Satgas: Ditjen Pajak membutuhkan waktu untuk analisis data dugaan TPPU Rp189 T
Jakarta (ANTARA) - Satuan Tugas Tindak Pidana Pencucian Uang (Satgas TPPU) menjelaskan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memerlukan waktu untuk menganalisis data-data terkait dugaan TPPU dalam kegiatan ekspor dan impor emas senilai Rp189 triliun.
Ditjen Pajak merupakan salah satu instansi di Kemenkeu, bersama dengan Ditjen Bea dan Cukai, yang ikut mendalami transaksi mencurigakan ratusan triliun hasil temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
"Dari (Ditjen) Pajak sebenarnya mereka sudah masuk cukup dalam untuk bisa mendapatkan data terkait transaksi-transaksi yang ada di perusahaan masing-masing (yang terlibat) dan itu teman-teman dari Ditjen Pajak juga meminta data-data tambahan ke PPATK dan PPATK sudah menyampaikan. Tetapi, memang tadi secara langsung (mereka) menyampaikan ke saya, Pak ini datanya banyak sekali sehingga kami perlu waktu untuk bisa meneliti dan menganalisis dari data-data yang diterima dan dikumpulkan," kata Ketua Tim Pelaksana Satgas TPPU Sugeng Purnomo di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam) di Jakarta, Rabu.
Ditjen Pajak dalam proses mendalami kasus itu dengan memeriksa indikasi pelanggaran pidana di bidang perpajakan, sementara Ditjen Bea dan Cukai mencari indikasi pelanggaran pidana di bidang kepabeanan.
Namun, terkait kasus yang diduga ada TPPU, Satgas TPPU belum menentukan dari mana asal tindak pidananya.
Satgas TPPU pun memberikan tenggat waktu kepada Ditjen Bea dan Cukai untuk melaporkan pemeriksaan akhirnya sampai pekan pertama bulan November 2023.
Apabila nanti tidak ditemukan perkembangan, maka Satgas TPPU membuka peluang bagi Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri untuk ikut mendalami kasus tersebut.
"Dugaan yang dari hasil (Ditjen) Bea dan Cukai itu kemungkinan ada illegal mining (penambangan ilegal), mungkin ada tindak pidana lain kami tidak tahu, korupsi, misalnya, kami nggak tahu juga. Makanya, kalau ditangani teman-teman kepolisian, (bisa) lebih fleksibel karena tindak pidananya meluas, lebih banyak," jelas Sugeng.
Oleh karena itu, Satgas TPPU dalam rapat di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, Rabu, mengundang Bareskrim Polri untuk mendengar data dan hasil analisis sementara dari Ditjen Bea dan Cukai terkait transaksi janggal tersebut.
"Diharapkan, nanti setelah kami berikan tenggat waktu terakhir (tetapi) kondisinya tidak ada perkembangan, maka kemudian kami serahkan ke teman-teman Bareskrim. Kemudian teman-teman Bareskrim sudah dapat gambaran utuh dari kasusnya," kata Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan HAM Kemenkopolhukam itu.
Dalam rapat tersebut, dari pihak Bareskrim Polri diwakili oleh Wakil Kepala Bareskrim Polri Irjen Pol. Asep Edi Suheri.
Transaksi janggal terkait impor emas senilai Rp189 triliun itu merupakan bagian dari 300 surat laporan hasil analisis (LHA) dan laporan hasil pemeriksaan (LHP) periode 2009-2023 yang dikeluarkan PPATK dan kemudian diserahkan ke instansi terkait di Kemenkeu serta aparat penegak hukum.
Total nilai transaksi mencurigakan dalam 300 surat LHA dan LHP itu mencapai Rp349 triliun. Temuan transaksi senilai Rp189 triliun itu saat ini merupakan satu dari 18 temuan PPATK yang menjadi prioritas kerja Satgas TPPU sampai akhir tahun 2023.
Ditjen Bea dan Cukai hingga kini telah menghimpun keterangan dari 36 pihak dan terjun langsung ke empat kota untuk mendalami kasus tersebut.
Langkah hukum juga telah dilakukan Kemenkeu terkait kasus itu pada periode 2016-2017. Namun, putusan majelis hakim sampai tingkat peninjauan kembali (PK) pada tahun 2019 memutuskan tidak ada unsur pidana dalam kasus tersebut.
Ditjen Pajak merupakan salah satu instansi di Kemenkeu, bersama dengan Ditjen Bea dan Cukai, yang ikut mendalami transaksi mencurigakan ratusan triliun hasil temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
"Dari (Ditjen) Pajak sebenarnya mereka sudah masuk cukup dalam untuk bisa mendapatkan data terkait transaksi-transaksi yang ada di perusahaan masing-masing (yang terlibat) dan itu teman-teman dari Ditjen Pajak juga meminta data-data tambahan ke PPATK dan PPATK sudah menyampaikan. Tetapi, memang tadi secara langsung (mereka) menyampaikan ke saya, Pak ini datanya banyak sekali sehingga kami perlu waktu untuk bisa meneliti dan menganalisis dari data-data yang diterima dan dikumpulkan," kata Ketua Tim Pelaksana Satgas TPPU Sugeng Purnomo di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam) di Jakarta, Rabu.
Ditjen Pajak dalam proses mendalami kasus itu dengan memeriksa indikasi pelanggaran pidana di bidang perpajakan, sementara Ditjen Bea dan Cukai mencari indikasi pelanggaran pidana di bidang kepabeanan.
Namun, terkait kasus yang diduga ada TPPU, Satgas TPPU belum menentukan dari mana asal tindak pidananya.
Satgas TPPU pun memberikan tenggat waktu kepada Ditjen Bea dan Cukai untuk melaporkan pemeriksaan akhirnya sampai pekan pertama bulan November 2023.
Apabila nanti tidak ditemukan perkembangan, maka Satgas TPPU membuka peluang bagi Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri untuk ikut mendalami kasus tersebut.
"Dugaan yang dari hasil (Ditjen) Bea dan Cukai itu kemungkinan ada illegal mining (penambangan ilegal), mungkin ada tindak pidana lain kami tidak tahu, korupsi, misalnya, kami nggak tahu juga. Makanya, kalau ditangani teman-teman kepolisian, (bisa) lebih fleksibel karena tindak pidananya meluas, lebih banyak," jelas Sugeng.
Oleh karena itu, Satgas TPPU dalam rapat di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, Rabu, mengundang Bareskrim Polri untuk mendengar data dan hasil analisis sementara dari Ditjen Bea dan Cukai terkait transaksi janggal tersebut.
"Diharapkan, nanti setelah kami berikan tenggat waktu terakhir (tetapi) kondisinya tidak ada perkembangan, maka kemudian kami serahkan ke teman-teman Bareskrim. Kemudian teman-teman Bareskrim sudah dapat gambaran utuh dari kasusnya," kata Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan HAM Kemenkopolhukam itu.
Dalam rapat tersebut, dari pihak Bareskrim Polri diwakili oleh Wakil Kepala Bareskrim Polri Irjen Pol. Asep Edi Suheri.
Transaksi janggal terkait impor emas senilai Rp189 triliun itu merupakan bagian dari 300 surat laporan hasil analisis (LHA) dan laporan hasil pemeriksaan (LHP) periode 2009-2023 yang dikeluarkan PPATK dan kemudian diserahkan ke instansi terkait di Kemenkeu serta aparat penegak hukum.
Total nilai transaksi mencurigakan dalam 300 surat LHA dan LHP itu mencapai Rp349 triliun. Temuan transaksi senilai Rp189 triliun itu saat ini merupakan satu dari 18 temuan PPATK yang menjadi prioritas kerja Satgas TPPU sampai akhir tahun 2023.
Ditjen Bea dan Cukai hingga kini telah menghimpun keterangan dari 36 pihak dan terjun langsung ke empat kota untuk mendalami kasus tersebut.
Langkah hukum juga telah dilakukan Kemenkeu terkait kasus itu pada periode 2016-2017. Namun, putusan majelis hakim sampai tingkat peninjauan kembali (PK) pada tahun 2019 memutuskan tidak ada unsur pidana dalam kasus tersebut.