Rektor Unhas dorong penguatan sains mewujudkan Deklarasi Djuanda
Makassar (ANTARA) - Rektor Universitas Hasanuddin Prof Dr Jamaluddin Jompa MSc yang akrab disapa Prof JJ mendorong penguatan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam upaya mewujudkan Deklarasi Djuanda 1957.
Prof JJ mengatakan bahwa perairan Indonesia yang luas tidak akan berarti apa-apa jika tidak dimanfaatkan sebagai sebaik-baiknya untuk kemakmuran bangsa.
“Salah satu upaya yang harus dilakukan adalah memberikan penguatan di bidang iptek kemaritiman agar seluruh potensi maritim yang kita miliki dapat dimanfaatkan,” ujar Prof JJ pada Seminar Sehari Nusantara bekerjasama dengan Unhas dan Akademi Indonesia Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) di Makassar, Sabtu.
Untuk mencapai hal itu, lanjut Rektor Unhas, tentunya akan banyak tantangan yang dihadapi, terutama penyelesaian sumber daya manusia, review dan penguatan riset kemaritiman.
“Semua ini tentunya membutuhkan kerjasama dari berbagai pemangku kepentingan di bidang kemaritiman,” jelasnya.
Ketua AIPI Prof Satryo Soemantri Brodjonegoro, menjelaskan sebagai negara maritim yang bercita-cita menjadi poros maritim dunia, perlu kerja sama mensinergikan sistem teknologi dan industri secara strategis bagi negara kepulauan.
“Gagasan sistem teknologi strategis yang memungkinkan untuk kawasan nusantara sejalan dengan arah pembangunan ekonomi yang sedang dikembangkan,” ujarnya.
AIPI, lanjut Satrio, sebagai salah satu think tank di Indonesia akan memberikan sumbangsih pemikiran untuk menghadapi revitalisasi pembangunan maritim Indonesia secara lebih komprehensif.
Sementara itu, Prof Dr SM Noor mengomentari sejarah panjang Deklarasi Djuanda 1959
“Deklarasi Djuanda yang dipicu mendapat banyak penolakan dan konspirasi dari negara-negara kapitalis lautan,” kata Guru Besar Hukum Internasional Unhas itu.
Namun kemudian negara-negara tersebut dibungkam dengan keluarnya Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982) di Jamaika.
“Dari Deklarasi Djuanda banyak lahir undang-undang terkait penguasaan wilayah perairan di Indonesia, namun diakui yang kita miliki saat ini masih kurang,” kata SM Noor.
Pada panel pertama ini, Dr Hasanuddin Atjo, pelaku industri perikanan dan Ketua Shrimp Club Indonesia Sulampapua serta Ketua Lembaga Riset Kebumian dan Kelautan Prof Ocky Karna Radjasa hadir secara daring.
Pada panel kedua yang mengangkat tema keragaman sumber daya dan karakteristik lingkungan Indonesia, tampil diaspora Indonesia R Dwi Susanto PhD dari University of Maryland di Amerika Serikat.
Mantan peneliti BPPT lebih banyak mengungkapkan pentingnya kerjasama dan kemitraan untuk menghasilkan teknologi agar Indonesia mampu menguasai lautan dan mensurvei perairannya dengan baik.
Pembicara lainnya, Prof Djoko T Iskandar, menyampaikan sejumlah keistimewaan wilayah Indonesia dari aspek keanekaragaman hayati, khususnya di wilayah timur Indonesia.
“Wilayah segitiga Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara tidak ada tandingannya dalam keanekaragaman hayati yang unik di dunia,” ujar Biologi dari ITB ini.
Pembicara selanjutnya Prof. I Ketut Aria Pria dari AIPI dan Dr. Sudirman Saad dari BP Batam yang hadir langsung di Balai Prof. Amiruddin. Jauh lebih kuat dari render solder sebelumnya.
Pembicara satu-satunya dari Unhas dan perempuan satu-satunya, Dr Shinta Werorilangi, akan memaparkan pencemaran sampah di Indonesia yang telah masuk ke jaring makanan manusia melalui biota laut.
“Jadi berhati-hatilah makan ikan laut. Jangan makan perutnya," tambah Shinta yang merupakan dosen FIKP Unhas ini.
Prof JJ mengatakan bahwa perairan Indonesia yang luas tidak akan berarti apa-apa jika tidak dimanfaatkan sebagai sebaik-baiknya untuk kemakmuran bangsa.
“Salah satu upaya yang harus dilakukan adalah memberikan penguatan di bidang iptek kemaritiman agar seluruh potensi maritim yang kita miliki dapat dimanfaatkan,” ujar Prof JJ pada Seminar Sehari Nusantara bekerjasama dengan Unhas dan Akademi Indonesia Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) di Makassar, Sabtu.
Untuk mencapai hal itu, lanjut Rektor Unhas, tentunya akan banyak tantangan yang dihadapi, terutama penyelesaian sumber daya manusia, review dan penguatan riset kemaritiman.
“Semua ini tentunya membutuhkan kerjasama dari berbagai pemangku kepentingan di bidang kemaritiman,” jelasnya.
Ketua AIPI Prof Satryo Soemantri Brodjonegoro, menjelaskan sebagai negara maritim yang bercita-cita menjadi poros maritim dunia, perlu kerja sama mensinergikan sistem teknologi dan industri secara strategis bagi negara kepulauan.
“Gagasan sistem teknologi strategis yang memungkinkan untuk kawasan nusantara sejalan dengan arah pembangunan ekonomi yang sedang dikembangkan,” ujarnya.
AIPI, lanjut Satrio, sebagai salah satu think tank di Indonesia akan memberikan sumbangsih pemikiran untuk menghadapi revitalisasi pembangunan maritim Indonesia secara lebih komprehensif.
Sementara itu, Prof Dr SM Noor mengomentari sejarah panjang Deklarasi Djuanda 1959
“Deklarasi Djuanda yang dipicu mendapat banyak penolakan dan konspirasi dari negara-negara kapitalis lautan,” kata Guru Besar Hukum Internasional Unhas itu.
Namun kemudian negara-negara tersebut dibungkam dengan keluarnya Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982) di Jamaika.
“Dari Deklarasi Djuanda banyak lahir undang-undang terkait penguasaan wilayah perairan di Indonesia, namun diakui yang kita miliki saat ini masih kurang,” kata SM Noor.
Pada panel pertama ini, Dr Hasanuddin Atjo, pelaku industri perikanan dan Ketua Shrimp Club Indonesia Sulampapua serta Ketua Lembaga Riset Kebumian dan Kelautan Prof Ocky Karna Radjasa hadir secara daring.
Pada panel kedua yang mengangkat tema keragaman sumber daya dan karakteristik lingkungan Indonesia, tampil diaspora Indonesia R Dwi Susanto PhD dari University of Maryland di Amerika Serikat.
Mantan peneliti BPPT lebih banyak mengungkapkan pentingnya kerjasama dan kemitraan untuk menghasilkan teknologi agar Indonesia mampu menguasai lautan dan mensurvei perairannya dengan baik.
Pembicara lainnya, Prof Djoko T Iskandar, menyampaikan sejumlah keistimewaan wilayah Indonesia dari aspek keanekaragaman hayati, khususnya di wilayah timur Indonesia.
“Wilayah segitiga Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara tidak ada tandingannya dalam keanekaragaman hayati yang unik di dunia,” ujar Biologi dari ITB ini.
Pembicara selanjutnya Prof. I Ketut Aria Pria dari AIPI dan Dr. Sudirman Saad dari BP Batam yang hadir langsung di Balai Prof. Amiruddin. Jauh lebih kuat dari render solder sebelumnya.
Pembicara satu-satunya dari Unhas dan perempuan satu-satunya, Dr Shinta Werorilangi, akan memaparkan pencemaran sampah di Indonesia yang telah masuk ke jaring makanan manusia melalui biota laut.
“Jadi berhati-hatilah makan ikan laut. Jangan makan perutnya," tambah Shinta yang merupakan dosen FIKP Unhas ini.