerah agar menghadirkan pembentukan Pusat Logistik Berikat (PLB) jika tidak ingin program direct call ditutup seperti daerah lainnya.
Sekretaris Jenderal DPP AFLI/ALFI M Akbar Djohan pernah memberikan pandangannya di Makassar mengenai pentingnya PLB untuk mendukung direct call dan sinerginya dengan pelabuhan lainnya.
"Direct call di Makassar ini terancam akan tutup kalau permasalahan shipping line ini tidak diatur dengan baik, itu jika pemerintah daerah tidak tanggap," ujarnya.
Akbar Djohan mencontohkan, jalur pelayaran langsung internasional atau direct call yang sudah tutup antara lain di Bitung, Sulawesi Utara. Jika Makassar tidak berbenah, maka "direct call" ini pasti akan ditutup.
"Permasalahan shipping line jelas akan sulit masuk Makassar, jika pemerintah daerah tidak menjamin stok komoditas ekspor di Sulsel," katanya saat acara Temu Pengusaha & Outlook Bisnis Logistik di Makassar.
Jika tantangan utama yang dihadapi Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan yakni bagaimana mengembalikan Sulsel sebagai gerbang pintu masuk seluruh proses pengiriman barang untuk wilayah timur.
"Kembalikan lagi statusnya. Di zaman Belanda dulu, Makassar ini pernah menjadi pusat pedagangan regional. Makanya, kembalikan kejayaan itu," ucapnya.
Kendala pengusaha yang dihadapi saat ini adalah biaya pengiriman yang tergolong mahal, proses administrasi perizinan, pemeriksaan barang dan ketentuan ekspor lainnya juga disebut menyulitkan pengusaha logistik.
"Pengusaha tentu mencari yang mudah. Apalagi saat ini kebanyakan pengusaha logistik di Sulsel mengekspor barang melalui pelabuhan lain, seperti Jakarta dan Surabaya," jelasnya.
Kenapa para pengusaha lebih memilih pelabuhan lainnya, lanjut Akbar, karena di Makassar ini yang menjadi pintu gerbang Kawasan Timur Indonesia tidak memiliki PLB.
Akbar berharap agar pemerintah provinsi bisa memikirkan hal ini dan segera mengajak para pengusaha di DPD ALFI membahas rencana pembangunan PLB tersebut tanpa harus memulai dari nol pembangunannya.
"Pak Gubernur tidak usah berfikir untuk membuat dan membangun PLB ini dari nol cukup dengan memanfaatkan yang ada sekarang ini seperti yang ada di KIMA (Kawasan Industri Makassar). Di sana kan sangat luas, sedangkan PLB ini cukup 5.000 meter persegi sudah bisa beroperasi dengan baik," sebutnya.
Pemprov Sulsel yang tidak ingin upayanya itu mengalami kemunduran kemudian mulai merespons hal tersebut dengan langsung membangun Pusat Logistik Berikat (PLB). PLB dan fasilitas Pengusaha Dalam Pusat Logistik Berikat (PDPLB) yang pertama di bangun di Sulsel itu juga menjadi bentuk harmonisasi seluruh instansi terkait yang bertujuan untuk mewujudkan logistik, terkhusus logistik yang efisien.
Pembangunan PLB dan PDPLB mendapat dukungan dari Bea Cukai Sulawesi Bagian Selatan (Sulbagsel) yang juga menjadi otoritas yang memegang mandatori atas PLB di Tanah Air.
Kepala Bidang Fasilitas Kepabeanan dan Cukai Kanwil Sulbagsel, Gatot Hartono menjelaskan bahwa kedua fasilitas tersebut merupakan yang pertama kalinya di Indonesia bagian timur sebagai antisipasi maraknya pertumbuhan bisnis melalui perdagangan elektronik.
"Pemanfaatan teknologi digital membuat sistem pengiriman barang menjadi mudah dan cepat, termasuk menyangkut lintas batas kepabeanan, distribusi, serta logistik barang," ujarnya.
Dia menyebutkan, PLB itu juga telah menerapkan konsep PLB Generasi II untuk mendukung industri, ekonomi digital, ketahanan nasional, distribusi dan hub logistik, dan industri kecil dan menengah, di wilayah timur.
Adapaun PLB sebagai supporting industry, digital economy, PLB industri besar, PLB IKM, PLB HUB Cargo, PLB e-commerce, PLB barang jadi, PLB bahan pokok, PLB floating storage dan PLB ekspor barang komoditas.
Gatot berharap layanan fasilitas ini dapat menjadikan kegiatan niaga daring lintas batas di Indonesia Timur semakin berkembang khususnya di Makassar.
Dia berharap, fasilitas PLB dan PDPLB ini akan membawa dampak ekonomi yang positif, yaitu timbulnya kegiatan ekonomi lainnya dari sisi penerimaan bea masuk dan pajak juga pasti berkembang dikarenakan adanya transparansi barang-barang yang diimpor ke Indonesia Timur baik dari sisi jumlah, jenis, dan juga harga.
"Bea Cukai telah memberi banyak fasilitas demi kesejahteraan industri. Dengan keberadaan PLB dan PDPLB ini tentunya juga akan mampu menambah penerimaan negara dari sektor bea masuk dan PDRI," ungkap Gatot.
Berbagai upaya dan terobosan terus dimaksimalkan dalam menjadikan Sulawesi Selatan sebagai poros maritim. Pemerintah pusat pun mendorong upaya itu dan Pemerintah Provinsi Sulsel bersama PT Pelabuhan Indonesia sejak beberapa tahun telah menggenjot pembangunan pada sektor tersebut.
Melalui Proyek Strategis Nasional (PSN) yakni Makassar New Port pada Mei 2015, pemerintah secara resmi memulai pembangunannya dan anggaran yang digelontorkan dalam mewujudkan cita-cita bangsa itu senilai Rp 2,51 triliun.
Direktur Utama PT Pelindo IV Farid Padang mengatakan proyek MNP dibagi dalam tiga tahap. Tahap I, proses pembangunannya dibagi lagi per paket, yaitu Paket A, B, C dan D. Total lahan untuk MNP ini adalah 1.428 hektare.
"Ini adalah proyek karya anak bangsa dan nilai investasinya sebesar Rp89,57 triliun," ujarnya.
Pembangunan proyek nasional itu dikebut, pengerjaan untuk Paket I B juga menghabiskan anggaran total sebesar Rp1,66 triliun (2018-2020) yang berdasarkan rencana akan selesai hingga 2022. Setelah rampung, akan dilanjutkan Paket I C dengan besaran biaya Rp2,69 triliun (2020-2022) dan Paket I D dengan total investasi sebesar Rp6,14 triliun yang juga telah memulai pembangunannya sejak 2015 hingga 2022.
Sementara untuk pembangunan MNP Tahap II yang pembangunannya bakal dimulai pada 2022 hingga 2025, pihaknya menargetkan investasi yang bakal diserap sebesar Rp10,01 triliun.
"Untuk pembangunan MNP Tahap III atau tahap akhir itu akan di bangun tahun 2022 hingga 2025 dengan biaya investasi sebesar Rp66,56 triliun," katanya.
Hingga rampungnya proyek strategis nasional itu, MNP akan memiliki dermaga yang panjangnya sekitar 9.923 meter dengan kapasitas terpasang sebesar 17,5 juta TEUs per tahunnya.
Di masa pemerintahan Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo 2008-2013 dan 2013-2018, pada beberapa kesempatan selalu membanggakan kejayaan Pelabuhan Makassar yang pada abad ke-16 berhasil menjadi salah satu pelabuhan perdagangan terbesar di nusantara.
Dalam beberapa literatur sejarah, Pelabuhan Makassar menjadi pusat niaga rempah-rempah maupun nonrempah seperti beras dan kain tenun.
Berbagai peristiwa mewarnai kebesaran dari pelabuhan, seperti pada peristiwa penaklukan Malaka oleh Portugis pada 1511 yang dalam upaya untuk menguasai lalu lintas di Selat Malaka.
Peristiwa itu mendorong terjadinya perdagangan dengan rute alternatif seraya melintasi Semenanjung dan melalui pantai barat Sumatera ke Selat Sunda. Pergeseran itu kemudian melahirkan pelabuhan perantara baru di Aceh, Tenasserim, Ayutthaya, Patani, Pahang, Johor, Banten, Manila, Makassar, Brunei, Kamboja, Gampa dan Hoi An.
Pada abad ke-17, Makassar dikenal sebagai pengekspor pakaian terkemuka di Nusantara. Proses ini diperkuat oleh berhasilnya sejarah Makassar menjadikan dirinya sebagai titik pusat bagi pedagang rempah-rempah dan oleh penaklukannya atas pusat-pusat ekspor Sumbawa serta Selayar.
Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo yang bercermin pada kejayaan masa lalu itu terus berharap akan adanya upaya dalam pengembangan dan pengembalian kejayaan masa lampau itu.
Harapan gubernur itu kemudian akan menjadi kenyataan setelah Presiden Joko Widodo pada Mei 2015 telah menetapkan Makassar New Port (MNP) sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN).
Sebelum peresmian dan pencanangan itu, gubernur pernah menargetkan pendapatan pada sektor maritim sebesar Rp11 triliun.
"Potensi sumber daya laut kita dari sektor kelautan dan perikanan ini sangat melimpah dan saya berharap di tahun mendatang sudah bisa menembus angka Rp11 triliun," jelas SYL dalam Forum Nasional Indonesia National Shipowners Association (INSA) 2017.
Target pendapatan pada sektor maritim ini sudah menyesuaikan dengan sumber daya alam Sulsel serta tren peningkatan capaian dari tahun ke tahun. Syahrul, bahkan mengaku jika target tersebut bukan mustahil untuk dicapai mengingat besarnya potensi kemaritiman yang dimiliki oleh Sulsel.
"Kebutuhan pangan darat telah berhasil dicapai, sekarang waktunya untuk meningkatkan pangan laut. Jika melihat potensinya, kami targetkan angkanya bisa melampaui itu," terangnya.
Dengan banyaknya pulau dan perairan yang memiliki sumber daya laut, Sulsel masih jauh tertinggal dari daerah lain yang sama-sama memiliki kekayaan laut.
Melihat hal ini, gubernur akan mencoba meningkatkan pendapatan masyarakat di pesisir agar mereka mampu menjadi pondasi perekonomian Sulsel.
"Masyarakat harus meninggalkan aktivitas-aktivitas yang dapat merusak kekayaan laut kita, dan harus bersama-sama menjaga potensi kemaritiman kita," tambahnya.
Secara geografis Sulsel yang ditopang panjang pantai hampir 2.000 kilometer persegi dan memiliki 362 pulau kecil, menjadikan daerah ini berpotensi besar menjadi pusat poros maritim di wilayah timur Indonesia.
10 tahun berjuang
Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo menyatakan Pemerintah Provinsi sudah berjuang sejak 10 tahun lalu agar akses pelayaran perdana (direct call) bisa dilakukan.
"Sejak 10 tahun lalu kita berjuang dan Alhamdulillah di tahun ketujuh saya jadi gubernur itu sudah bisa tercapai sekarang dan itu dipenuhi oleh Pak Doso (Direktur Utama Pelindo IV)," kata Syahrul Yasin Limpo.
Dia mengatakan, direct call ini merupakan jalur pelayaran langsung Internasional yang dimulai dari Kota Makassar menuju Hongkong dan Kota Dili, Timor Leste.
Pelabuhan bersama Bandar Udara (Bandara) adalah bagian dari konektivitas dunia. Makanya, keduanya merupakan pintu gerbang yang menghubungkan satu dengan negara lainnya.
Di hadapan para pemangku kepentingan dan Asosiasi Logistik Forwarder Indonesia (ALFI) itu, dia mengungkapkan bahwa sekarang adalah waktunya mengembalikan kejayaan dunia seperti pada masa abad ke-16.
"Dahulu kala, di abad ke-16, Pelabuhan Makassar adalah pelabuhan terbesar dan menjadi pusat perdagangan di Asia. Jadi tidak heran kalau sejak dulu di sini di Makassar sudah ada orang mancanegara dari berbagai benua," katanya.
Sementara itu, Direktur Utama Pelindo IV Doso Agung mengatakan, direct call melalui TPM merupakan salah satu terobosoan yang dilakukan pihaknya di penghujung tahun ini.
Pihaknya memang berencana membangun interkonektivitas di Indonesia Timur untuk menjamin ketersediaan muatan, sehingga pelayaran dari dan ke Makassar-Hongkong dan Makassar-Dili dapat dilakukan secara rutin setiap minggu.
Dengan rute yang ada sekarang ini yakni Pelabuhan Makassar-Jakarta-Bututu-Manila-Batangas (Filipina), Hongkong-Shekou (Cina)-Manila serta Cebu.
"Dari sisi pendapatan perusahaan sendiri, dengan adanya terobosan ini kami optimistis bisa mendongkrak pendapatan Pelindo IV antara 10 persen hingga 15 persen pada tahun depan," katanya.
Doso Agung juga mengungkapkan, direct call merupakan salah satu upaya pihaknya untuk mengembalikan kejayaan Kota Makassar yang memang dikenal sebagai Kota Bandar Pelabuhan di masa lalu.
Dengan begitu, masyarakat Kota Makassar dan Sulsel pada umumnya akan dapat menikmati barang yang murah dan juga bisa meningkatkan pendapatan daerah Sulsel.
Pelindo IV juga menyiapkan tiga pelabuhan untuk kegiatan direct call atau pengiriman langsung ke luar negeri guna mendukung pasar komoditas di Kawasan Timur Indonesia (KTI).
Dirut PT Pelindo IV Farid Padang mengatakan selama ini Makassar selalu menjadi hub untuk direct call dan direct export dari KTI. Berkaitan dengan hal itu, maka pihaknya juga menyiapkan pengiriman langsung ke luar negeri melalui SeaLand dari Terminal Peti Kemas Kariangau, sehingga sudah ada tiga pelabuhan kelolaan Pelindo IV yang melakukan kegiatan pelayaran langsung ke luar negeri.
"Terminal Peti kemas Makassar (TPM), Makassar New Port (MNP), dan Terminal Peti kemas Kariangau, sehingga kompetisi kegiatan ekspor juga akan terbagi dan volumenya jadi bertambah," kata Farid.
Sementara pengiriman komoditas ekspor Sulawesi Selatan baik hasil perkebunan maupun perikanan melalui Kapal Maersk Wolgast pertama kali dilakukan melalui TPM pada akhir pekan ini.
Adapun rute Kapal Maersk Wolgast untuk sejumlah negara Asia yaitu Tanjung Pelepas, Singapura, Makassar, Balikpapan, Tawau, Davao City, Cagayan de Oro, Shanghai, Ningbo Thilawa, dan Yangon.
Sementara itu terkait Virus corona yang sedang mewabah, pihaknya telah bekerja sama dengan Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) untuk terlebih dahulu memeriksa seluruh Anak Buah Kapal (ABK) Maersk Wolgast.
"Semua sudah dinyatakan clear and clean, sehingga kapalnya bisa sandar di TPM dan melakukan pengangkutan komoditas untuk dibawa ke negara tujuan," ucapnya.
Terancam tutup
Dewan Pengurus Pusat (DPP) Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (AFLI/ILFA) pernah memberikan kritikan dan masukan kepada pemerintah daerah agar menghadirkan pembentukan Pusat Logistik Berikat (PLB) jika tidak ingin program direct call ditutup seperti daerah lainnya.
Sekretaris Jenderal DPP AFLI/ALFI M Akbar Djohan pernah memberikan pandangannya di Makassar mengenai pentingnya PLB untuk mendukung direct call dan sinerginya dengan pelabuhan lainnya.
"Direct call di Makassar ini terancam akan tutup kalau permasalahan shipping line ini tidak diatur dengan baik, itu jika pemerintah daerah tidak tanggap," ujarnya.
Akbar Djohan mencontohkan, jalur pelayaran langsung internasional atau direct call yang sudah tutup antara lain di Bitung, Sulawesi Utara. Jika Makassar tidak berbenah, maka "direct call" ini pasti akan ditutup.
"Permasalahan shipping line jelas akan sulit masuk Makassar, jika pemerintah daerah tidak menjamin stok komoditas ekspor di Sulsel," katanya saat acara Temu Pengusaha & Outlook Bisnis Logistik di Makassar.
Jika tantangan utama yang dihadapi Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan yakni bagaimana mengembalikan Sulsel sebagai gerbang pintu masuk seluruh proses pengiriman barang untuk wilayah timur.
"Kembalikan lagi statusnya. Di zaman Belanda dulu, Makassar ini pernah menjadi pusat pedagangan regional. Makanya, kembalikan kejayaan itu," ucapnya.
Kendala pengusaha yang dihadapi saat ini adalah biaya pengiriman yang tergolong mahal, proses administrasi perizinan, pemeriksaan barang dan ketentuan ekspor lainnya juga disebut menyulitkan pengusaha logistik.
"Pengusaha tentu mencari yang mudah. Apalagi saat ini kebanyakan pengusaha logistik di Sulsel mengekspor barang melalui pelabuhan lain, seperti Jakarta dan Surabaya," jelasnya.
Kenapa para pengusaha lebih memilih pelabuhan lainnya, lanjut Akbar, karena di Makassar ini yang menjadi pintu gerbang Kawasan Timur Indonesia tidak memiliki PLB.
Akbar berharap agar pemerintah provinsi bisa memikirkan hal ini dan segera mengajak para pengusaha di DPD ALFI membahas rencana pembangunan PLB tersebut tanpa harus memulai dari nol pembangunannya.
"Pak Gubernur tidak usah berfikir untuk membuat dan membangun PLB ini dari nol cukup dengan memanfaatkan yang ada sekarang ini seperti yang ada di KIMA (Kawasan Industri Makassar). Di sana kan sangat luas, sedangkan PLB ini cukup 5.000 meter persegi sudah bisa beroperasi dengan baik," sebutnya.
Pemprov Sulsel yang tidak ingin upayanya itu mengalami kemunduran kemudian mulai merespons hal tersebut dengan langsung membangun Pusat Logistik Berikat (PLB). PLB dan fasilitas Pengusaha Dalam Pusat Logistik Berikat (PDPLB) yang pertama di bangun di Sulsel itu juga menjadi bentuk harmonisasi seluruh instansi terkait yang bertujuan untuk mewujudkan logistik, terkhusus logistik yang efisien.
Pembangunan PLB dan PDPLB mendapat dukungan dari Bea Cukai Sulawesi Bagian Selatan (Sulbagsel) yang juga menjadi otoritas yang memegang mandatori atas PLB di Tanah Air.
Kepala Bidang Fasilitas Kepabeanan dan Cukai Kanwil Sulbagsel, Gatot Hartono menjelaskan bahwa kedua fasilitas tersebut merupakan yang pertama kalinya di Indonesia bagian timur sebagai antisipasi maraknya pertumbuhan bisnis melalui perdagangan elektronik.
"Pemanfaatan teknologi digital membuat sistem pengiriman barang menjadi mudah dan cepat, termasuk menyangkut lintas batas kepabeanan, distribusi, serta logistik barang," ujarnya.
Dia menyebutkan, PLB itu juga telah menerapkan konsep PLB Generasi II untuk mendukung industri, ekonomi digital, ketahanan nasional, distribusi dan hub logistik, dan industri kecil dan menengah, di wilayah timur.
Adapaun PLB sebagai supporting industry, digital economy, PLB industri besar, PLB IKM, PLB HUB Cargo, PLB e-commerce, PLB barang jadi, PLB bahan pokok, PLB floating storage dan PLB ekspor barang komoditas.
Gatot berharap layanan fasilitas ini dapat menjadikan kegiatan niaga daring lintas batas di Indonesia Timur semakin berkembang khususnya di Makassar.
Dia berharap, fasilitas PLB dan PDPLB ini akan membawa dampak ekonomi yang positif, yaitu timbulnya kegiatan ekonomi lainnya dari sisi penerimaan bea masuk dan pajak juga pasti berkembang dikarenakan adanya transparansi barang-barang yang diimpor ke Indonesia Timur baik dari sisi jumlah, jenis, dan juga harga.
"Bea Cukai telah memberi banyak fasilitas demi kesejahteraan industri. Dengan keberadaan PLB dan PDPLB ini tentunya juga akan mampu menambah penerimaan negara dari sektor bea masuk dan PDRI," ungkap Gatot.