Relasi panas dingin Amerika Serikat dan China
Jakarta (ANTARA) - Dalam teks klasik mengenai ilmu politik, ada anggapan dasar yang cukup dikenal, yakni negara-negara yang sama-sama menerapkan sistem politik demokrasi, kecil kemungkinannya untuk berperang.
Dalam konteks percaturan politik internasional, terutama dalam dekade mutakhir, fenomena perseteruan Amerika dengan China menjadi sorotan banyak pakar politik internasional.
Di era pemerintahan Presiden Donald Trump, perseteruan dagang yang tercermin dalam perang tarif antara AS versus China cukup mencolok.
Naiknya Joe Biden sebagai pemimpin tertinggi di AS tidak menghapus sama sekali perseteruan itu, namun sudah ada upaya untuk saling mengatasi perbedaan tajam dalam berbagai bidang.
Isu mutakhir yang merefleksikan perseteruan kedua negara besar itu bisa dilihat pada langkah Pemerintah AS untuk membatasi penggunaan aplikasi Tiktok di perangkat dinas pemerintahan AS.
Tiktok adalah aplikasi video populer yang dimiliki pengusaha China, Zhang Yiming.
Langkah Amerika membatasi pengaruh Tiktok itu dilakukan melalui instrumen parlemen.
Parlemen AS akan memasukkan larangan bagi pegawai pemerintah federal untuk menggunakan aplikasi buatan China, TikTok, dengan perangkat dinas.
Larangan itu akan disertakan dalam sebuah draf undang-undang anggaran negara.
Senat pekan lalu menggelar pemungutan suara untuk menyetujui rancangan undang-undang itu, yang disponsori Senator Josh Hawley dari Partai Republik.
RUU tersebut melarang pegawai federal untuk menggunakan aplikasi video singkat buatan ByteDance pada perangkat milik negara.
Langkah itu menjadi upaya terbaru para anggota parlemen AS untuk menindak tegas perusahaan-perusahaan China di tengah kekhawatiran terhadap keamanan nasional.
Larangan tersebut akan dimasukkan ke dalam perundangan omnibus, yang antara lain mengatur pembiayaan kegiatan operasional pemerintah AS.
Beda dengan era Trump, di era Biden sekarang ini ada upaya dari kalangan pejabat tinggi kedua negara untuk mencapai kesepakatan dalam mengatasi perseteruan itu.
Belum lama ini, Wakil Menteri Luar Negeri China Xie Feng mengadakan pertemuan dengan Asisten Menlu Amerika Serikat Urusan Asia Timur dan Pasifik Daniel Kritenbrink dan Direktur Senior Dewan Keamanan Nasional AS untuk China Laura Rosenberger di Langfang, Provinsi Hebei, China, pada 11-12 Desember 2022.
Pertemuan tersebut digelar sebagai tindak lanjut dari pertemuan Presiden China Xi Jinping dan Presiden AS Joe Biden di sela-sela KTT G20 di Bali pada 15 November 2022.
"Kedua belah pihak menindaklanjuti pemahaman bersama antara kedua kepala negara di Bali, meningkatkan konsultasi tentang prinsip-prinsip hubungan China-AS, dan mengatasi isu-isu penting dan sensitif dalam hubungan bilateral dengan benar, termasuk masalah Taiwan," kata juru bicara Kemlu China (MFA) Wang Wenbin.
Menurut dia, kedua belah pihak juga bertukar pandangan atas isu-isu internasional dan regional yang menjadi kepentingan bersama.
"Kedua belah pihak sepakat bahwa pertemuan dan pembicaraan bersifat adil, mendalam, dan konstruktif, serta sepakat untuk tetap menjaga komunikasi," katanya.
Wang juga menganggap ilegal sanksi yang dijatuhkan AS terhadap dua pejabat senior China terkait dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Tibet.
"Tibet jelas-jelas urusan dalam negeri China dan tidak boleh ada intervensi dari negara mana pun. AS tidak punya hak menjatuhkan sanksi terhadap negara lain," katanya.
Wang mendesak AS mencabut sanksi tersebut dan berhenti ikut campur dalam persoalan Tibet yang merupakan urusan dalam negeri China.
Tampaknya, isu HAM di China akan terus diangkat oleh AS yang sistem politiknya memungkinkan politisi di parlemen untuk bersuara, bahkan mengajukan rancang undang-undang soal itu.
Persoalan hubungan dagang kedua negara memang menjadi ganjalan dominan hubungan politik kedua negara.
Itulah sebabnya, AS akan terus menekan China untuk mengatasi praktik dagang yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan AS, tetapi tidak bermaksud untuk memutuskan hubungan ekonomi dengan negara Asia itu.
Pernyataan itu dilontarkan Menteri Perdagangan AS Gina Raimondo.
Meski mengecam Beijing atas dukungan finansial besar-besaran kepada perusahaan-perusahaan China dan dugaan pencurian kekayaan intelektual AS, Raimondo mengatakan AS berusaha dengan cara apa pun untuk tidak memutuskan hubungan ekonomi dari China.
"Kami ingin mempromosikan perdagangan dan investasi di bidang yang tidak mengancam keamanan nasional atau nilai-nilai hak asasi manusia kami," ujarnya.
Raimondo mencatat bahwa China adalah pasar ekspor terbesar ketiga AS dan ekspor tersebut secara langsung mendukung 750.000 pekerjaan di AS.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken juga menegaskan kembali posisi pemerintahnya yang tidak ingin memutuskan ekonomi AS dari China dan tidak ingin berkonflik dengan China karena persaingan yang kian tajam di bidang militer, ekonomi, teknologi, dan bidang lainnya.
Pernyataan para pejabat AS itu disampaikan ketika pemerintahan Presiden AS Joe Biden terus memperketat pembatasan akses China ke teknologi mutakhir seperti semikonduktor.
Pada Oktober, Departemen Perdagangan AS meluncurkan serangkaian kendali ekspor pada produk cip canggih tertentu yang dapat digunakan oleh Beijing untuk melatih sistem kecerdasan buatan dan menjalankan aplikasi mutakhir di bidang militer dan pengawasan.
Raimondo mengatakan bahwa selama 50 tahun terakhir, AS berkomitmen pada gagasan bahwa "keterlibatan ekonomi dengan China akan melayani kepentingan bersama", pertama sebagai penyeimbang Uni Soviet dan kemudian sebagai "pintu gerbang menuju kemitraan politik dan ekonomi yang lebih erat".
Raimondo mengatakan aspek yang mungkin paling mengganggu dari China adalah percepatan upayanya untuk menyatukan kebijakan ekonomi dan teknologi dengan ambisi militernya.
Blinken mengatakan dalam wawancara dengan CNN di Rumania, bahwa tujuan utama dari rencana perjalanannya ke China awal tahun depan adalah untuk melanjutkan komunikasi kedua negara, setelah pertemuan antara Presiden Biden dan Presiden China Xi Jinping, baru-baru ini di Bali, Indonesia.
Dua negara ekonomi terbesar di dunia itu tidak hanya diharapkan dapat mengelola hubungan mereka secara bertanggung jawab, tetapi juga menjajaki kerja sama di bidang apa pun yang memungkinkan, katanya.
Tampaknya, kepentingan nasional kedua negara, terutama untuk menjaga stabilitas ekonomi domestik masing-masing, akan menjadi magnet bagi para pemimpin di dua negara yang sistem politiknya berseberangan itu untuk berupaya menghalangi terjadinya eskalasi perseteruan keduanya.
Berita ini juga telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Relasi panas dingin AS-China
Dalam konteks percaturan politik internasional, terutama dalam dekade mutakhir, fenomena perseteruan Amerika dengan China menjadi sorotan banyak pakar politik internasional.
Di era pemerintahan Presiden Donald Trump, perseteruan dagang yang tercermin dalam perang tarif antara AS versus China cukup mencolok.
Naiknya Joe Biden sebagai pemimpin tertinggi di AS tidak menghapus sama sekali perseteruan itu, namun sudah ada upaya untuk saling mengatasi perbedaan tajam dalam berbagai bidang.
Isu mutakhir yang merefleksikan perseteruan kedua negara besar itu bisa dilihat pada langkah Pemerintah AS untuk membatasi penggunaan aplikasi Tiktok di perangkat dinas pemerintahan AS.
Tiktok adalah aplikasi video populer yang dimiliki pengusaha China, Zhang Yiming.
Langkah Amerika membatasi pengaruh Tiktok itu dilakukan melalui instrumen parlemen.
Parlemen AS akan memasukkan larangan bagi pegawai pemerintah federal untuk menggunakan aplikasi buatan China, TikTok, dengan perangkat dinas.
Larangan itu akan disertakan dalam sebuah draf undang-undang anggaran negara.
Senat pekan lalu menggelar pemungutan suara untuk menyetujui rancangan undang-undang itu, yang disponsori Senator Josh Hawley dari Partai Republik.
RUU tersebut melarang pegawai federal untuk menggunakan aplikasi video singkat buatan ByteDance pada perangkat milik negara.
Langkah itu menjadi upaya terbaru para anggota parlemen AS untuk menindak tegas perusahaan-perusahaan China di tengah kekhawatiran terhadap keamanan nasional.
Larangan tersebut akan dimasukkan ke dalam perundangan omnibus, yang antara lain mengatur pembiayaan kegiatan operasional pemerintah AS.
Beda dengan era Trump, di era Biden sekarang ini ada upaya dari kalangan pejabat tinggi kedua negara untuk mencapai kesepakatan dalam mengatasi perseteruan itu.
Belum lama ini, Wakil Menteri Luar Negeri China Xie Feng mengadakan pertemuan dengan Asisten Menlu Amerika Serikat Urusan Asia Timur dan Pasifik Daniel Kritenbrink dan Direktur Senior Dewan Keamanan Nasional AS untuk China Laura Rosenberger di Langfang, Provinsi Hebei, China, pada 11-12 Desember 2022.
Pertemuan tersebut digelar sebagai tindak lanjut dari pertemuan Presiden China Xi Jinping dan Presiden AS Joe Biden di sela-sela KTT G20 di Bali pada 15 November 2022.
"Kedua belah pihak menindaklanjuti pemahaman bersama antara kedua kepala negara di Bali, meningkatkan konsultasi tentang prinsip-prinsip hubungan China-AS, dan mengatasi isu-isu penting dan sensitif dalam hubungan bilateral dengan benar, termasuk masalah Taiwan," kata juru bicara Kemlu China (MFA) Wang Wenbin.
Menurut dia, kedua belah pihak juga bertukar pandangan atas isu-isu internasional dan regional yang menjadi kepentingan bersama.
"Kedua belah pihak sepakat bahwa pertemuan dan pembicaraan bersifat adil, mendalam, dan konstruktif, serta sepakat untuk tetap menjaga komunikasi," katanya.
Wang juga menganggap ilegal sanksi yang dijatuhkan AS terhadap dua pejabat senior China terkait dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Tibet.
"Tibet jelas-jelas urusan dalam negeri China dan tidak boleh ada intervensi dari negara mana pun. AS tidak punya hak menjatuhkan sanksi terhadap negara lain," katanya.
Wang mendesak AS mencabut sanksi tersebut dan berhenti ikut campur dalam persoalan Tibet yang merupakan urusan dalam negeri China.
Tampaknya, isu HAM di China akan terus diangkat oleh AS yang sistem politiknya memungkinkan politisi di parlemen untuk bersuara, bahkan mengajukan rancang undang-undang soal itu.
Persoalan hubungan dagang kedua negara memang menjadi ganjalan dominan hubungan politik kedua negara.
Itulah sebabnya, AS akan terus menekan China untuk mengatasi praktik dagang yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan AS, tetapi tidak bermaksud untuk memutuskan hubungan ekonomi dengan negara Asia itu.
Pernyataan itu dilontarkan Menteri Perdagangan AS Gina Raimondo.
Meski mengecam Beijing atas dukungan finansial besar-besaran kepada perusahaan-perusahaan China dan dugaan pencurian kekayaan intelektual AS, Raimondo mengatakan AS berusaha dengan cara apa pun untuk tidak memutuskan hubungan ekonomi dari China.
"Kami ingin mempromosikan perdagangan dan investasi di bidang yang tidak mengancam keamanan nasional atau nilai-nilai hak asasi manusia kami," ujarnya.
Raimondo mencatat bahwa China adalah pasar ekspor terbesar ketiga AS dan ekspor tersebut secara langsung mendukung 750.000 pekerjaan di AS.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken juga menegaskan kembali posisi pemerintahnya yang tidak ingin memutuskan ekonomi AS dari China dan tidak ingin berkonflik dengan China karena persaingan yang kian tajam di bidang militer, ekonomi, teknologi, dan bidang lainnya.
Pernyataan para pejabat AS itu disampaikan ketika pemerintahan Presiden AS Joe Biden terus memperketat pembatasan akses China ke teknologi mutakhir seperti semikonduktor.
Pada Oktober, Departemen Perdagangan AS meluncurkan serangkaian kendali ekspor pada produk cip canggih tertentu yang dapat digunakan oleh Beijing untuk melatih sistem kecerdasan buatan dan menjalankan aplikasi mutakhir di bidang militer dan pengawasan.
Raimondo mengatakan bahwa selama 50 tahun terakhir, AS berkomitmen pada gagasan bahwa "keterlibatan ekonomi dengan China akan melayani kepentingan bersama", pertama sebagai penyeimbang Uni Soviet dan kemudian sebagai "pintu gerbang menuju kemitraan politik dan ekonomi yang lebih erat".
Raimondo mengatakan aspek yang mungkin paling mengganggu dari China adalah percepatan upayanya untuk menyatukan kebijakan ekonomi dan teknologi dengan ambisi militernya.
Blinken mengatakan dalam wawancara dengan CNN di Rumania, bahwa tujuan utama dari rencana perjalanannya ke China awal tahun depan adalah untuk melanjutkan komunikasi kedua negara, setelah pertemuan antara Presiden Biden dan Presiden China Xi Jinping, baru-baru ini di Bali, Indonesia.
Dua negara ekonomi terbesar di dunia itu tidak hanya diharapkan dapat mengelola hubungan mereka secara bertanggung jawab, tetapi juga menjajaki kerja sama di bidang apa pun yang memungkinkan, katanya.
Tampaknya, kepentingan nasional kedua negara, terutama untuk menjaga stabilitas ekonomi domestik masing-masing, akan menjadi magnet bagi para pemimpin di dua negara yang sistem politiknya berseberangan itu untuk berupaya menghalangi terjadinya eskalasi perseteruan keduanya.
Berita ini juga telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Relasi panas dingin AS-China