Di tengah narasi bagaimana menanggulangi tindak kriminal dengan Artificial Intelligence, wacana menempatkan institusi Polri di bawah Kementerian Dalam Negeri tampak terdengar asing.
Bukan hanya karena pernah terjadi dalam sejarah Indonesia, lebih dari itu, Polri telah mendefinisikan dirinya dalam konteks lebih maju untuk 25 tahun ke depan.
Jelang hari pencoblosan Pilkada 2024 muncul tudingan “Parcok” atau partai coklat untuk menjuluki aparat kepolisian sebagai pihak yang turut cawe-cawe untuk memenangkan calon tertentu dalam penyelenggaraan kontestasi tingkat lokal.
Tentu saja tudingan ini sembrono dan mendegradasi profesionalisme Polri yang dibangun selama puluhan tahun sejak institusi ini dinyatakan mandiri secara hukum dan peraturan perundangan.
Sebelum Polri dinyatakan konstitusi sebagai lembaga yang berdiri sendiri, sejarah mencatat pengalaman kepolisian dalam struktur kenegaraan ini. Pada akhirnya, institusi independen adalah pilihan terbaik hingga saat ini.
Pada zaman Hindia Belanda (1800an - 1942) Polisi Administratif merupakan bagian dari Departemen Dalam Negeri (Departemen Binnenlandssch Bestuur). Perannya tak keluar dari kepentingan pemerintahan kolonial pada masa itu.
Pada masa pendudukan Jepang (1942 - 1945), kepolisian di bawah departemen Kaimubu, departemen yang membawahi kepolisian. Warna militeristik kepolisian terbentuk pada masa ini.
Hal demikian tampak dalam pengorganisasian dan pelaksanaan kepolisian di masyarakat.
Melalui kepolisian, pemerintah kolonial sengaja menciptakan rasa takut, sehingga mereka tetap berkuasa.
Maka wajar jika citra polisi menakutkan seperti istilah Bhayangkara pada era kerajaan Majapahit itu benar adanya. “Bhayangkara” secara etimologi berarti “menakutkan.”
Warisan dari Hindia Belanda dan Jepang ini diteruskan di era Pasca Kemerdekaan, pada 19 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengubah bentuk kepolisian menjadi Badan Kepolisian di bawah Departemen Dalam Negeri.
Di era demokrasi parlementer, pada 1 Juli 1946 dibentuklah Jawatan Kepolisian yang bertanggungjawab langsung kepada Perdana Menteri oleh Sutan Sjharir. Pada masa ini kepolisian masih menjadi bagian dari angkatan militer yang memiliki senjata dan perlengkapan militer secara lengkap.
Di era Pemerintahan Darurat RI hingga Republik Indonesia Serikat, terdapat dua institusi kepolisian, yaitu Jawatan Kepolisian Negara RIS dan Kepolisian Negara RI.
Sampai masa kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1950, seluruh organisasi kepolisian negara bagian disatukan dalam Jawatan Kepolisian Indonesia. Kepolisian berstatus tersendiri dari militer, yang memiliki organisasi dan peraturan gaji terpisah.
Sejak 1961 kepolisian diputuskan sebagai bagian dari unsur Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) sebagaimana ditegaskan dalam UU Nomor 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kepolisian Negara, UU Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia, dan UU Nomor 28 Tahun 1997 Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Maka pasca Reformasi 1998, institusi Polri juga tak luput dari agenda reformasi. Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengeluarkan Keppres Nomor 89 Tahun 2000 tentang kedudukan Kepolisian Republik Indonesia yang memuat pemisahan struktur TNI-Polri.
Kemandirian Polri kemudian diperkuat dengan TAP MPR Nomor VI/2000 tentang Pemisahan TNI-Polri dan TAP MPR Nomor VII/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri. Lalu dikukuhkan dalam amandemen konstitusi kedua dalam pasal 30 ayat (2) dan ayat (4) UUD 1945.
Kemandirian Polri semakin memperoleh landasan yang kuat dengan terbitnya UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.
Polri diposisikan sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat dengan tugas untuk melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
Semangat mengusung kemandirian Polri muncul dari kesadaran bahwa kepolisian adalah institusi yang melayani sipil, dan mengabdi kepada kepentingan negara. Maka harus dipisahkan dari institusi militer, pada saat yang sama juga harus profesional dan bebas dari konflik kepentingan.
Mengembalikan Polri di bawah Kementerian Dalam Negeri atau institusi lain, dalam pandangan penulis akan mempersulit posisi Polri dalam menjalankan fungsi dan tugasnya.
Hal demikian terbukti di masa lalu. Pada kasus-kasus besar di masa lalu seperti kasus Marsinah, kasus Udin, dan kasus Tjetje kepolisian terbentur dengan kaburnya batas-batas kewenangan kepolisian dengan institusi lain.
Modal kemandirian ini pada akhirnya mengilhami Polri untuk terus mengembangkan diri. Tepat tiga tahun setelah UU Polri disahkan, pada 2005 terbit Grand Strategy Polri 2005-2024. Dengan kemandirian, kepolisian menjadi lebih berkembang dan maju sehingga dapat diandalkan oleh negara untuk menghadapi tantangan keamanan dan ketertiban masyarakat di dalam negeri yang semakin kompleks.
Muncul kesadaran kolektif di tubuh Polri bahwa kepolisian hadir di tengah bangsa dan negara untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat untuk mengawal demokrasi.
Oleh karena itu, dalam grand strategy 25 tahun, target utama yang dibangun adalah trust building (kepercayaan publik), partnership (kemitraan dengan masyarakat), dan strive for excellence (mencapai keunggulan).
Dilanjutkan dengan agenda Polri Presisi yang dicanangkan pada 2022. Penguatan difokuskan pada empat pilar utama, berupa transformasi organisasi, transformasi pelayanan publik, transformasi operasional dan transformasi pengawasan.
Agenda ini telah menghasilkan kepercayaan publik yang terus meningkat setiap tahunnya. Dari 66 persen pada Agustus 2023 meningkat menjadi 73 persen pada Juni 2024 (Survei Litbang Kompas: 2024).
Munculnya berbagai momentum politik seperti pemilu dan pilkada serta kegiatan-kegiatan politik yang melibatkan masyarakat dan pembuat kebijakan di lapangan semakin memposisikan Polri dalam pemahaman mendalam terhadap demokrasi. Ada hak warga negara yang harus dilindungi yang juga harus berimbang dengan ketertiban umum.
Langkah-langkah antisipatif dan preventif dikembangkan tak hanya secara reaksioner, namun sistematis. Oleh karena itu, Polri mengembangkan langkah lanjutan Grand Strategy Polri 2025-2045 yang berfokus pada pengembangan karakter sipil dan demokratis, pengembangan inovasi pelayanan digital, dan pengembangan good governance pada kelembagaan Polri.
Kesadaran orientasi ini tentu sulit terjadi tanpa prasyarat kemandirian yang diatribusikan kepada Polri. Maka jika terjadi sesuatu yang perlu dikoreksi dari kinerja Polri sifatnya berupa perbaikan dan penguatan.
Kepolisian kita menganut Centralized System of Policing, yaitu sistem kepolisian yang terpusat dan berada langsung di bawah kendali presiden, dalam hal ini presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara.
Sistem ini memiliki kelebihan dalam hal komando atau langkah pengendalian, yurisdiksi lintas batas, standarisasi kerja (profesional, efisiensi dan efektifitas), dan ruang lingkup pengawasan yang luas.
Di sisi yang lain Centralized System of Policing memiliki kekurangan berupa rentang birokrasi yang panjang, kurang fleksibel dengan situasi lokal, kesenjangan dengan masyarakat dan rentan terhadap intervensi politik.
Di negara demokrasi, kelemahan tersebut bukan tidak mungkin untuk ditutupi. Dengan mekanisme check and balances dan kebebasan publik untuk bersuara, perbaikan dengan melibatkan masyarakat luas sangat terbuka dilakukan.
Misalnya, di Italia, belakangan ini dikembangkan program reforming police accountability in Italy (Repolty). Program ini dijalankan atas asumsi bahwa kepolisian adalah salah satu layanan publik utama yang disediakan oleh Negara. Untuk menjalankan fungsi ini, polisi diberi wewenang yang luas dan mudah disalahgunakan.
Cara masyarakat mengontrol pelaksanaan kekuasaan polisi umumnya dianggap sebagai indikator penting sifat demokratis suatu pemerintahan.
Di Finlandia, tingkat kepercayaan publik terhadap kepolisian sangat tinggi dengan konsep “keadilan prosedural accidental”, yaitu suatu bentuk tindakan kepolisian yang tidak sepenuhnya direncanakan, tetapi merupakan hasil dari kombinasi unsur-unsur budaya, hukum, dan operasional.
Polisi Finlandia menerapkan komunikasi terbuka dan efektif pada setiap tindak pelanggaran hukum yang terjadi dengan memperlakukan orang dengan hormat, menunjukkan motif yang dapat dipercaya, keputusan yang tidak bias, memberi orang kesempatan untuk mengungkapkan pandangan mereka dan serangkaian komunikasi efektif lainnya.
Kemandirian Polri adalah modal strategis untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Mendudukkan Polri secara proporsional dalam negara demokrasi harus dilakukan secara objektif. Jangan sampai kepentingan politik sesaat dan emosional malah membuyarkan agenda strategis reformasi Polri yang selama ini telah diperjuangkan oleh aktor-aktor demokrasi.
Polri memang belum bisa menjadi institusi yang ideal. Inisiatif perubahan yang transformatif tidak boleh berhenti dilakukan untuk menjadi polisi yang lebih baik dalam melayani masyarakat dan profesional dalam menjalankan tugasnya.
Perubahan tidak mungkin dapat dicapai dengan cepat, meski menggunakan cara yang paling efektif sekalipun. Tidak ada perubahan yang terjadi dalam semalam.
Namun, keinginan untuk terus bertransformasi dapat dilihat dari kesadaran institusional maupun individual para anggota Polri. Segala bentuk kerja sama dan kontribusi dari semua pihak berperan penting dalam upaya membangun institusi kepolisian yang dicintai oleh masyarakat.
Segala capaian yang telah dirintis adalah pondasi untuk lompatan di masa depan.
Pada akhirnya, dengan menyatukan kekuatan dari berbagai sisi, membangun sinergi dan kolaborasi dengan seluruh elemen bangsa, Polri diharapkan mampu mengawal agenda strategis nasional yang dirumuskan dalam Astacita untuk mencapai Grand Strategi Polri 2025-2045 demi mewujudkan Indonesia Emas 2045.
*) Ngasiman Djoyonegoro adalah
Analis Intelijen, Pertahanan dan Keamanan
Editor: Sri Haryati
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul:
Polri dalam arsitektur negara demokrasi modern