Direktur IESR: Perlu aksi nyata transisi energi untuk turunkan emisi GRK
Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan perlu adanya aksi nyata untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) salah satunya adalah transisi ke energi hijau.
Dalam keterangan yang diterima di Jakarta pada Selasa, Fabby mengatakan penurunan emisi karbon itu adalah hasil dari aksi dan banyak yang menunggu tindakan nyata dilakukan setelah COP-26 yang dilaksanakan di Inggris pada awal November lalu.
Dia secara khusus menyoroti di Indonesia masih perlu mempercepat transisi dari energi yang menggunakan bahan bakar fosil menuju energi hijau. Hal itu penting karena batu bara masih menjadi sumber utama energi listrik.
"Transisi ini bukan hanya tentang Indonesia, tetapi masyarakat internasional turut mengamati sehingga kita perlu menunjukkan kemajuan kita untuk menjaga akuntabilitas kita, dan kemudian untuk menarik lebih banyak bantuan internasional," jelas Fabby.
Menurutnya, beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mempercepat transisi seperti mempensiunkan dini pembangkit batu bara, meningkatkan proyek-proyek energi terbarukan serta membantu PLN dalam lelang pengadaan energi baru terbarukan.
Dalam pernyataan serupa Direktur Climate Policy Initiative (CPI) Indonesia Tiza Mafira mendorong pemerintah untuk terus konsisten melakukan transisi ke energi baru terbarukan.
Salah satu caranya, menurut Tiza, adalah menghilangkan insentif pajak dan subsidi untuk batu bara dan mengalihkannya kepada instalasi energi baru terbarukan.
Saat ini sudah semakin banyak konsumen yang mulai menggunakan energi baru terbarukan, seperti panel surya dan mobil listrik. Namun, menurutnya masih masa ada anggapan bahwa untuk beralih ke energi hijau memerlukan harga yang tidak terjangkau.
Demi mengatasi hal itu, Tiza beranggapan bahwa pemerintah dan institusi keuangan bisa mengadakan insentif dan skema pembiayaan untuk membantunya.
"Misalnya subsidi untuk pemasangan (panel surya) di fasilitas umum, cicilan nol persen, atau skema sewa," demikian Tiza.
Dalam keterangan yang diterima di Jakarta pada Selasa, Fabby mengatakan penurunan emisi karbon itu adalah hasil dari aksi dan banyak yang menunggu tindakan nyata dilakukan setelah COP-26 yang dilaksanakan di Inggris pada awal November lalu.
Dia secara khusus menyoroti di Indonesia masih perlu mempercepat transisi dari energi yang menggunakan bahan bakar fosil menuju energi hijau. Hal itu penting karena batu bara masih menjadi sumber utama energi listrik.
"Transisi ini bukan hanya tentang Indonesia, tetapi masyarakat internasional turut mengamati sehingga kita perlu menunjukkan kemajuan kita untuk menjaga akuntabilitas kita, dan kemudian untuk menarik lebih banyak bantuan internasional," jelas Fabby.
Menurutnya, beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mempercepat transisi seperti mempensiunkan dini pembangkit batu bara, meningkatkan proyek-proyek energi terbarukan serta membantu PLN dalam lelang pengadaan energi baru terbarukan.
Dalam pernyataan serupa Direktur Climate Policy Initiative (CPI) Indonesia Tiza Mafira mendorong pemerintah untuk terus konsisten melakukan transisi ke energi baru terbarukan.
Salah satu caranya, menurut Tiza, adalah menghilangkan insentif pajak dan subsidi untuk batu bara dan mengalihkannya kepada instalasi energi baru terbarukan.
Saat ini sudah semakin banyak konsumen yang mulai menggunakan energi baru terbarukan, seperti panel surya dan mobil listrik. Namun, menurutnya masih masa ada anggapan bahwa untuk beralih ke energi hijau memerlukan harga yang tidak terjangkau.
Demi mengatasi hal itu, Tiza beranggapan bahwa pemerintah dan institusi keuangan bisa mengadakan insentif dan skema pembiayaan untuk membantunya.
"Misalnya subsidi untuk pemasangan (panel surya) di fasilitas umum, cicilan nol persen, atau skema sewa," demikian Tiza.