Jaksa KPK ajukan memori kasasi atas putusan hakim bebaskan Samin Tan
Jakarta (ANTARA) - Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menyerahkan memori kasasi ke Mahkamah Agung (MA) untuk terdakwa pemilik PT Borneo Lumbung Energi dan Metal Tbk (BLEM) Samin Tan.
"Tim jaksa KPK pada Kamis (9/9) telah menyerahkan memori kasasi ke MA atas nama terdakwa Samin Tan melalui kepaniteraan pidana khusus Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat," kata Pelakana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri, di Jakarta, Jumat.
Pada 30 Agustus 2021 lalu, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta membebaskan Samin Tan dari semua dakwaan JPU KPK.
"Kami menilai majelis hakim pada tingkat pertama tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya, utamanya terkait penerapan pembuktian unsur gratifikasi sebagaimana Pasal 12 B UU Pemberantasan Tipikor," kata Ali.
Menurut Ali, dalam beberapa putusan perkara lain terkait pembuktian Pasal 12 B dapat diterapkan, sehingga surat dakwaan jaksa dapat dinyatakan terbukti.
"KPK berharap dalil dan argumentasi hukum tim jaksa KPK dapat diterima dan diambil alih oleh majelis hakim pada tingkat kasasi," ujar Ali.
Samin Tan sudah dibebaskan dari Rutan Polres Jakarta Pusat pada 30 Agustus 2021.
Dalam perkara tersebut, Samin Tan didakwa memberikan uang kepada Eni Maulani Saragih selaku Anggota Komisi VII DPR periode 2014-2019 seluruhnya Rp5 miliar dalam tiga tahap. JPU KPK menuntut Samin Tan untuk divonis 3 tahun penjara ditambah denda sebesar Rp250 juta subsider 6 bulan kurungan.
Tujuan pemberian gratifikasi itu adalah agar Eni Maulani Saragih mau membantu permasalahan pemutusan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) Generasi 3 antara PT AKT dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Kalimantan Tengah.
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang terdiri dari Panji Surono, Teguh Santoso, dan Sukartono menyatakan bahwa perbuatan pemberi gratifikasi belum diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Terdakwa Samin Tan selaku pemberi gratifikasi kepada Eni Maulani Saragih selaku anggota DPR belum diatur dalam peraturan perundang-perundangan, yang diatur adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dalam batas 30 hari tidak melaporkan ke KPK sesuai Pasal 12 B, sehingga karena Eni Maulani tidak melaporkan gratifikasi maka diancam dalam Pasal 12 B," ujar hakim anggota Teguh Santosa.
Menurut majelis hakim, Pasal 12 B UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 bukan merupakan delik suap, tapi merupakan delik gratifikasi, maka sangat tidak mungkin dalam gratifikasi itu mengancam pidana bagi yang memberikan.
"Sejak awal UU KPK dibentuk, gratifikasi tidak dirancang untuk juga menjadi tindak pidana suap, gratifikasi menjadi perbuatan yang dilarang terjadi saat penerima gratifikasi tidak melaporkan hingga lewat tenggat waktu yang ditentukan UU," kata hakim Teguh.
Delik gratifikasi, menurut hakim, menjadi sempurna ketika penyelenggara negara tersebut yaitu Eni Maulani Saragih tidak melaporkan menerima sesuatu dalam waktu 30 hari sejak pemberian sesuatu diterima sebagaimana diatur dalam Pasal 12 B.
"Menimbang karena belum diatur dalam peraturan perundangan, maka dikaitkan dengan Pasal 1 ayat 1 KUHAP menyatakan pelaku perbuatan tidak akan dipidana kecuali dengan peraturan perundangan yang sudah ada, maka ketentuan Pasal 12 B tidak ditujukan kepada pemberi sesuatu dan kepadanya tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya," ujar hakim pula.
Hakim juga menyebut bahwa Samin Tan adalah korban dari Eni Maulani Saragih.
"Terdakwa Samin Tan adalah korban dari Eni Maulani Saragih yang meminta uang untuk membiayai pencalonan suaminya sebagai calon kepala daerah di Kabupaten Temanggung Jawa Tengah," kata hakim.
Samin Tan sempat masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) sejak 17 April 2020 sampai akhirnya ditangkap pada 5 April 2021 di Jakarta.
"Tim jaksa KPK pada Kamis (9/9) telah menyerahkan memori kasasi ke MA atas nama terdakwa Samin Tan melalui kepaniteraan pidana khusus Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat," kata Pelakana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri, di Jakarta, Jumat.
Pada 30 Agustus 2021 lalu, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta membebaskan Samin Tan dari semua dakwaan JPU KPK.
"Kami menilai majelis hakim pada tingkat pertama tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya, utamanya terkait penerapan pembuktian unsur gratifikasi sebagaimana Pasal 12 B UU Pemberantasan Tipikor," kata Ali.
Menurut Ali, dalam beberapa putusan perkara lain terkait pembuktian Pasal 12 B dapat diterapkan, sehingga surat dakwaan jaksa dapat dinyatakan terbukti.
"KPK berharap dalil dan argumentasi hukum tim jaksa KPK dapat diterima dan diambil alih oleh majelis hakim pada tingkat kasasi," ujar Ali.
Samin Tan sudah dibebaskan dari Rutan Polres Jakarta Pusat pada 30 Agustus 2021.
Dalam perkara tersebut, Samin Tan didakwa memberikan uang kepada Eni Maulani Saragih selaku Anggota Komisi VII DPR periode 2014-2019 seluruhnya Rp5 miliar dalam tiga tahap. JPU KPK menuntut Samin Tan untuk divonis 3 tahun penjara ditambah denda sebesar Rp250 juta subsider 6 bulan kurungan.
Tujuan pemberian gratifikasi itu adalah agar Eni Maulani Saragih mau membantu permasalahan pemutusan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) Generasi 3 antara PT AKT dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Kalimantan Tengah.
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang terdiri dari Panji Surono, Teguh Santoso, dan Sukartono menyatakan bahwa perbuatan pemberi gratifikasi belum diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Terdakwa Samin Tan selaku pemberi gratifikasi kepada Eni Maulani Saragih selaku anggota DPR belum diatur dalam peraturan perundang-perundangan, yang diatur adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dalam batas 30 hari tidak melaporkan ke KPK sesuai Pasal 12 B, sehingga karena Eni Maulani tidak melaporkan gratifikasi maka diancam dalam Pasal 12 B," ujar hakim anggota Teguh Santosa.
Menurut majelis hakim, Pasal 12 B UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 bukan merupakan delik suap, tapi merupakan delik gratifikasi, maka sangat tidak mungkin dalam gratifikasi itu mengancam pidana bagi yang memberikan.
"Sejak awal UU KPK dibentuk, gratifikasi tidak dirancang untuk juga menjadi tindak pidana suap, gratifikasi menjadi perbuatan yang dilarang terjadi saat penerima gratifikasi tidak melaporkan hingga lewat tenggat waktu yang ditentukan UU," kata hakim Teguh.
Delik gratifikasi, menurut hakim, menjadi sempurna ketika penyelenggara negara tersebut yaitu Eni Maulani Saragih tidak melaporkan menerima sesuatu dalam waktu 30 hari sejak pemberian sesuatu diterima sebagaimana diatur dalam Pasal 12 B.
"Menimbang karena belum diatur dalam peraturan perundangan, maka dikaitkan dengan Pasal 1 ayat 1 KUHAP menyatakan pelaku perbuatan tidak akan dipidana kecuali dengan peraturan perundangan yang sudah ada, maka ketentuan Pasal 12 B tidak ditujukan kepada pemberi sesuatu dan kepadanya tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya," ujar hakim pula.
Hakim juga menyebut bahwa Samin Tan adalah korban dari Eni Maulani Saragih.
"Terdakwa Samin Tan adalah korban dari Eni Maulani Saragih yang meminta uang untuk membiayai pencalonan suaminya sebagai calon kepala daerah di Kabupaten Temanggung Jawa Tengah," kata hakim.
Samin Tan sempat masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) sejak 17 April 2020 sampai akhirnya ditangkap pada 5 April 2021 di Jakarta.