Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita sembilan unit rumah serta enam deposito dengan nilai Rp10,2 miliar dalam pengembangan penyidikan kasus dugaan korupsi di lingkungan Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Perhubungan.
"Penyidik KPK sejak tanggal 22 Juli 2024 sampai dengan 2 Agustus 2024 melakukan serangkaian upaya paksa berupa penggeledahan, penyitaan dan pemasangan plang tanda penyitaan di Jakarta, Semarang dan Purwokerto," kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu.
Tessa menerangkan aset yang disita terdiri dari sembilan unit rumah dan tanah dengan nilai sekitar Rp8,685 miliar, kemudian enam deposito yang berada pada dua bank dengan nilai total Rp10.268.065.497.
Tim penyidik juga menyita empat obligasi pada dua bank dengan nilai masing-masing Rp4 miliar dengan bunga Rp600 juta, serta obligasi senilai Rp2,28 miliar dengan bunga Rp300 juta. Dalam rangkaian penyitaan tersebut turut disita uang tunai sebesar Rp1,38 miliar
"Total yang disita adalah sekurang-kurangnya Rp27.433.065.497," ujarnya.
Juru bicara KPK berlatar belakang penyidik itu mengungkapkan aset-aset tersebut disita dari para tersangka dan pihak swasta terkait perkara dugaan korupsi penerimaan hadiah atau janji terkait paket pekerjaan pengadaan barang dan jasa di lingkungan Balai Teknik Perkeretaapian Kelas 1 Jawa Bagian Tengah.
Penyidik KPK saat ini masih terus melakukan pengembangan penyidikan perkara dugaan korupsi di lingkungan Balai Teknik Perkeretaapian (BTP) Kelas 1 Jawa Bagian Tengah, yang saat ini telah berganti nama menjadi BTP Kelas 1 Semarang.
Sejumlah tersangka dalam perkara tersebut telah ditahan dan disidangkan oleh KPK. Terbaru pada Kamis (13/6/2024), KPK kembali menahan satu tersangka baru dalam pengembangan kasus dugaan korupsi di lingkungan Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Perhubungan.
Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur menerangkan tersangka baru tersebut Yofi Oktarisza selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Balai Teknik Perkeretaapian (BTP) Kelas 1 Jawa Bagian Tengah, yang saat ini telah berganti nama menjadi BTP Kelas 1 Semarang.
Asep menerangkan penetapan tersangka dan penahanan terhadap Yofi adalah hasil pengembangan dari perkara yang sama yang menjerat pengusaha Dion Renato Sugiarto (DRS) yang memberi suap kepada PPK BTP Semarang Bernard Hasibuan (BH) dan Putu Sumarjaya (PS).
Perkara dugaan korupsi terhadap ketiganya kini sedang disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Semarang.
Dion Renato diketahui sebagai salah satu rekanan pengadaan barang dan jasa di lingkungan Kementerian Perhubungan, yang memiliki beberapa perusahaan, antara lain PT. Istana Putra Agung (IPA), PT. PP Prawiramas Puriprima (PP), dan PT. Rinego Ria Raya (RRR).
Perusahaan-perusahaan tersebut digunakan untuk mengikuti lelang dan mengerjakan paket-paket pekerjaan pengadaan barang dan jasa di lingkungan Direktorat Prasarana Ditjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan termasuk di Balai Teknik Perkeretaapian Wilayah Jawa Bagian Tengah.
"Saudara DRS mendapatkan bantuan dari PPK, termasuk tersangka YO untuk bisa mendapatkan paket pekerjaan pengadaan barang dan jasa," kata Asep.
Penyidik KPK kemudian menemukan data bahwa paket pekerjaan pengadaan barang dan jasa yang dikerjakan oleh Dion saat Yofi menjabat sebagai PPK antara lain:
1. Pembangunan Jembatan BH.1458 antara Notog - Kebasen (multiyears 2016-2018) Paket PK.16.07 (MYC) (tahun 2016 - 2018) dengan nilai paket Rp128,5 miliar (Rp128.594.206.000) menggunakan PT. IPA.
2. Pembangunan Perlintasan Tidak Sebidang (Underpass) di Jalan Jenderal Sudirman Purwokerto (KM.350+650) antara Purwokerto-Notog tahun 2018 dengan nilai paket Rp49,9 miliar (Rp49.916.296.000) menggunakan PT. PP.
3. Penyambungan Jalur KA/Switchover BH.1549 antara Kesugihan - Maos Koridor Banjar - Kroya Lintas Bogor – Yogyakarta tahun 2018 dengan nilai paket Rp12,4 miliar (Rp12.461.215.900) menggunakan PT. PP.
4. Peningkatan Jalur KA KM. 356+800 - KM. 367+200 sepanjang 10.400 M'sp antara Banjar - Kroya (tahun 2019-2021) dengan nilai paket Rp37 miliar (Rp37.195.416.000) menggunakan PT. PP.
Asep menerangkan para tersangka dalam perkara ini juga melakukan pengaturan, sehingga hanya rekanan tertentu yang bisa menjadi pemenang lelang atau pelaksana paket pekerjaan.
Bentuk pengaturan tersebut, antara lain PPK akan memberikan harga perkiraan sendiri (HPS) kepada masing-masing rekanan dan memberikan arahan-arahan khusus seperti metode pekerjaan, alat dan dukungan terkait pekerjaan tersebut yang akan membuat rekanan tersebut menang.
PPK juga memberikan arahan kepada rekanan agar saling memberikan dukungan satu sama lain misalnya dengan ikut sebagai perusahaan pendamping dan tidak saling bersaing karena sudah diberikan jatah masing-masing.
"Tersangka YO juga menambahkan syarat khusus pada saat lelang yang hanya dapat dipenuhi oleh calon yang akan dimenangkan," kata Asep.
Atas bantuan tersebut, PPK termasuk Yofi akan menerima biaya dari rekanan yang dimenangkan dengan besaran 10 persen sampai 20 persen dari nilai paket pekerjaan yang diperuntukkan.
Selain memberikan biaya untuk mendapatkan paket pekerjaan, rekanan juga memberikan biaya agar proses pelaksanaan pekerjaan berjalan dengan lancar termasuk pencairan termin, sehingga pemberian biaya juga tetap dilakukan kepada PPK pengganti yang menggantikan PPK awal mulai saat lelang paket pekerjaan tersebut.
Atas perbuatannya, menurut Asep, tersangka Yofi Oktarisza disangkakan Pasal 12 huruf a atau huruf b dan/atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001.