Makassar (ANTARA) - Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Sulawesi Selatan (Sulsel) menyatakan telah memberikan fasilitasi terkait Kekayaan Intelektual Komunal (KIK) kepada pelaku kebudayaan di Kota Makassar.
Hal tersebut diungkapkan Kepala Subbidang Pelayanan Kekayaan Intelektual (KI) Kanwil Kemenkumham Sulsel Feny Feliana dalam keterangan di Makassar, Sabtu (2/12).
Menurut Feny, fasilitasi ini diberikan dalam kegiatan “Perlindungan, Pengembangan, Pemanfaatan Objek Pemajuan Kebudayaan” yang diselenggarakan oleh Dinas Perdagangan Kota Makassar, pada 29 November 2023.
Feny dalam kegiatan ini memaparkan Undang-Undang (UU) No 28/2014 tentang Hak Cipta mengenai pentingnya perlindungan hak cipta.
"Perlindungan hak cipta dapat menimbulkan hak eklusif bagi pencipta yang terdiri dari hak moral dan hak ekonomi," ujarnya.
Selain itu, perlindungan hak cipta muncul secara otomatis sejak ciptaan diwujudkan, ciptaan yang dilindungi harus berwujud, memiliki bentuk, dan original.
Lebih lanjut Feny menjelaskan ada beberapa jenis ciptaan yaitu karya tulis, karya seni, komposisi musik, karya audio visual, karya fotografi, karya drama dan koreografi, karya rekaman, alat peraga, dan karya lainnya yang mencakup progam komputer (software), basis data, permainan video, dan kompilasi ciptaan/data.
Terkait perlindungan hak cipta, Feny mengungkapkan bahwa jangka waktu perlindungan telah ditentukan yaitu 70 tahun setelah pencipta wafat. Namun jika hak ciptanya dipegang oleh badan hukum, perlindungannya berlaku selama 50 tahun sejak pengumuman. Sementara untuk karya seni terapan, perlindungan hak cipta yang dimiliki perorangan/badan hukum berlaku selama 25 tahun.
"Dalam proses pencatatan hak cipta, setiap alur yang akan dilakukan bagi pencipta. Hal tersebut dapat dilihat dari situs hakcipta.dgip.go.id guna memperoleh perlindungan hak cipta," Ungkapnya.
Sementara itu, Operator KI Johan Komala Siswoyo menjelaskan pemanfaatan KIK yang didasari oleh Peraturan Pemerintah (PP) No 56/2022 tentang KIK, terdapat bebrapa unsur utama dari suatu KIK mencakup: bersifat komunal, memiliki nilai ekonomi, menjunjung tinggi nilai moral, sosial, dan budaya bangsa.
“Dalam PP tersebut, terdapat 5 (lima) inventarisasi KIK yaitu ekspresi budaya tradisional, pengetahuan tradisional, sumber daya genetik, indikasi asal, dan potensi indikasi geografis,” jelas Johan.
Lebih lanjut Johan paparkan bahwa hal-hal terbaru dari perlindungan KIK di dalam PP tersebut, selain wajib bersifat komunal, sebuah KIK harus memiliki nilai ekonomis.
Selain itu, terdapat aturan baru terkait Indikasi Asal yang merujuk pada produk yang tidak terkait secara langsung dengan faktor alam yang dilindungi sebagai tanda asal suatu produk dan dipakai dalam perdagangan.
“Indikasi Asal memiliki manfaat terhadap produk barang dan jasa yang diperdagangkan karena orang lain atau konsumen akan mengetahui daerah dari produk itu berasal,” jelas Johan.
Terpisah, Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Liberti Sitinjak mengapresiasi atas peran Subbidang Pelayanan KI yang telah memberikan fasilitasi KIK kepada Pelaku Kebudayaan di Kota Makassar.
Liberti ungkapkan bahwa perlindungan, pelestarian, pengembangan, dan pemanfaatan KIK harus sesuai dengan nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
“Hal ini sesuai dengan apa yang tercantum di dalam PP No 56/2022 yang menegaskan bahwa hak atas KIK dipegang oleh negara, dalam hal ini Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Negara melalui Menteri, Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian, dan/atau Pemerintah Daerah wajib menginventarisasi, menjaga, dan memelihara KIK,” ungkap Liberti.(*/Inf)