Karena itu, usaha pemerintah dan seluruh komponen bangsa ini untuk mempersatukan Indonesia dan memberikan keadilan sosial sebagaimana amanah serta nilai dari Sila ke-3 dan Sila ke-5 Pancasila, masih jauh dari harapan.
"Bagaimana orang bisa bersatu kalau masih terjadi ketimpangan pembangunan antara Jawa dan luar Jawa," kata guru besar ilmu komunikasi politik itu di Kupang, Jumat, ketika diminta pandangannya soal upaya membumikan Pancasila di tengah kemajemukan bangsa Indonesia.
Prof Alo mengatakan, fakta menunjukan bahwa ketimpangan dalam pelaksanaan pembangunan akhir-akhir ini semakin kelihatan, dengan makin tingginya kemiskinan dan kemelaratan yang dialami oleh hampir sebagian rakyat di negeri ini.
Proyeksi pembangunan yang dilakukan pemerintah, masih terfokus di sejumlah daerah di Pulau Jawa, yang boleh jadi telah memantik kecemburuan sosial antarwarga di belahan nusantara lainnya, yang akhirnya bisa menjadi sumber perpecahan dalam bangsa sendiri.
Untuk itulah, kata dia, penting bagi pemerintah untuk segera melebarkan sayap pembangunan ke daerah-daerah di luar Pulau Jawa, demi pencapaian pemerataan pembangunan yang berkeadilan bagi masyarakat di seluruh wilayah NKRI ini.
Menurut dia, pembukaan sejumlah sentra ekonomi dan produksi di luar Jawa, harus menjadi titik semangat pemerintah saat ini, untuk menunjukkan keberadaan pemerintah yang adil bagi seluruh masyarakatnya, dan tidak hanya untuk di Pulau Jawa semata.
"Ketidakadilan vertikal pun masih dirasakan oleh hampir sebagian masyarakat di negeri ini, terutama di jajaran PNS dan pegawai swasta nasional dengan masyarakat lainnya," ujarnya.
Ia mengatakan munculnya jurang pemisah yang sangat lebar antara masyarakat miskin dengan para PNS dan pegawai swasta nasional, telah menjadikan rakyat bangsa ini terkotak-kotak dari aspek ekonomi.
"Keterlibatan kaum birokrat dalam korupsi juga menambah panjang litani penderitaan rakyat, karena semua yang harus menjadi hak rakyat miskin, telah dirampok oleh pengelola anggaran tersebut," katanya.
Terkait kemajemukan bangsa Indonesia yang harus dijadikan sebagai potensi dan kekuatan bangsa, mantan Dekan FISIP Undana Kupang itu mengatakan, slogan kemajemukan bangsa masih sebatas ucap bibir semata, tanpa diikuti oleh penciptaan suasana kehidupan multikultural, yang tidak sekadar mengakui keberadaan, tetapi juga sarana dan prasarana sebagai simbol kemajemukan itu.
Prof Alo mengatakan pengakuan terhadap eksistensi agama-agama di Indonesia yang dimiliki oleh bangsa ini, namun kegiatan peribadahan tidak diizinkan termasuk pembangunan rumah ibadah.
Menurut dia, aksi klaim ini juga merambah kepada kekuasaan suku bangsa dan akhirnya memantik konflik horisontal dan vertikal, seperti yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia saat ini.
Dalam pengamatannya, semangat primordial masih menjadi "jualan nan seksi" untuk mendapatkan kekuasaan yang pada akhirnya hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompok, sambil mengabaikan kepentingan masyarakat secara paripurna.
"Masih banyak pemilihan kepala daerah yang ribut dan kacau balau, karena semangat primordial masih menjadi isu pokok. Bukan sekadar itu, upaya pembentukan daerah otonom baru pun didasari dengan semangat primordial, inilah yang telah mengusik semangat keberagaman dan kebhinekaan kita," kata Prof Alo.
Semestinya, tambahnya, dengan kekayaan budaya yang sangat beragam itu, harus terus ditampilkan dalam wujud perbedaan, sehingga bisa menambah referensi kekayaan budaya bangsa sebagai hal yang positif.
Pemerintah, kata dia, harus segera mengambil langkah cepat, dengan melakukan pemerataan pembangunan di semua daerah di Indonesia, dan tidak lagi terfokus hanya di Pulau Jawa.
Sentra-sentra ekonomi kerakyatan, harus terus dikembangkan di luar Jawa, sehingga masyarakat yang menghuni ribuan pulau lainnya dapat mengerti dan merasakan, bahwa dirinya juga adalah bagian dari bangsa Indonesia yang hidup dalam keberagaman dan dilandasi oleh spirit dan nilai-nilai Pancasila dalam semboyan NKRI harga mati.
"Yakinlah ketika isu primordial dan SARA dikesampingkan dan pemerataan pembangunan ekonomi dikedepankan, maka semangat keberagaman akan tercipta, NKRI harga mati akan terkabulkan, kesejahteraan masyarakat pun tercapai. Jika masyarakat kenyang tidak akan terbersit tentang perbedaan," kata Prof Alo.
Dia menambahkan, yang lebih penting dari semua itu adalah terjadinya pemerataan pembangunan fisik dan bukan pemerataan informasi yang mengakibatkan persepsi rakyat sama dengan lamunan yang terlihat, terdengar dan terbaca melalui media. (T.pso-295/L003)