Makassar (Antara Sulsel) - Pemberlakuan Gerakan Nasional Non-Tunai (GNNT) melalui penggunaan kartu transaksi nontunai atau elektronik di gardu tol otomatis (GTO) pada semua tol di Indonesia mulai Oktober 2017 dinilai langgar undang-undang.
Aturan itu telah membuat rupiah sebagai alat pembayaran yang sah menjadi tidak berlaku. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, kata Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia Mirah Sumirat melalui siaran persnya kepada Antara di Makassar, Jumat.
Ditegaskan bahwa uang adalah alat pembayaran yang sah dan mata uang yang dikeluarkan Negara Republik Indonesia adalah rupiah dengan ciri-ciri yang juga telah diatur dalam Undang-Undang tentang Mata Uang.
Selain itu, transaksi melalui GTO hanya dapat dilakukan oleh pengguna jalan yang memiliki kartu Elektonik Tol (e-Toll Card) yang dikeluarkan tiga bank Mandiri, BNI, dan BRI.
Padahal, fitur e-Toll hanya bersifat sebagai pengganti uang cash dan bukan merupakan alat pembayaran yang sah sebagaimana diatur dalam undang-undang yang sah.
Dalam Pasal 21 Ayat (1) UU Mata Uang mengatur bahwa rupiah wajib digunakan pada setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran.
Penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang dan atau transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selanjutnya, dalam Pasal 23 juga dinyatakan bahwa setiap orang dilarang menolak untuk menerima rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di wilayah NKRI.
Bahkan, dalam Undang-undang Mata Uang terdapat sanksi pidana terhadap orang yang menolak menerima rupiah, yaitu dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan pidana denda paling banyak Rp200 juta rupiah (vide Pasal 33 Ayat 2).
Apabila dilakukan korporasi, pidana dendanya ditambah sepertiga dari denda maksimum, penyitaan harta benda korporasi dan/atau pengurus korporasi, hingga pencabutan izin usaha (vide Pasal 39 Ayat 1).
Ia mengingatkan masyarakat untuk kritis karena pemilik dan pengguna kartu e-Toll tanpa sadar sesungguhnya telah "diambil paksa" uangnya oleh pihak pengelola tol dan bank yang menerbitkan kartu e-Toll.
Dirinya menyebutkan apabila masyarakat membeli kartu e-Toll seharga Rp50 ribu, hanya mendapatkan saldo sebesar Rp30 ribu. Lalu, ke mana selisih uang Rp20 ribu itu? Konsumsen "dipaksa" merelakan kehilangan dananya sebelum kartu e-Toll digunakan. Bahkan, isi ulang saldo juga dikenai Rp2.000,00 per satu kali isi. Hal ini jelas keuntungan negatif para koorporasi.
Belum lagi, dana saldo e-Toll yang mengendap di bank karena tidak dipergunakan pemilik kartu yang kemudian dapat diputar oleh bank untuk kepentingan bisnisnya. Bayangkan, berapa triliun rupiah dana masyarakat yang diambil paksa dari sistem 100 persen GNNT dan GTO ini.
Kesimpulannya, masyarakat tidak membutuhkan GNNT dan GTO karena mereka berhak menggunakan uang tunai rupiah sebagai alat tukar yang sah di negeri ini.
Bagaimana mungkin konsumen bertransaksi ingin membayar uang rupiah yang sah berlaku, justru nantinya ditolak untuk dilayani?
Sekertaris Jenderal Aspek Indonesia Sabda Pranawa Djati menambahkan bahwa pemberakuan GNNT selain sebagai ancaman PHK massal di berbagai sektor industri, pihaknya menilai bahwa GNNT bertentangan dengan UU Mata Uang dan UU Perlindungan Konsumen.
"Aspek Indonesia secara tegas menolak kebijakan itu. Kalaupun memberlakukan e-Toll dan GTO dijalankan, pengelola juga harus menerima rupiah sebagai alat pembayaran yang sah saat pengguna jalan masuk tol, itu baru sesuai, tidak memaksakan kehendak," ujarnya.
Selain itu, pihaknya menduga adanya modus perbankan memberlakukan GNNT tersebut karena ingin mengeruk keuntungan lebih besar meski berdalih transaksi nontunai mudah, aman, dan efisien, dianggap terlalu mengada-ada sebab selama ini masyarakat sudah menggunakan uang tunai dalam setiap transaksinya.
Sebelumnya, pencanangan GNNT dilaksanakan Bank Indonesia pada bulan Agustus 2014. Dalam hal ini, pemain utama GNNT di awal adalah tiga bank pemerintah yang tergabung dalam Himpunan Bank Negara (Himbara), yaitu Bank Mandiri, BNI, dan BRI.
Bentuk lobi korporasi perbankan kepada Pemerintah di pusat dan daerah saat pencanangan GNNT ditandai penandatanganan nota kesepahaman antara Bank Indonesia dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan, pemda, dan Asosiasi Pemerintahan Provinsi Seluruh Indonesia sebagai komitmen untuk mendukung GNNT.
Berita Terkait
MUI: Program makan siang dan susu gratis terobosan menuju generasi Indonesia Emas 2045
Jumat, 26 April 2024 15:28 Wib
Piala Asia U23 - STY merasa campur aduk seusai mengantar Indonesia ke semifinal
Jumat, 26 April 2024 15:19 Wib
Menkeu: Pembiayaan utang Indonesia turun 53,6 persen
Jumat, 26 April 2024 15:17 Wib
Kiper Timnas Indonesia: Kami ingin menjadi juara Piala Asia U-23
Jumat, 26 April 2024 15:15 Wib
Shin Tae-yong menebar ancaman ke calon-calon lawan Indonesia
Jumat, 26 April 2024 15:14 Wib
Menkeu proyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal I 2024 capai 5,17 persen
Jumat, 26 April 2024 15:12 Wib
Shin Tae-yong sudah merasa Indonesia akan capai semifinal
Jumat, 26 April 2024 15:08 Wib
Timnas Indonesia U-23 lolos ke semifinal AFC, Presiden Jokowi: Sangat bersejarah!
Jumat, 26 April 2024 12:29 Wib