Makassar (ANTARA) - Pemerintah Kota Makassar bersama Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Sulsel) berkomitmen menerapkan pidana kerja sosial dalam memperkuat penegakan hukum yang lebih humanis dan berkeadilan.

Komitmen ini diwujudkan melalui penandatanganan Nota Kesepahaman dan Perjanjian Kerja Sama antara Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dengan Pemerintah Provinsi serta Pemerintah Kabupaten/Kota se-Sulawesi Selatan, terkait penerapan pidana kerja sosial bagi pelaku tindak pidana ringan di Makassar, Kamis.

"Kebijakan ini dapat memperkuat sistem keadilan restoratif dan berpihak pada kepentingan publik," kata Wali Kota Makassar Munafri Arifuddin.

Munafri Arifuddin menuturkan kolaborasi ini sangat bermanfaat, terutama dalam menghadirkan pendekatan hukum yang lebih humanis dan berorientasi pada sosial.

Menurutnya, kegiatan ini tidak hanya mendorong efisiensi penegakan hukum, tetapi juga membantu masyarakat membutuhkan pendampingan.

Momentum penting ini semakin bermakna dengan hadirnya Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum,  Asep N. Mulyana, yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Persatuan Jaksa Indonesia (Persaja).

Pada kesempatan ini,  Asep N. Mulyana menyampaikan pandangannya terkait arah pembaruan hukum nasional. Ia menegaskan bahwa hukum Indonesia ke depan tidak lagi bertumpu pada pendekatan-pendekatan lama yang berakar dari sistem hukum kolonial.

Selama ini, kata dia, paradigma hukum warisan kolonial dan Eropa kontemporer lebih menonjolkan aspek pembalasan dan pemenjaraan sebagai instrumen utama penegakan hukum.

"Sekarang kita sudah berada pada fase perubahan yang sejalan dengan arah pembangunan nasional, ketika kita berbicara Indonesia Emas, maka wajah hukum kita juga harus berubah," ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) nasional tidak semata-mata hadir untuk menggantikan produk hukum kolonial, tetapi membawa perubahan paradigma secara menyeluruh.

Dia menekankan bahwa Indonesia kini bergerak menuju sistem hukum yang mengutamakan pendekatan restoratif, korektif, dan rehabilitatif, sebagaimana telah dituangkan dalam dokumen Rencana Pembangunan Nasional 2025.

Paradigma baru ini memandang bahwa penjara tidak lagi harus menjadi pilihan utama dalam menjatuhkan hukuman dan tidak menjadikan pemenjaraan sebagai satu-satunya jalan.

Ia memaparkan bahwa banyak permohonan penyelesaian perkara melalui mekanisme keadilan restoratif yang masuk setiap hari. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan non-pemenjaraan semakin dibutuhkan dan memberi manfaat nyata bagi masyarakat.

Oleh sebab itu, langkah Kejaksaan yang mendorong penerapan pidana kerja sosial sebagai salah satu instrumen hukum modern yang efisien, humanis, dan sejalan dengan arah kebijakan nasional.


Pewarta : Nur Suhra Wardyah
Editor : Daniel
Copyright © ANTARA 2025